Hilirisasi Riset Butuh Keberpihakan
JAKARTA, KOMPAS - Pembahasan rancangan Peraturan Presiden tentang Percepatan Kendaraan Listrik Nasional menjadi momentum bagi Indonesia untuk melakukan hilirisasi hasil riset ke dunia industri. Namun, harapan ini mensyaratkan adanya regulasi yang benar-benar berpihak pada industri kendaraan listrik dalam negeri.
Hilirisasi riset kendaraan listrik ke industri sangat dibutuhkan agar Indonesia dapat bersaing dengan negara lain dalam mengembangkan kendaraan listrik. Riset sel baterai, salah satunya, merupakan langkah strategis untuk menunjang pengembangan kendaraan listrik. Dalam struktur biaya, baterai memakan hampir separuh dari seluruh biaya produksi kendaraan listrik.
Para peneliti yang dihubungi hingga Rabu (29/8/2018) mengkhawatirkan sikap Kementerian Perindustrian yang dinilai tak mendukung kendaraan listrik nasional. Padahal langkah strategis sangat dibutuhkan karena beberapa negara siap melakukan ekspansi industri kepada kendaraan listrik, seperti China.
Kebijakan yang memihak pada hilirisasi riset kendaraan listrik ke industri dibutuhkan supaya Indonesia dapat maju bersama dengan negara lain di dunia yang saat ini sedang bersama-sama mengembangkan kendaraan listrik.
Riset sel baterai, salah satunya, merupakan langkah strategis untuk menunjang pengembangan kendaraan listrik. Dalam struktur biaya, baterai memakan hampir separuh dari seluruh biaya produksi kendaraan listrik.
China tak hanya siap memproduksi kendaraan listrik, melainkan juga baterainya. Menurut Bloomberg.com, pada 2020 China akan menguasai produksi sel baterai hingga 130,4 gigawat hours (GWH). Selebihnya 42,4 GWH diproduksi Amerika Serikat dan Korea Selatan. Beberapa produsen kendaraan listrik dan baterai China pun sudah mulai ekspansi industrinya ke sejumlah negara.
Di dalam negeri, riset baterai kendaraan listrik tengah dijalankan Universitas Sepuluh Maret (UNS). Dengan dukungan investasi riset dari pemerintah sebesar Rp 1,5 miliar, dan belakangan ikut didukung investasi dari PT Pertamina, UNS telah memiliki pabrik sel baterai di Pusat Pengembangan Bisnis UNS di Solo.
Pabrik itu menjadi satu-satunya pabrik pembuat sel baterai di Indonesia. Setiap hari, UNS sudah memproduksi 1.000 sel baterai untuk jenis lithium metal phosphate (LMP), nickel cobalt aluminum (NCA), dan mangan cobalt (NMC).
Hanya riset dan produksi sel baterai ini baru didukung Kementerian Riset Teknologi Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) dan Badan Usaha Milik Ngara (BUMN). Untuk menjamin keberlangsungannya, produksi sel baterai ini membutuhkan regulasi industri yang berpihak terhadap kendaraan listrik.
Sementara pembahasan rancangan perpres percepatan kendaraan listrik, yang menjadi payung regulasi selanjutnya, hingga kini belum tuntas. Lambatnya pembahasan karena Kemenperin belum sepakat dengan percepatan kendaraan listrik.
Kemenperin menginginkan tetap mengikuti Peta Jalan Industri Otomotif Indonesia, yakni mengembangkan kendaraan rendah emisi karbon (LCEV). Dimulai dari kendaraan berbahan bakar bio-energi, hybrid, plug-in hybrid, dan terakhir kendaraan listrik dengan baterai (BEV).
Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat UNS, Muhammad Nizam, selaku pemimpin riset sel baterai, yang ditemui pekan lalu di Solo, ini mengungkapkan kekhawatirannya. “Jika draft (rancangan) perpres percepatan kendaraan listrik itu pembahasannya dikendalikan Kemenperin, kemungkinan regulasi yang diterbitkan akan berbeda,” ucapnya.
