Patroli Smart Potensial Jadi Basis Pengelolaan Taman Nasional
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS – Patroli Smart atau pemantauan kondisi hutan secara lengkap dan akurat menjadi basis pengelolaan Taman Nasional Gunung Leuser. Meski terbukti bermanfaat, patroli sekaligus pengamanan hutan secara rutin di tingkat tapak terkecil taman nasional ini masih tergantung pada keberadaan mitra, terutama dalam hal pendanaan.
Sejak tahun 2015, patrol ini diperkenalkan Wildlife Conservation Society (WCS) kepada para pengelola resor (tapak terkecil) di Taman Nasional Gunung Leuser. Tim patroli resor – maupun gabungan petugas antarresor – yang terdiri tujuh orang mengikuti jalur yang telah ditentukan serta mencatat setiap temuan selama berpatroli 14 hari.
Sejak tahun 2015, Patroli Smart diperkenalkan Wildlife Conservation Society kepada para pengelola resor (tapak terkecil) di Taman Nasional Gunung Leuser.
Data-data utama seperti bekas jejak atau kotoran satwa kunci seperti harimau sumatera, badak sumatera, beruang madu, gajah, dan orangutan hingga keberadaan pemburu/pembalak liar dicatat lengkap dalam alat Global Positioning System (GPS). Data-data yang juga dilengkapi dokumentasi foto ini kemudian dimasukkan dalam sistem menjadi pelaporan kepada Balai Besar TNGL.
“Data-data yang dikumpulkan patroli Smart ini sangat penting bagi kami untuk mengambil keputusan secara cepat,” kata Adhi Nurul Hadi, Kepala Bidang Teknis Konservasi Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser, Selasa (28/8/2018) di Medan, Sumatera Utara.
Dalam patroli Smart (Spatial Monitoring and Reporting Tools) tersebut, area taman nasional seluas 800.000 hektar dibagi menjadi sekitar 5.500 grid berukuran 2 x 2 kilometer persegi. Tim patroli selama sebulan sekali melintasi jalur pada grid-grid tersebut serta mencatat temuan, membersihkan jerat, serta menangani pelaku yang tertangkap basah menebang pohon atau memburu flora/fauna.
Keputusan cepat tersebut, kata Adhi, saat tim patrol menangkap pelaku perburuan. Data-data yang dicatat itu bisa menjadi bukti awal bagi penyidik di kantor Balai Besar TNGL sebagai bukti awal. Ini digunakan untuk penetapan tersangka serta proses penyidikan pelaku yang dibatasi waktu 1 x 24 jam.
Pengumpulan data ini lebih cepat dan terstruktur dibandingkan patroli konvensional yang selama ini dilaksanakan petugas kehutanan. Kini di TNGL terdapat 23 tim patroli Smart yang rutin beroperasi di 31 resor setempat.
Regulasi
Meski patroli ini bisa menjadi dasar bagi pengelolaan resor (resort base management/RBM) di taman-taman nasional di Indonesia, hingga kini belum memiliki regulasi yang menjadi kebijakan. Regulasi dibutuhkan karena berkonsekuensi pada standar pembiayaan di anggaran pemerintah.
Anggaran operasional patroli Smart tersebut selama ini masih ditanggung Proyek Sumatran Tiger melalui WCS. Selain di TNGL, Project ini juga membiayai kegiatan serupa di TN Kerinci Seblat (bermitra dengan Fauna and Flora International/FFI), TN Kerinci Seblat (WCS), dan TN Berbak Sembilang (Zoological Society of London). Proyek ini berlangsung hingga 2020.
Anggaran operasional patroli Smart tersebut selama ini masih ditanggung Proyek Sumatran Tiger melalui WCS.
Fahrul Amama, Koordinator Pengembangan Jaringan Konservasi, WCS Indonesia menyatakan, Proyek Sumatran Tiger mendukung peningkatan efektifitas kegiatan patroli pengamanan kawasan taman nasional. Termasuk dalam peningkatan kapasitas staf taman nasional termasuk polisi hutan, melalui penyusunan kurikulum terstandardisasi dan terakreditasi secara nasional, serta pelatihan-pelatihan di pengelola taman nasional.
“Dengan penyusunan kurikulum Smart, tidak hanya kapasitas dan pengalaman polisi hutan dalam melaksanakan patroli meningkat namun juga kapasitas resor sesuai dengan prinsip RBM,” ujarnya.
Kurikulum Smart dalam konteks RBM ini pun menjadi rujukan peningkatan kapasitas polisi hutan. metode ini bisa dimanfaatkan lebih lanjut KLHK dalam sertifikasi petugas patrolinya.