Facebook Tutup Akun Pemimpin Militer karena Ikut Sebarkan Kebencian
Oleh
Myrna Ratna
·3 menit baca
Perusahaan media sosial Facebook menempuh langkah penting untuk mencegah penyebarluasan ujaran kebencian. Pada Selasa (28/8/2018), Facebook melarang situsnya digunakan Panglima Militer Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing beserta 19 tokoh dan organisasi lainnya di Myanmar.
Larangan tersebut merupakan upaya preventif agar Facebook tidak dijadikan media penyebar ujaran kebencian dan misinformasi. Facebook selama ini terus ditekan dan dikecam karena dinilai membiarkan situsnya digunakan untuk menjadi tempat penyebaran ujaran kebencian terhadap etnis minoritas Rohingya di Myanmar. Facebook juga dinilai lalai dalam memerangi gelombang misinformasi dan manipulasi berita di sejumlah negara, khususnya di Myanmar yang memicu kekerasan dengan banyak korban jiwa.
Facebook selama ini terus ditekan dan dikecam karena dinilai membiarkan situsnya digunakan untuk menjadi tempat penyebaran ujaran kebencian terhadap etnis minoritas Rohingya di Myanmar.
Seperti diberitakan, lebih dari 700.000 warga Rohingya melarikan diri ke perbatasan Bangladesh akibat kekejaman yang dilakukan militer Myanmar. Dalam laporan yang dikeluarkan Dewan HAM PBB, Senin (27/8/2018), junta militer Myanmar dinyatakan telah melakukan genosida dan pembersihan etnis. Sebanyak enam jenderal Myanmar termasuk panglima militernya, ditetapkan untuk diajukan ke pengadilan kriminal internasional.
Juru bicara Facebook menyatakan, mereka juga akan melarang laman-laman yang berpura-pura menyampaikan berita-berita independen ataupun opini, tetapi sebetulnya mempromosikan pesan-pesan militer Myanmar. Facebook menyatakan telah menghapus 18 akun, 1 akun Instagram, dan 52 laman Facebook.
Dalam laporan terpisah, tim pencari fakta PBB menyebutkan, meskipun ada perbaikan, respons Facebook dinilai lamban dan tidak efektif. Unggahan dan pesan-pesan yang terpasang di Facebook yang telah menyulut diskriminasi dan kekerasan di dunia nyata harus diselidiki secara menyeluruh dan independen.
Sanksi AS
Empat pejabat tinggi militer dan dua unit militer yang dilarang Facebook enam bulan sebelumnya masuk dalam daftar hitam Pemerintah AS karena terkait pelanggaran HAM berat. Sanksi yang diterapkan antara lain melarang para pejabat militer memiliki properti di wilayah AS serta melarang warga negara AS berhubungan dan melakukan transaksi dengan mereka. AS sebelumnya telah melarang pemberian visa, penjualan senjata, dan bantuan bagi militer Myanmar.
Dalam pernyataannya, Facebook merujuk pada laporan PBB yang menyebutkan, ”ditemukan bukti bahwa para individu ini dan organisasi-organisasi melakukan pelanggaran HAM serius di negaranya. Kami ingin mencegah mereka menggunakan pelayanan kami untuk semakin mengobarkan ketegangan etnis dan agama”.
”Kekerasan etnis di Myanmar sangat mengerikan. Meskipun kami lambat dalam bertindak, kami sekarang telah membuat perbaikan dengan teknologi yang lebih baik untuk mengidentifikasi ujaran kebencian, meningkatkan alat pelaporan, dan memperbanyak pihak untuk melakukan tinjauan terhadap konten,” kata Facebook.
Analis politik yang tinggal di Yangon, David Mathieson, mengatakan, langkah yang dilakukan Facebook bersamaan dengan keluarnya laporan PBB akan mendesak jajaran militer Myanmar ke arah isolasi. ”Mereka harus menemukan cara-cara alternatif untuk berkomunikasi dengan rakyat Myanmar karena Facebook benar-benar menjadi internet bagi warga di sini. Dan Facebook telah mengucilkan para komandan dari dunia maya,” kata Mathieson kepada The Associated Press.
Hal senada juga dikatakan Jennifer Grygiel, profesor bidang media sosial dari Universitas Syracuse. Menurut dia, meskipun langkah yang dilakukan Facebook cukup signifikan, masih banyak hal yang harus dilakukan perusahaan itu. (AP/AFP)