Nizam mengungkapkan, belajar dari pengalaman 2012, saat pemerintah mendorong riset Mobil Listrik Nasional (Molina), pihaknya bersama perguruan tinggi negeri lain sudah mengajukan pengembangan kendaraan listrik kepada pemerintah. Namun pada akhirnya Kemenperin malahan menerbitkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 33/M-IND/PER/7/2013 tentang kendaraan berbahan bakar hemat energi dan harga terjangkau (KBH2/LCGC), yang industrinya justru dikuasai asing.
“Pada 2012, DPR sudah oke dengan usulan kendaraan listrik, tetapi kenapa yang keluar LCGC. Saya khawatir akan terjadi hal serupa ini pada rancangan perpres,” jelasnya.
Kekhawatiran yang sama juga diungkapkan Ibnu Susilo, produsen mobil desa Fin Komodo. Pada tahun 2012, Ibnu bersama produsen kendaraan nasional yang tergabung dalam Asosiasi Industri Automotif Nusantara (Asia Nusa), juga mengusulkan kepada Kemenperin agar kendaraan di bawah 1.000 cc itu kuota produksinya diberikan kepada produsen kendaraan nasional, termasuk Asia Nusa. Asia Nusa meliputi Fin Komodo, Kancil, Tawon, GEA, ITM, Borneo, Merapi, dan Wakaba.
Selain kuota, saat itu Asia Nusa juga mengusulkan insentif untuk kendaraan nasional sehingga dapat bersaing dengan industri otomotif asing yang sudah ada di dalam negeri. Saat itu, menurut Ibnu, para produsen Asia Nusa memiliki keyakinan penuh terhadap Kemenperin, karena Kemenperin pula yang membentuk Asia Nusa pada 2009.
“Tiba-tiba regulasi yang diterbitkan malah mobil LCGC 1.000-1.200 CC. Akhirnya produsen kendaraan asing yang memperoleh insentif pajak karena mereka yang mampu memproduksi LCGC. Kami jelas sejak awal nyatakan, kami mampu di bawah 1.000 cc dan harapannya memperoleh insentif pajak. Akhirnya kami ditinggalkan,” jelas Ibnu yang juga Ketua Asia Nusa.
Ibnu mengaku, pihaknya khawatir Kemenperin lebih mendukung kendaraan hybrid dibandingkan listrik. Sementara saat ini, kata Ibnu, ada banyak peneliti dan produsen, termasuk dirinya, yang merintis kendaraan listrik, sehingga sangat membutuhkan dukungan pemerintah.
“Regulasi kendaraan listrik ini dibutuhkan karena banyak peneliti dan produsen yang beralih ke sana. Jangan sampai regulasi ini dibelokkan ke hybrid. Seperti pengalaman kami, sejak regulasi LCGC terbit, Asia Nusa rontok. Kami diaborsi sebelum tumbuh,” kata Ibnu.
Kurang mendukung
Hingga kini Kemenperin menjadi satu-satunya lembaga pemerintah yang kurang mendukung rancangan Perpres tentang Percepatan Kendaraan Listrik. Sejak dibahas pada Agustus 2017, rancangan regulasi itu didukung Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) selaku inisiator, Kemenristek Dikti, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan Menteri Koordinator Kemaritiman.
Ketidakpercayaan terhadap Kemenperin pun diungkapkan Wakil Direktur Pusat Riset Kendaraan Mutakhir Universitas Indonesia, Mohammad Adhitya. Kemenperin dinilai lebih mendukung industri mobil dari luar negeri dibandingkan mendukung mobil nasional. Contohnya, dorongan Kemenperin untuk pengembangan hybrid.
