Keberpihakan kepada Industri Nasional Diuji
JAKARTA, KOMPAS - Pembahasan rancangan Peraturan Presiden tentang Percepatan Kendaraan Listrik Nasional diwarnai tarik-ulur kepentingan antarinstansi pemerintah. Pemerintah dinilai belum berkomitmen penuh untuk mendorong industri kendaraan listrik nasional menjadi tuan rumah di negeri sendiri, tidak lagi hanya menjadi pasar industri otomotif negara lain.
Di Indonesia, riset kendaraan listrik sebenarnya telah berjalan sejak 2012 melalui program riset Mobil Listrik Nasional (Molina), yang melibatkan Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Sebelas Maret (UNS), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS).
Berdasarkan dokumen rancangan perpres yang diperoleh Kompas, Selasa (28/8/2018), hilirisasi riset ke industri kendaraan listrik itu diatur dalam Pasal 4 hingga Pasal 10, yang mendorong pemanfaatan hasil riset kendaraan listrik di dalam negeri itu sebagai dasar pengembangan kendaraan listrik nasional.
Namun di pasal selanjutnya, mulai dari Pasal 11 hingga Pasal 16, rancangan perpres itu membuka peluang impor kendaraan listrik dari agen pemegang merek. Bahkan jika produsen komponen dalam negeri belum dapat memproduksi komponen sesuai kebutuhan industri kendaraan listrik dari agen pemegang merek, impor kendaraan listrik dalam bentuk komponen terurai lengkap (CKD) pun diperbolehkan. Impor ini pun diberikan insentif pajak, seperti dimuat dalam Pasal 21.
Pembahasan rancangan Perpres tersebut harus menjadi momentum menguji keberpihakan pemerintah terhadap industri kendaraan nasional dibandingkan otomotif Jepang yang telah mendominasi pasar dalam negeri.
Jika tak berhati-hati, rancangan Perpres ini berpotensi menjadikan Indonesia sebagai pasar otomotif dunia untuk kedua kalinya, dari dominasi Jepang ke dominasi China. Rancangan Perpres ini memiliki semangat yang cukup besar terhadap hilirisasi riset kendaraan dalam negeri menuju industri kendaraan listrik nasional.
Sementara industri kendaraan listrik dunia justru telah dikuasai beberapa negara saja. China tercatat sebagai negara yang paling siap memproduksi kendaraan listrik dan baterai-nya.
Hingga 2017, dikutip dari situs berita Forbes.com, produksi kendaraan listrik China terbesar di dunia. Jumlah produksinya mencapai 680.000 unit, lebih besar dibandingkan seluruh jumlah kendaraan listrik yang diproduksi di dunia.
Pada 2020, China juga berambisi menguasai produksi baterai kendaraan listrik hingga 130 giga wat hours (GWH), sisanya 40 GWH diproduksi Amerika Serikat (AS) dan Korea Selatan (Korsel).
Di dalam negeri, riset kendaraan listrik telah berjalan sejak 2012 dalam program riset mobil listrik nasional (molina) yang melibatkan UI, ITB, UNS, UGM, dan ITS.
Hingga kini, hasil riset yang siap diproduksi adalah prototipe motor skuter listrik buatan ITS bermerek Gesits. Rencananya, motor skuter itu akan diproduksi 50.000 unit pada November 2018 oleh PT Gesits Technologies Indo. Sementara untuk baterainya diproduksi UNS sebanyak 1.000 sel baterai per hari.
Menteri Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir menyampaikan, motor skuter listrik Gesits ini menjadi lompatan bagi industri kendaraan nasional kita. Berangkat dari riset di perguruan tinggi, Indonesia kini mulai bangkit membangun industri kendaraan listrik.
Sebanyak 89 persen komponen motor skuter listrik itu menggunakan produk dalam negeri, termasuk sel baterai-nya yang diproduksi UNS. Komponen yang impor hanya 11 persen, yakni LED untuk lampu sein dan shock breaker.
