Suara musisi Amerika Serikat, Chris Berry, mengalun bersamaan harmoni harpa dan mbira di tengah riak ombak kecil. Sore itu, matahari yang sebagian besar tertutup awan di bagian barat memberikan keteduhan. Dari panggung di laut, Chris menaklukkan lautan Kepulauan Togean dengan musik dari berbagai penjuru dunia.
Suara seraknya menggelegar. Lanunan harpa yang dipetik Dave Hoover, temannya, serta ukulele dari Winosa Berry, putrinya, mengalir mengiringi vokal Chris. Dentingan mbira, alat musik khas Afrika bagian selatan, dari tangan Chris membuat suasana terasa asing di lautan.
So beautiful, you make me feel. Itu penggalan lirik lagu ”Beautiful As You Are” yang dilantunkan Chris, Jumat (10/8/2018), di panggung laut Pulau Papan, Desa Kadoda, Kecamatan Talatako, Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah. Saat ia berimprovisasi dengan menyebut ”Togean is beautiful” dalam lagu berirama pelan nan syahdu itu, sontak tepuk tangan dan teriakan penonton dari panggung dan perahu di laut membahana.
Penonton terus bertepuk tangan saat Chris membawakan lagu kedua, ”Love”. Tiga kali ia menyelipkan Bajo people we love you dalam lagu tersebut. Kepulauan Togean dihuni suku Bajo, selain suku Togean dan Bugis.
Chris tampil di panggung laut dalam rangkaian acara ”Togean International Oceanic Festival (TIOF)”, 7-11 Agustus 2018, di Pulau Papan dan Pulau Malenge, Kepulauan Togean. Festival itu digelar untuk mempromosikan potensi wisata Taman Nasional Kepulauan Togean yang terkenal dengan pantai berpasir putih di 20 pulau dan terumbu karang yang indah. Pulau Papan dan Malenge bagian dari Taman Nasional Kepulauan Togean.
Chris, pemenang Anugerah Grammy (Grammy Award), adalah musisi Amerika Serikat yang jiwa lagunya berasal dari lagu-lagu tradisional suku-suku di daratan Afrika selatan. Ciri khas musiknya tenang serta vokal yang kuat dalam alunan harpa dan mbira yang tak mendominasi suara. Mbira adalah alat musik petik dengan tutslempeng. Alat musik tersebut dipakai di Zimbabwe dan Mozambik.
Musik Chris mendekati gaya balada dalam musik Indonesia dengan irama yang lebih pelan. Di belantika musik dunia, lagu-lagu Chris dikategorikan aliran musik dunia (world music) karena ia menyanyikan lagu dari berbagai penjuru dunia, mulai dari Afrika hingga Hawaii, Amerika Serikat. Dengan alunan khas musik tradisional Afrika, Chris dipercaya memainkan musik gwenyambira, yakni musik yang mengandung kekuatan spirit atau magis.
Chris menyanyikan lima lagu di panggung laut sore itu. Selain ”Beautiful As You Are” dan ”Love”, penyanyi kelahiran California itu juga melantunkan ”Jiguaya”, ”E Pele”, dan ”Alethalaheme”. ”Jiguaya” adalah ikan yang sering mengiringi ikan duyung di lautan Afrika. Sementara pele sebutan untuk dewi gunung api di Hawaii. Adapun alethalaheme berarti surga di dunia, bahasa yang dipakai di Afrika bagian selatan.
”Togean adalah alethalaheme,” ujarnya di sela membawakan lagu yang disertai tepuk tangan meriah penonton.
Sebelumnya, pada Kamis (9/8/2018), di panggung yang dibangun di Pantai Malenge, Pulau Malenge, seberang Pulau Papan, musik jazz dari Nita Aartsen Quatro menghangatkan suasana malam. Nita, yang bermain piano, menyegarkan penonton dengan jazz khas Latin dalam bunyian yang segar, berkejaran antara piano, bas, gitar melodi, dan gebukan drum.
Berturut-turut Nita bersama empat rekannya membawakan empat lagu. Keempat lagu itu berasal dari Brasil, Kuba, dan Spanyol. Komposisi itu tak bervokal, hanya sesekali Nita bersuara di tengah rentetan bunyi gitar melodi, bas, drum, dan dentingan piano. Pendar cahaya warna-warni yang berganti seirama musik membuat suasana bertambah semarak.
Seusai tampil, Nita menyatakan, empat komposisi yang dibawakannya mewakili suasana pesta di pantai. Musik jazz Latin berkarakter meriah dan rancak sehingga cocok untuk suasana pesta.
Penikmat musik di Kepulauan Togean tak hanya mengembara ke Afrika atau Amerika Latin. Pada Sabtu (11/8/2018), hari terakhir festival, penyanyi Indonesia, Ivan Nestorman, menyajikan lagu-lagu etnik Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, dari panggung di laut Pulau Papan. Ia tampil solo diiringi gitar akustik.
Ia melantunkan tiga lagu, yakni ”Sa Ngai”, lagu dari Kabupaten Lembata, untuk memanggil angin agar bertiup di perairan arena acara; ”Gego lau gego le”, lagu berbahasa Manggarai, yang menggambarkan kegirangan selepas musim tanam; serta ”Mogi”, lagu pujian untuk kecantikan perempuan di Kabupaten Nagekeo.
Ivan mengapresiasi konsep panggung di laut dalam gelaran TIOF. Konsep acara tersebut unik dan memberikan impresi tersendiri. Model acara serupa layak ditiru pemerintah kabupaten atau pengelola acara lainnya.
Magali (33), wisatawan asal Perancis, mengatakan sangat menikmati acara musik di panggung laut dan pantai di Pulau Papan serta Pulau Malenge. ”Musiknya berkualitas. Saya suka,” ucapnya.
Direktur TIOF Franki Raden menjelaskan, pada umumnya, festival wisata bahari di Indonesia tak memanfaatkan perairan sebagai medium utama acara. Laut hanya dipakai untuk lomba, seperti dayung sampan, triatlon, dan atraksi lainnya.
”Padahal, acara panggung sangat mungkin bisa dilakukan di laut. TIOF membuktikan laut bisa dijadikan wahana untuk penyelenggaraan acara panggung,” ujar Franki.