Sejauh ini, lanjut Adhitya, riset hybrid itu kurang dikembangkan di dalam negeri karena lebih rumit dan biayanya mahal, sementara komponen kendaraan listrik itu lebih sederhana. “Sekarang kami (UI) lebih memilih riset bus listrik. Untuk produksinya, kami mulai menjalin kerjasama dengan Damri dan perusahaan di Bali untuk produksi bus listrik,” jelasnya.
Minimnya dukungan Kemenperin terhadap inovasi kendaraan nasional, kembali dijumpai pada persiapan produksi motor skuter listrik Gesits hasil riset Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS).
Direktur Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi, Dirjen Penguatan Inovasi, Kemenristek, Retno Sumekar mengungkapkan, pihaknya sudah mengajukan permohonan ke Kemenperin terkait spesifikasi sepeda motor listrik yang harus dipenuhi motor skuter Gesits. Namun hingga kini Kemenristek tak memperoleh jawaban dari Kemenperin.
“Ini tak ada tanggapan sama sekali dari Kemenperin. Sebetulnya ini kan tidak elok diungkap, masak sesama lembaga pemerintah malah tidak saling mendukung. Padahal yang mau diproduksi ini kan karya anak bangsa juga,” jelas Retno.
Seperti diberitakan sebelumnya, alih-alih mendukung produksi motor skuter listrik Gesits hasil riset ITS, Direktur Jenderal Industri Logam Mesin Alat Transportasi dan Elektronika, Kemenperin, Harjanto, lebih antusias membahas kerjasama Kemenperin dengan Panasonic dan Honda untuk pengembangan sepeda motor listrik dan baterainya. Sementara untuk riset pengembangan kendaraan hybrid, Kemenperin menggandeng Mitsubishi dan Toyota.
Padahal hingga awal Agustus lalu, pabrik tempat produksi motor skuter Gesit di kompleks industri PT Wika Industri Konstruksi di Kabupaten Bogor mulai disiapkan. Empat komponen utama sepeda motor itu menggunakan teknologi hasil riset ITS, salah satunya motor penggerak pada motor skuter itu. Motor penggerak itu akan diproruduksi PT Pindad yang sudah berpengalaman memproduksi motor listrik untuk kereta.
Baterai yang akan digunakan motor skuter Gesits juga menggunakan sel baterai yang diproduksi UNS dan PT Pertamina. Total kandungan lokal pada sepeda motor itu pun mencapai 89 persen. Hanya LED untuk lampu sein dan shock breaker yang masih impor. Rencananya, pada November motor skuter itu akan mulai diproduksi sebanyak 50.000 unit.
Tak benar
Sebaliknya, Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi dan Alat Pertahanan, Kemenperin, Putu Juli Ardika, menyampaikan, tak benar jika Kemenperin menghambat pengembangan kendaraan listrik. Hanya pihaknya melihat perkembangan teknologi kendaraan harus diimbangi dukungan infrastruktur. Menurutnya, kendaraan listrik itu tak bisa jalan kalau tak didukung stasiun pengisian bahan bakar listrik umum (SPLU).
“Makanya yang paling cocok saat ini adalah hybrid dan plug-in hybrid karena kendaraan itu tak membutuhkan isi ulang energi dengan menggunakan colokan listrik. Tanpa suplai listrik, hybrid tetap bisa jalan (karena mesinnya juga menggunakan BBM),” jelasnya.
Atas dasar itu, Putu menilai, penjualan kendaraan berbahan bakar fosil tak perlu dibatasi, apalagi dihentikan pada 2040 seperti dituangkan dalam draft Perpres percepatan kendaraan listrik. Kemenperin pun lebih memilih penjualan kendaraan berbahan bakar fosil itu berakhir secara alamiah.
“Percepatan kendaraan listrik itu belum tentu benar. Ngapain sih membangun sesuatu yang tak perlu dibangun,” ucap Putu.
