Taman Kota Atambua, Pusat Aktivitas Warga Perbatasan RI-Timor Leste
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·4 menit baca
Setiap daerah biasanya memiliki taman kota, yang juga lebih dikenal sebagai ruang publik. Ruang publik ini dimanfaatkan warga setempat untuk berbagai keperluan. Dari arena berkumpul, pusat kuliner, hiburan, tempat kebugaran, hingga tempat penyampaian aspirasi masyarakat. Di Atambua, warga perbatasan RI-Timor Leste juga menikmati keberadaan taman kota ini.
Sebulan lalu, tepatnya Jumat, 27 Juli 2018, pukul 05.30 Wita. Melkianus Seran (26), sopir bus Gemilang, jurusan Atambua-Kupang, dengan tubuh berkeringat dan napas terengah-engah, berlari mengelilingi lapangan, bagian dari Taman Kota Atambua, Belu, Nusa Tenggara Timur. Inilah satu-satunya taman kota di perbatasan yang ramai dikunjungi warga perbatasan pada pagi, siang, dan malam.
”Saya harus olahraga sebelum mulai kerja. Tempat ini berada di dalam kota, sangat strategis bagi semua warga Atambua dan warga di perbatasan. Di sini titik pertemuan kami, dari 17 kecamatan dan 136 desa/kelurahan di perbatasan RI-Timor Leste,” tutur Melkianus.
Melkianus mengaku rutin berlari pagi di Taman Kota Atambua. Puluhan warga Atambua setiap pagi berolahraga di dalam Taman Kota ini. Mereka berjalan kaki santai, jalan cepat, joging, dan bermain bola. Kebanyakan di antara mereka adalah orangtua yang sedang bergulat dengan penyakit tertentu.
Taman Kota Atambua berukuran sekitar 4 hektar. Di dalam taman terdapat lapangan sepak bola, pusat jajanan, tanaman pohon rindang seluas 700 meter persegi, tempat pedagang kaki lima, dan sebuah panggung yang terbangun dari coran semen.
Taman kota ini dikelilingi sejumlah gedung, termasuk kantor DPRD Belu, pusat pertokoan, hotel sekolah, hingga Markas Polres Belu dan Markas Kodim Belu. Karena letaknya yang strategis, Taman Kota Atambua paling sering dikunjungi masyarakat. Memasuki pukul 09.00-11.00 Wita, anak-anak sekolah di Kota Atambua berdatangan ke lapangan yang ada di dalam taman kota.
Taman ini dimanfaatkan warga untuk berolahraga secara kelompok dan bergilir pada pagi dan sore. Sementara di barat, timur, utara, dan selatan dari taman kota terdapat pedagang kaki lima atau pedagang asongan. Mereka berjualan bakso, mi goreng, mi rebus, gorengan, dan warung makan dengan tenda bongkar pasang.
Pukul 12.00-15.00, giliran anak-anak remaja berdatangan. Mereka adalah anak-anak yang tinggal di desa-desa persis berbatasan dengan Timor Leste.
Mereka datang berbelanja kebutuhan hidup sehari-hari di Atambua sambil berekreasi sejenak di dalam taman kota itu. Mereka pun memanfaatkan waktu untuk makan dan minum sebelum melanjutkan perjalanan pulang ke kampung asal di perbatasan.
Pada salah satu sudut taman kota, terdapat rerimbunan pohon, dilengkapi tempat duduk dan tempat bercengkerama. Anak-anak SMA dan SMP sering mampir di tempat itu sebelum pulang ke rumah kediaman masing-masing.
Alfonsus Kiik (34), salah seorang petugas kebersihan Taman Kota Atambua, mengatakan, anak-anak SD yang sekolahnya persis di pinggir lapangan taman kota sering bermain bola di dalamnya. Taman kota ini menjadi pusat hiburan, pusat kebugaran (olahraga), pusat pertemuan, pameran, dan pentas seni budaya.
”Taman ini serbaguna. Bisa dipakai untuk kebutuhan apa saja, yang melibatkan ratusan bahkan ribuan warga, bahkan untuk kampanye pemilihan kepala daerah dan DPRD. Tetapi, semua pemanfaatan taman ini harus mendapat izin dari Dinas Pertamanan dan Tata Kota. Jadi, tidak semua elemen masyarakat bebas menggunakan, kecuali secara individu,” tutur Kiik.
Pada sore dan malam, ruang publik itu dimanfaatkan pedagang kaki lima dan masyarakat umum, kecuali ada hajatan tertentu, seperti pentas seni budaya atau pameran pembangunan. Saat itu, hampir sebagian besar masyarakat Atambua termasuk anak-anak muda dari desa-desa perbatasan berdatangan ke taman kota ini.
Sejumlah aksi masyarakat terpusat di sini, termasuk penyampaian aspirasi. Saat terjadi gejolak nasional terpusat di Jakarta, seperti kasus penodaan agama atau eksekusi mati terhadap Tibo, tempat ini menjadi titik kumpul warga untuk menyampaikan aspirasi. Di sini pula terjadi aksi demo massal tahun 2007 yang berdampak pada pembakaran Gedung DPRD Belu.
Malam hari, tempat ini disinari lampu-lampu taman yang menarik. Pedagang boleh berjualan dan pengunjung menentukan pilihan untuk menikmati makan malam.
Kelompok anak muda pun sering bercengkerama di dalam taman sampai larut malam, bahkan sampai pagi. Tidak ada penjaga keamanan di dalam taman sehingga kadang kerap keberadaan Taman Kota Atambua sering menjadi tempat anak-anak muda mabuk serta membuat keributan.
”Tapi untungnya, di samping taman itu ada Markas Polres Belu sehingga masyarakat takut bertindak anarki atau melakukan keributan. Anggota Polres Belu yang melakukan piket jaga pun bisa memantau situasi keamanan dan ketertiban di dalam taman ini,” ujar Kiik.