Rencana reklamasi Teluk Benoa, Denpasar, Bali, terhenti. Itu jadi ujung dari penolakan masyarakat adat sejak 2014. Warga menanti ketegasan Presiden mencabut Peraturan Presiden No 51 Tahun 2014.
Hari Jumat (24/8/2018), pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Bali terpilih, Wayan Koster-Tjok Oka Artha Ardana Sukawati, menyatakan, rencana reklamasi Teluk Benoa harus dihentikan. Semua pihak terkait, mulai dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah setempat dan pihak lain yang berwenang diminta menghentikan proses dalam bentuk apa pun terkait rencana reklamasi kawasan Teluk Benoa, Bali (Kompas.id, 24/8/2018).
Pihak pemrakarsa melalui Direktur Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) Leemarvin Lieano merespons, ”Kami berusaha memenuhi semua aturan, sudah memohon perizinan…. Kalau pemerintah memutuskan seperti itu, ya, silakan diatur. Kami mau bicara apa lagi.” (Kompas.id, 24/8/2018).
Sementara Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya yang berada di luar negeri, Senin (27/8/2018), melalui pesan singkat menjawab soal analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang diajukan PT TWBI, ”Belum ada perkembangan apa-apa”. Hal senada disampaikan Direktur Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) Leemarvin Lleano yang menulis pada pesan singkatnya, ”Amdal belum ada putusan dari KLHK”.
Tanpa amdal yang disetujui, praktis proses ke arah pelaksanaan terhenti. Izin lokasi TWBI pertama kali diberikan pada 2014. Koordinator Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBali) Wayan ”Gendo” Suardana menegaskan, ”Izin lokasi berlaku dua tahun dapat diperpanjang paling lama dua tahun. Hanya boleh sekali perpanjangan.” Hal itu mengutip pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Dari awal rencana reklamasi, ForBali telah menolak rencana tersebut. Sebanyak 39 desa adat sepakat menolak reklamasi Teluk Benoa. Mereka mendesak agar status Denpasar-Badung- Gianyar-Tabanan (Sarbagita) dipertahankan sebagai wilayah konservasi.
Dari 15 desa adat di sekeliling Teluk Benoa, masyarakat satu desa adat yang terdiri atas satu banjar tidak menyatakan sikap. ”Belum dukungan dari elemen-elemen di luar ForBali, yang jumlahnya amat besar, dari para seniman, pegiat lingkungan, dan sebagainya,” kata Gendo.
Masyarakat dan perpres
Penolakan masif masyarakat adat tampak pada dengar pendapat terakhir amdal pada tahun lalu. Barisan warga berpakaian adat berbaris mencapai panjang lebih dari 400 meter. Mereka menyatukan tekad dan teguh menolak reklamasi. Pada banyak kasus, masuknya investasi besar untuk proyek berbasis lahan di sejumlah wilayah membuahkan perpecahan di masyarakat setempat.
Beberapa waktu lalu, Kompas menyaksikan keterbelahan warga Celukan Bawang, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali. Di ruang pengadilan, pembacaan putusan kasus gugatan tiga warga dan Greenpeace untuk mencabut surat izin lokasi dari Gubernur Bali diwarnai teriakan ejekan yang mendominasi suasana. Perpecahan juga terjadi dalam kasus penambangan karst di beberapa daerah di Kabupaten Rembang dan Pati pada rangkaian Pegunungan Kendeng.
Sulit untuk tidak mengaitkan keterpecahan masyarakat dengan realitas kekuatan modal yang masuk dari investor. Warga setempat kerap kali adalah warga marjinal secara ekonomi dan sosial, terutama jika itu menyangkut masyarakat adat.
Maka, seluruh rangkaian cerita hingga terhentinya rencana reklamasi Teluk Benoa merupakan preseden bahwa masyarakat yang teguh bersatu berpeluang memenangi kasus, mempertahankan, ataupun mendapatkan haknya. Dalam hal Teluk Benoa, keberhasilan masyarakat membawa konsekuensi yang harus ditanggung.
Kondisi Teluk Benoa dengan hancurnya kawasan mangrove dan sampah yang bertumpuk di muara, untuk menyebut contoh, merupakan persoalan yang harus segera diatasi. Suatu kali Abetnego Tarigan, mantan Direktur Walhi, menegaskan, reklamasi bukanlah jawaban tepat dua masalah itu.
Tekad mempertahankan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi harus diikuti dengan kerja untuk memaknainya. Pemerintah provinsi bersama pemerintah daerah kabupaten dan masyarakat setempat harus mengisi ”kemenangan” dengan bertanggung jawab menata kawasan Teluk Benoa.
Hal itu termasuk menata titik-titik yang jadi lokasi ritual Hindu sebagai konservasi lingkungan, sosial, kultural, dan spiritual. Jika kawasan tertata dan fungsi konservasi berjalan dengan baik, roda ekonomi bisa lebih kencang berputar. Pun, pihak ketiga tidak sah lagi datang untuk ”menata” kawasan.
Kerja masyarakat tak cukup apabila pemerintah tidak melakukan langkah-langkah afirmasi di level suprastruktur. “Sepanjang Perpres 51 Tahun 2014 masih berlaku maka sepanjang itu pula Teluk Benoa masih terbuka lebar dimohonkan izin reklamasi,” ujar Gendo.
Rencana mereklamasi Teluk Benoa lahir menyusul Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan. Dalam Perpres yang diterbitkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut, menjelang berakhirnya masa jabatannya, sebagian zona konservasi diubah menjadi zona budidaya.
Terkait perpres, maka Presiden adalah tumpuan terakhir dan benteng terakhir untuk mempertahankan fungsi konservasi Teluk Benoa, yaitu dengan mencabut Perpres 51 tahun 2014. Dan, kewenangan mencabut perpres hanya ada di tangan presiden.
Dengan mencabut perpres tersebut, maka Presiden Joko Widodo dapat menghidupkan kembali mimpi masyarakat di kawasan Teluk Benoa untuk hidup sejahtera secara sosial-kultural-spiritual dan ekonomi. Presiden dapat mendampingi masyarakat mewujudkan mimpi itu. Go for it Pak Jokowi….