JAKARTA, KOMPAS — Minimnya literasi dan penggunaan dalam komunikasi membuat sejumlah bahasa daerah di Indonesia mengalami kepunahan. Pendataan ke dalam konsep digital dinilai dapat mencegah bahasa daerah tersebut mengalami kepunahan.
Sepanjang tahun 2011-2017, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa melakukan pengujian vitalitas atau daya tahan terhadap 71 bahasa daerah di seluruh Tanah Air. Hasilnya menunjukkan hanya 19 bahasa daerah yang dinyatakan berstatus aman, sedangkan sisanya sangat memprihatinkan.
Badan Bahasa mencatat, 11 bahasa daerah di Indonesia dikategorikan sudah punah. Sembilan bahasa daerah yang punah terdapat di Maluku dan Maluku Utara, yakni bahasa Kajeli/Kayeli, bahasa Piru, bahasa Moksela, bahasa Palumata, bahasa Ternateno, bahasa Hukumina, bahasa Hoti, bahasa Serua, dan bahasa Nila. Sementara dua bahasa daerah lainnya yang juga punah berasal dari Papua, yakni bahasa Tandia dan bahasa Mawes.
Selain itu, Badan Bahasa juga menyatakan bahwa 4 bahasa kritis, 19 bahasa terancam punah, 2 bahasa mengalami kemunduran, dan 16 bahasa berada dalam kondisi rentan. Secara keseluruhan, di Indonesia ada 652 bahasa daerah yang dapat didokumentasikan dan baru 71 bahasa daerah yang akhirnya bisa diuji daya tahannya (Kompas, 21 Februari 2018).
Pakar Linguistik lulusan Universitas Oxford, Willem Burung, di Jakarta, Kamis (30/8/2018), menyampaikan, punahnya suatu bahasa dapat disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya bahasa daerah tidak lagi digunakan dalam komunikasi sehari-hari.
”Sikap berbahasa dan pilihan berbahasa inilah yang membuat para penutur jadi punah. Masayarakat lebih memilih menggunakan bahasa Inggris atau bahasa lain karena lebih bergengsi,” ujar Willem dalam diskusi Peran Linguistik dan Kepunahan Bahasa.
Willem menjelaskan, faktor lain penyebab bahasa daerah mengalami kepunahan ialah kebijakan berbahasa seperti pemusnahan bahasa, dominasi bahasa lain, ataupun pembatasan ranah pemakaian. Faktor bencana alam atau wabah kelaparan yang menyebabkan meninggalnya ratusan orang juga dapat menjadi penyebab kepunahan bahasa daerah ini.
Willem mencontohkan, salah satu bahasa yang hampir punah berdasarkan penelitiannya yaitu bahasa Wano di Papua. Bahasa ini digunakan oleh sekitar 7.000 orang penutur asli yang tinggal di daerah sekitar Puncak Jaya, puncak gunung tertinggi di Indonesia. Minimnya penutur asli bahasa Wano membuat bahasa ini terancam punah.
Mencegah kepunahan
Salah satu cara mencegah kepunahan dan melestarikan bahasa daerah menurut Willem yaitu dengan mengkolektifkan dan mendigitalisasi bahasa tersebut. Digitalisasi ini dapat memudahkan masyarakat mengakses dan mempelajari bahasa daerah yang ada di Indonesia melalui gawai.
Hal senada juga disampaikan oleh Tamalia Alisjahbana yang merupakan putri dari sastrawan dan salah satu perumus tata bahasa Indonesia, Sutan Takdir Alisjahbana. Menurut dia, bahasa daerah sangat penting untuk dilestarikan untuk menciptakan identitas suatu bangsa.
Upaya mencegah kepunahan bahasa daerah juga turut dilakukan oleh komposer dan pianis Ananda Sukarlan. Upaya tersebut dilakukan Ananda dengan cara mengkomposer lagu-lagu daerah yang berasal dari 34 provinsi di Indonesia agar bisa dimainkan oleh pianis Indonesia ataupun dunia. Saat ini Ananda baru mengomposisi 24 lagu daerah.
Sejumlah lagu daerah yang sudah dikomposisi oleh Ananda antara lain ”Goro-Gorone” dari Maluku, ”Oina Ni Keke” dari Sulawesi Utara, ”Jali-Jali” dari Jakarta, ”Janger” dari Bali, ”Rambadiya” dari Sumatera Utara, ”Bungong Jeumpa” dari Aceh, ”Manuk Dadali” dari Jawa Barat, dan ”Lir Ilir” dari Jawa Tengah.
”Musik merupakan alat komunikasi yang lebih kuat dari sekadar bahasa. Hal ini juga bisa membuat musik bisa menjadi alat untuk memopulerkan kembali lagu dan bahasa daerah yang ada di Indonesia,” kata Ananda.