Myanmar Tolak Tuduhan PBB soal Genosida terhadap Etnis Rohingya
Oleh
Elok Dyah Messwati
·3 menit baca
NEW YORK, RABU — Myanmar, Rabu (29/8/2018), menolak hasil temuan investigasi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menuduh militer Myanmar telah melakukan genosida terhadap etnis minoritas Muslim Rohingya. Amerika Serikat dan negara-negara lain mendesak agar militer Myanmar diseret ke Mahkamah Kriminal Internasional (ICC).
Pemerintah Myanmar mendapat tekanan besar, pekan ini, atas aksi kekerasan militer Myanmar pada tahun lalu yang mengakibatkan lebih dari 700.000 warga Muslim Rohingya mengungsi ke Bangladesh.
Dalam sidang Dewan Keamanan PBB di New York, AS, sehari kemudian, beberapa negara, termasuk AS, Inggris, Perancis, dan Swedia, mendesak agar para pemimpin militer Myanmar dimintai pertanggungjawaban. Namun, Myanmar menolak temuan PBB tersebut melalui respons yang menantang terkait krisis yang memperburuk citra pemimpin militer dan warga sipil Myanmar di mata internasional.
”Kami tidak mengizinkan FFM (Misi Pencari Fakta PBB) untuk masuk ke Myanmar. Itu sebabnya kami tidak setuju dan tidak menerima resolusi yang dibuat oleh Dewan Hak Asasi Manusia,” kata juru bicara pemerintah Myanmar, Zaw Htay, yang dikutip koran Global New Light of Myanmar pada Rabu kemarin.
Zaw Htay menunjuk pembentukan Komisi Penyelidik Independen yang, menurut dia, dibentuk untuk menanggapi ”tuduhan palsu yang dibuat oleh badan-badan PBB dan komunitas internasional lainnya”.
Menurut Zaw Htay, Myanmar tidak menoleransi pelanggaran hak asasi manusia. Dia menambahkan bahwa ”bukti kuat” termasuk catatan dan tanggal dari setiap dugaan pelanggaran harus diberikan sebelum penyelidikan dilakukan.
”Pemerintah akan mengambil tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran hak asasi manusia,” katanya.
Menurut Facebook, akun tersebut ditutup karena memuat ujaran kebencian. Htay mengatakan, langkah Facebook tersebut menghambat upaya pemerintah dalam ”rekonsiliasi nasional”.
Facebook sebelumnya mengaku terlalu lambat untuk bereaksi terhadap krisis Rohingya. Platform Facebook sangat populer di Myanmar dan digunakan untuk mengunggah pidato yang menyebarkan kebencian terhadap etnis Rohingya.
Sebagian besar masyarakat Myanmar telah memfitnah warga Rohingya sejak militer negeri itu melancarkan tindakan keras terhadap etnis Rohingya. Hanya sedikit simpati bagi minoritas Rohingya yang telah bertahun-tahun tak memiliki kewarganegaraan dan tak mempunyai kebebasan bergerak serta akses pada perawatan kesehatan dan pendidikan.
Laporan PBB, yang dirilis pada Senin lalu, memperkuat temuan kelompok-kelompok pembela hak asasi manusia yang mengatakan bahwa tindakan keras oleh militer Myanmar itu direncanakan.
Militer Myanmar mempertahankan kekuasaan konstitusional dan politiknya, serta bebas dari pengawasan sipil. Namun, para pemimpin sipil Myanmar, termasuk peraih Nobel Perdamaian dan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi, justru berulang kali membela tindakan keras militer sebagai tanggapan yang proporsional terhadap gerilyawan Rohingya di Negara Bagian Rakhine yang melancarkan serangan terhadap pos-pos polisi pada 25 Agustus 2017.
Laporan PBB, yang dirilis pada Senin lalu, memperkuat temuan kelompok-kelompok pembela hak asasi manusia yang mengatakan bahwa tindakan keras oleh militer Myanmar itu direncanakan. Ini merupakan faktor kunci dalam menentukan, apakah telah terjadi genosida terhadap etnis minoritas Rohingya.
Hal ini menunjuk pada pengerahan militer besar-besaran ke Rakhine pada minggu-minggu menjelang insiden tersebut dalam ”konteks menindas yang lebih luas”.
Repatriasi mandek
Sekitar satu juta warga Rohingya kini mengungsi di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh. Bangladesh sendiri, negara yang sudah miskin, kini harus menghadapi arus besar pengungsi Rohingya.
Bangladesh dan Myanmar telah menandatangani kesepakatan repatriasi untuk memulangkan gelombang pengungsi tahun lalu. Akan tetapi, tidak banyak kemajuan yang dicapai karena ada kekhawatiran warga Rohingya kembali ke Myanmar tanpa jaminan keselamatan.
Sementara itu, seruan untuk membuka kekerasan militer Myanmar itu semakin kuat. Penyelidik PBB mendesak Dewan Keamanan PBB untuk membawa krisis Myanmar ke Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) atau pengadilan ad hoc. Beberapa anggota Dewan Keamanan PBB mendukung gagasan itu dan menyerukan mekanisme untuk mengumpulkan dan menjaga bukti pelanggaran.
Duta Besar Myanmar untuk PBB Hau Do Suan mempertanyakan temuan laporan PBB tersebut dan menegaskan kembali bahwa Myanmar tidak menerima mandat misi PBB karena meragukan imparsialitas misi PBB tersebut.
China dan Rusia yang memegang hak veto sebagai anggota tetap Dewan Keamanan mengatakan bahwa mereka lebih memilih melakukan ”dialog” dengan pemimpin Myanmar untuk menyelesaikan konflik. (AFP)