Padahal berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), kebutuhan energi nasional saat ini didorong dipenuhi dari energi baru terbarukan (EBT) berupa energi listrik. Hal itu untuk mengatasi cadangan minyak bumi dalam negeri yang kian menipis. Jika tak ditemukan sumber minyak bumi yang baru, cadangan minyak bumi kita akan habis pada 2027, dan Indonesia akan sepenuhnya menjadi importir minyak bumi.
Putu pun menilai penghentian penjualan kendaraan berbahan bakar fosil itu dapat mengganggu kepastian usaha di dalam negeri, terutama investasi kilang minyak. Apalagi, lanjutnya, sekarang ini standar emisi gas buang Indonesia akan menuju Euro 4. Untuk memenuhi standar itu, Putu mengklaim, PT Pertamina sudah memiliki sejumlah rencana.
“Kalau saya lihat road map, Pertamina itu sudah punya rencana. Padahal (PT Pertamina) belum kembali modal tetapi sudah digitukan (dibatasi penjualan kendaraan berbahan bakar fosil). Investasinya kan besar. Kilang-kilangnya bisa tak berhasil. Untuk apa seperti itu,” jelasnya.
Lebih hemat
Berbeda dengan anggapan Putu, PT Pertamina malah bersemangat menyambut rencana pemerintah untuk percepatan kendaraan listrik. Bahkan PT Pertamina sudah menjalin kerjasama dengan UNS untuk riset produksi sel baterai.
Senior Vice President Research and Technology Center PT Pertamina, Herutama Trikoranto mengungkapkan, PT Pertamina dan UNS tengah berupaya memenuhi target kebutuhan baterai untuk motor skuter Gesits sebanyak 30.000 unit per tahun. Untuk mencapai target itu, pihaknya menjajaki kerja sama dengan BUMN lain untuk memproduksi baterai secara massal. “Mudah-mudahan kami dapat memenuhi kebutuhan Gesits,” ujarnya.
Tak hanya baterai, Vice President Corporate Communication PT Pertamina, Adiatma Sardjito menyampaikan, PT Pertamina juga menyiapkan prototipe SPLU di kawasan Kuningan, Jakarta. Rencananya prototipe SPLU itu akan diluncurkan pada 26 September mendatang.
Untuk isi ulang 1 Kilowat listrik, PT Pertamina mengacu pada tarif listrik yang diterapkan PLN, yakni Rp 1.400 per KW. Sebagai ilustrasi, dengan mengacu pada motor skuter Gesits yang memiliki tenaga 5 KW, motor itu dapat menjangkau jarak tempuh hingga 100 kilometer. Biaya yang dikeluarkan untuk isi ulang listrik 5 KW pun tak lebih dari Rp 7.000. Untuk sepeda motor konvensional, biaya untuk bensin agar menempuh jarak 100 km itu setidaknya Rp 25.000.
Di saat Kemenperin masih fokus kendaraan konvensional, sejumlah perusahaan otomotif nasional mulai berpaling ke kendaraan listrik. PT Bakrie Autoparts, salah satunya, mulai menjajaki kerjasama produksi bus listrik dan baterai dengan Build Your Dream, salah satu produsen baterai kendaraan listrik terbesar di Cina.
Direktur Utama PT Bakrie Autoparts Dino A Riyandi menyampaikan, BYD telah bersedia alih teknologi untuk produksi baterai di dalam negeri selama disediakan lithium atau nikel sebagai bahan bakunya. “BYD juga tak keberatan jika nanti bus dan baterai yang diproduksi pakai merek nasional,” jelas Dino.
Sementara potensi sumber daya nikel dalam negeri tersedia lumayan besar. Pihak Kemenperin, seperti disampaikan Putu, pun mengungkapkan bahwa pada 2019 Indonesia mulai produksi nikel murni sebesar 30.000 ton per tahun. Nikel itu dapat digunakan sebagai bahan baku baterai.