“Sementara untuk mobil listrik, semua negara masih melakukan riset. Kita pun melakukan hal serupa, melanjutkan riset mobil yang sudah ada,” jelasnya.
Namun, untuk menuju industri, pengembangan kendaraan listrik nasional belum didukung semua pihak.
Rancangan Perpres tentang percepatan kendaraan listrik, hasil inisiatif Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) itu pun pembahasannya masih alot karena tak memperoleh dukungan penuh dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Padahal rancangan regulasi ini akan menjadi landasan bagi hilirisasi riset kendaraan listrik dalam negeri ke industri.
Kemenperin menolak salah satu pasal di rancangan tersebut yang mengamanatkan penghentian penjualan pada 2040 untuk kendaraan berbahan bakar fosil, yang kini sebagian besar industrinya pun dijalankan investor asing, salah satunya Jepang.
Saat membuka pameran otomotif Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) di Tangerang, Kamis (2/8/2018), Direktur Jenderal Industri Logam Mesin Alat Transportasi dan Elektronika Kemenperin, Harjanto, pun menganggap pengujian untuk kendaraan listrik saat ini belum dibutuhkan karena produknya belum ada. Padahal motor skuter listrik Gesits akan memasuki tahap produksi.
“BEV (battery electric vehicle atau kendaraan listrik) kan kita belum ada,” ucap Harjanto.
Harjanto pun kurang antusias menanggapi motor skuter listrik Gesits yang akan segera diproduksi itu. Sebaliknya, ia lebih tertarik menyinggung pengembangan sepeda motor listrik yang dijalin Kemenperin bersama Panasonic dan Honda.
“Kami sudah ada pilot project (sepeda motor listrik) untuk baterai-nya, itu dengan Panasonic dan Honda,” jelasnya.
Alih-alih mendukung pengembangan kendaraan listrik nasional, Kemenperin lebih mendukung pengembangan kendaraan hybrid yang bahan bakarnya kombinasi BBM dan listrik. Walaupun sebenarnya industri dalam negeri pun belum ada yang menguasai teknologi hybrid ini.
Untuk mendukung pengembangan kendaraan hybrid, Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi dan Alat Pertahanan Kemenperin Putu Juli Ardika menyampaikan, pihaknya telah mengajukan keringanan pajak impor ke Kementerian Keuangan untuk jenis kendaraan yang tergolong electrified vehicle atau kendaraan yang dialiri listrik itu.
Skema insentif yang diusulkan adalah penurunan bea impor dari sebelumnya impor komponen utuh (CKD) dikenakan tarif bea masuk 5-10 persen, kemudian diusulkan turun menjadi 0-5 persen.
Pengembangan kendaraan yang dialiri listrik itu, menurut Putu, sudah sesuai dengan Peta Jalan Otomotif Indonesia, yakni dimulai dari hybrid, plug-in hybrid, dan terakhir BEV. Untuk mengkaji pengembangan kendaraan hybrid, Kemenperin kembali bekerja sama dengan industri otomotif Jepang, Mitsubishi dan Toyota.
“Kajian di dalam kota dilaksanakan Mitsubishi, sedangkan kajian di daerah dilaksanakan Toyota. Kajian ini juga melibatkan sejumlah perguruan tinggi negeri. Ini buktinya kami mendukung kendaraan listrik,” jelasnya.
Sementara definisi kendaraan listrik di dalam rancangan Perpres itu adalah kendaraan yang penggerak utamanya menggunakan motor listrik dan memperoleh pasokan tenaga listrik dari baterai.
Pandangan KPK
Pengembangan kendaraan ini sebagai upaya hadapi menipisnya cadangan minyak bumi yang tinggal 9 tahun lagi, dan mengendalikan emisi gas rumah kaca, sekaligus pengembangan kendaraan nasional. Sebaliknya hybrid masih menggunakan motor pembakar dengan bahan bakar BBM, dan teknologinya dikuasai industri kendaraan asing.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ikut mengawal pembahasan rancangan Perpres ini melihat usulan Kemenperin agar hybrid ikut menikmati insentif bea masuk impor itu dapat memukul pasar kendaraan listrik yang dirintis pemerintah.
