MATARAM, KOMPAS — Setelah terserang diare, infeksi saluran pernapasan akut, dan pneumonia, kini muncul penyakit cacar air (varicella) yang menyerang pengungsi di tenda pengungsian. Penyakit itu disebabkan virus varicella zoster yang ditandai bintik merah dan berair pada tubuh yang sangat gatal.
Menurut Naspudin, Kepala Puskesmas Nipah, Desa Malaka, Kecamatan Pemenang, Lombok Utara, Rabu (29/8/2018), sebanyak lima orang, yakni 2 anak balita, 2 anak usia enam tahun, dan seorang ibu, terserang penyakit cacar air.
Kasus itu ditemukan di Posko 3 Pengungsi Dusun Nipah saat petugas kesehatan melakukan pemeriksaan dan penyuluhan kepada warga di tenda pengungsian pada Rabu pagi.
Mereka yang terserang cacar air itu berada di satu tenda yang berkapasitas 39 keluarga. ”Ini kasus baru dan yang pertama kami temukan di tenda pengungsian,” ujar Naspudin.
Di wilayah kerja Puskesmas Nipah, selama warga mengungsi muncul berbagai penyakit, antara lain diare (62 kasus), ISPA (68), influenza (62), dan penyakit kulit (35), terakhir cacar air.
Pemicu penyakit cacar air antara lain faktor kebersihan tubuh dan lingkungan seperti di tenda pengungsian. Virus itu dengan mudah menyerang ketika imunitas tubuh rendah. Penyakit ini dengan cepat menular, antara lain, melalui baju, selimut, dan air, terlebih lagi jika terjadi kontak fisik dengan penderita.
Para pasien yang terserang cacar air itu, kata Naspudin, diberikan terapi dengan tablet dan salep acy clovier serta parasetamol. Tujuannya adalah untuk mengurangi penyebaran virus dan meningkatkan daya tahan tubuh.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Utara Khaerul Anwar mengaku belum mendapat laporan perihal warga yang terserang cacar air di wilayah kerja Puskesmas Nipah. Namun, kasus serupa terjadi beberapa hari setelah gempa pertama 29 Juli diikuti warga yang mengungsi.
Kasus cacar air di desa itu menyerang 20 warga di tenda pengungsian Desa Karang Bajo, Kecamatan Bayan, Lombok Utara. Para penderita segera diberikan obat agar penyakit itu tidak menular ke warga lain meski rata-rata penderita enggan mengonsumsi obat.
”Kami terkadang kesulitan mengintervensi karena warga enggan diberi obat. Apalagi ada pemahaman dalam masyarakat bahwa cacar air akan sembuh dengan sendirinya,” ujar Khaerul. (JUM/ZAK)