Presiden Institut Otomotif Indonesia, Made Dana Tangkas menyampaikan, di sini peta jalan kendaraan listrik yang detail itu dibutuhkan, sehingga setiap pihak yang terlibat itu jelas perannya. Kemenperin, contohnya, sebagai regulator tak semestinya terlibat dalam riset kendaraan bersama investor.
Semestinya, Kemenperin tetap sebagai fasilitator sehingga industri yang dikembangkan berdasarkan riset dalam negeri. “Kemenperin semestinya menyerahkan riset kendaraan kepada peneliti dalam negeri. Sehingga teknologi kita berkembang, dan kita menguasai teknologinya. Dengan demikian teknologi kendaraan kita tak dikuasai asing,” jelasnya.
Ketua Tim Peneliti Mobil Listrik LIPI, Abdul Hapid, menyampaikan, teknologi komponen utama sepeda motor listrik maupun mobil listrik telah dikuasai para peneliti dalam negeri. “Meskipun rumit, kita sudah mampu membuat semuanya. Bahkan untuk membuat sel baterai, kita sudah mampu. LIPI juga melakukan riset sel baterai,” jelasnya.
Untuk menciptakan kendaraan dengan teknologi yang cukup rumit, menurut Hapid, di negara maju sekali pun risetnya didukung pemerintah. “Di sejumlah negara maju, hampir semua riset kendaraan itu dimulai dari pelat merah (pemerintah), bukan dari industri yang memulainya. Di semua negara begitu, karena ini teknologinya rumit,” jelasnya.
Hapid menilai percepatan kendaraan listrik yang digenjot saat ini sudah tepat. Sebab, sebagian besar negara di dunia tengah beralih ke kendaraan listrik, sehingga Indonesia berada pada posisi yang sejajar dengan negara-negara lain di dunia dalam pengembangan teknologi kendaraan listrik.
Di sisi lain, untuk mengembangkan industri kendaraan hingga ke tahap dewasa atau mapan, itu membutuhkan waktu 20 tahun.
“Jika pemerintah serius melaksanakan pengembangan kendaraan listrik dari sekarang, maka 20 tahun mendatang industri ini sudah mature (matang). Ketika penghentian penjualan kendaraan konvensional dilaksanakan 2040, industri kendaraan listrik kita pun sudah siap,” jelasnya.
Presiden Jusuf Kalla, Rabu (29/8/2018), mengatakan, infrastruktur untuk mendukung program pengembangan kendaraan listrik nasional mesti diperkuat. Infrastruktur itu, salah satunya, adalah stasiun pengisian listrik umum (SPLU). Selain itu, industri pengembangan kendaraan listrik harus mampu bersaing dengan kendaraan konvensional.
Wakil Presiden Jusuf Kalla membantah bila penerbitan Perpres tentang Percepatan Kendaraan Listrik Nasional menjadi instrumen yang membuat kendaraan listrik bisa langsung diterapkan di Indonesia. Banyak hal yang perlu disinkronkan mulai fasilitas-fasilitas untuk pengisian sel baterai sampai efisiensi industri kendaraan listrik itu sendiri.
Kalla menyampaikan itu seusai membuka pameran The 7th Indonesia EBTKE Conference and Exhibition (Indo EBTJKE ConEx) 2018 di Jakarta, Rabu ((29/8/2018), di Jakarta.
“Ada Perpres, tidak langsung jadi. Tergantung pengusahanya, tergantung teknologi, keekonomian, dan sistemnya. Kalau ada mobil listrik di seluruh Jawa, mesti ada instalasi colokan-colokan di pompa bensin. Kalau tidak ada, bagaimana (pengisian sel baterainya),” tutur Wapres Kalla.
“Itu yang mesti didorong. Nanti harus disinkronkan bersama,” kata Kalla saat ditanya tentang lambannya pengembangan kendaraan listrik nasional (BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA/RYAN RINALDY/HARRY SUSILO/ARIS PRASETYO/NINA SUSILO)