Penasihat KPK, Mohammad Tsani Annafari, menyampaikan, kendaraan hybrid juga akan melanggengkan konsumsi BBM. Pemerintah akan terbebani menyediakan stasiun pengisian bahan bakar umum dan juga listrik.
“Kebijakan insentif itu harus tepat. Pemerintah harus menghindarkan diri dari konflik kepentingan dalam mengambil kebijakan yang berdampak pada keuangan negara,” katanya.
Penghentian 2040
Presiden Joko Widodo, saat membuka GIIAS pekan lalu, telah mengingatkan, bahwa kini Indonesia sudah menjadi pasar terbesar otomotif dunia. Oleh karena itu, Indonesia perlu berhati-hati dalam merespons tren industri otomotif yang mulai beralih ke kendaraan listrik.
“Pemerintah Perancis dan Inggris sudah umumkan bahwa mulai 2040 mobil non listrik akan dilarang di kedua negara itu. Pemerintah China juga umumkan akan menjadi produsen mobil listrik terdepan di dunia. Nah sekarang di Indonesia ini sudah menjadi pasar terbesar otomotif dunia maka kita harus berhati-hati,” jelasnya.
Kendati berkomitmen tak ingin menjadikan Indonesia kembali sebagai pasar, namun belum ada penjelasan dari pemerintah terkait kajian yang menjadi dasar percepatan kendaraan listrik. Hal itu termasuk penghentian penjualan kendaraan berbahan bakar fosil pada 2040.
Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian ESDM, Agus Cahyono menyampaikan, penetapan 2040 itu berangkat dari inisiatif sejumlah negara yang berniat beralih ke kendaraan listrik. Hal itu, menurut Agus, sempat dilontarkan Menteri ESDM Ignasius Jonan saat mengadakan diskusi pertama kali terkait rancangan Perpres percepatan kendaraan listrik pada Agustus 2017 lalu di Bali.
“Sekarang di beberapa pabrikan besar sudah keluarkan statement bahwa mereka menghentikan riset internal combustion (kendaraan dengan motor pembakar). Mereka sudah tak mau kembangkan teknologi itu. Artinya mereka sedang siap-siap beralih juga,” jelasnya.
Atas dorongan itu, menurut Agus, pemerintah berupaya melakukan percepatan kendaraan listrik lewat Perpres. Sebaliknya Kemenperin masih mau mengembangkan kendaraan hybrid terlebih dahulu.
“Di sini letak alotnya pembahasan draft Perpres (percepatan kendaraan listrik) itu dengan Kemenperin. Padahal beberapa kementerian sudah menyatakan, pengembangan tak harus serial, melalui hybrid terlebih dahulu. Sebaliknya, bisa paralel, langsung mengembangkan kendaraan listrik,” jelasnya
Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan selaku koordinator pembahasan Perpres ini menyampaikan, Indonesia menargetkan pada 2030 sebanyak 30 persen mobil listrik sudah masuk. “Jadi kami berharap gradually mobil listrik dapat menggantikan (mobil) energi fosil,” terangnya.
Untuk pengembangan kendaraan listrik di dalam negeri, Luhut menyampaikan, Indonesia dapat saja bekerjasama dengan negara-negara yang sudah mengembangkan kendaraan listrik lebih dulu, seperti China, Jepang, dan Amerika. “Kami sedang menjajaki mana saja yang bagus sesuai dengan keinginan kita,” jelasnya.
Sementara beberapa merek kendaraan listrik buatan China pun mulai menyusup masuk ke pasar dalam negeri. Build Your Dream (BYD), produsen baterai terbesar China ini telah menandatangani kerjasama produksi bus listrik dengan PT Bakrie Autoparts.
“Akhir tahun mungkin launch dua model. Mungkin 2019-2020 masih CBU (completely built up atau impor utuh). Baru kemudian CKD,” jelas Direktur Utama PT Bakrie Autoparts Dino A Riyandi.
Sepeda motor listrik pabrikan China juga sudah lebih dulu masuk ke Indonesia, dan menumbuhkan pasar sepeda motor listrik di daerah yang tak terjangkau rantai distribusi BBM seperti Papua. WIM Motor dan VIAR merupakan beberapa industri yang rutin memasok sepeda motor listrik bertenaga 1 KW hingga 2 KW ke Papua.
WIM Motor, contohnya, dalam setahun bisa memasok 520 unit sepeda motor listrik ke Papua, dan sudah berlangsung sejak 2009. Sepeda motor itu diimpor WIM Motor dalam bentuk CKD dari China, sementara VIAR menggunakan motor penggerak yang diproduksi BOSCH di China.
Di dalam negeri, hasil riset kendaraan listrik yang siap produksi baru motor skuter listrik. Sementara riset mobil listrik masih dalam pengembangan. Mengacu pada Peta Jalan Mobil Listrik Nasional 2016-2020, Ketua Tim Pengembangan Mobil Listrik Nasional ITS Muhammad Nur Yuniarto menyampaikan, ditargetkan mobil listrik hasil riset perguruan tinggi negeri siap diproduksi pada 2020.
Komponen motor listrik sebagai penggerak mobil hasil riset perguruan tinggi negeri, itu memiliki daya maksimum 50 KW. ITS membuat motor listrik tipe axial brushless DC motor, sedangkan ITB membuat tipe radial brushless DC motor.
Presiden Institut Otomotif Indonesia, Made Dana Tangkas, menyampaikan, sebaiknya Indonesia belajar dari industri otomotif dalam negeri yang sudah ada saat ini jika ingin serius mengembangkan kendaraan listrik nasional. Selama 30 tahun, menurutnya, otomotif Indonesia tak mengalami kemajuan signifikan.
Kontribusi industri otomotif terhadap Produk Domestrik Bruto nasional pun minim, hanya 2,6 persen. Sebagai contoh riset dan pengembangan (R and D) otomotif, yang diberikan perusahaan otomotif itu hanya bagian kulit seperti membuat pintu dan tubuh mobil. Sementara riset dan pengembangan mobil secara utuh tetap dilaksanakan di negara asal perusahaan otomotif.
“R and D itu sudah diberikan, tetapi nggak semuanya dibuka sama mereka. Yang gampang-gampang saja,” jelasnya.
Apalagi, lanjut Made, rancangan Perpres kendaraan listrik itu memberikan insentif bea masuk impor untuk komponen, maka penerapannya pun perlu hati-hati. Jangan sampai kebijakan itu malah membuat Indonesia kembali hanya menjadi pasar industri otomotif kendaraan listrik dunia, yang kini hanya dikuasai beberapa negara salah satunya China.
Di sini, menurut Made, pentingnya ada kajian yang matang sehingga dapat disusun peta jalan pengembangan kendaraan listrik nasional yang detail, hingga siapa melakukan apa itu terpetakan dengan jelas.
Setiap tahun di setiap fase peta jalan yang dilalui, itu dilakukan evaluasi dengan detail. Dengan demikian, baru dapat dipastikan hilirisasi riset kendaraan listrik di dalam negeri ke industri benar-benar terjadi.
“Sehingga nanti jelas pelakunya, anak bangsa sendiri atau asing. Makanya peta jalan kendaraan listrik ini harus jelas, supaya industri otomotif kita tak hanya berganti negara saja (dari Jepang ke China). Ujung-ujungnya kita cuma jadi kuli terus,” jelasnya. (RYAN RINALDY/BENEDIKTUR KRISNA YOGATAMA/HARRY SUSILO)