Perkuat Regulasi dan Lembaga untuk Tangani Kasus Eksploitasi Seksual Anak Kurang Perhatian
Kasus eksploitasi anak merupakan masalah serius karena terus terjadi, terutama di tengah pesatnya perkembangan teknologi saat ini. Namun selama ini perhatian pemerintah dan lembaga terkait masih kurang.
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah harus memprioritaskan penanganan kasus eksploitasi seksual anak sehingga terjadi pengarusutamaan kebijakan. Regulasi dan kelembagaan perlu diperkuat sehingga pemetaan isu untuk menemukan prioritas masalah yang ditangani bisa lebih baik.
Selama ini, kasus eksploitasi seksual pada anak kurang mendapatkan perhatian dan penanganan yang serius. Intervensi kebijakan dari pemerintah dinilai belum efektif karena pada praktiknya kasus eksploitasi anak terus berlangsung. Pesatnya perkembangan teknologi juga menjadi masalah serius karena mempermudah terjadinya eksploitasi seksual anak.
Berdasarkan laporan Unicef, ada sekitar 70.000 anak di Indonesia yang menjadi korban eksploitasi seksual. Sementara, dari data pengaduan anak di Komisi Perlindungan Anak Indonesia sejak 2011-2018 tercatat ada 1.956 aduan terkait perdagangan dan eksploitasi pada anak serta 2.845 aduan terkait pornografi dan kejahatan siber.
Temuan lain juga dilaporkan oleh End Child Prostitution, Child Pornography, and Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT) Indonesia. Sepanjang tahun 2014-2016 ditemukan 41 kasus eksploitasi seksual komersial anak. Kasus-kasus itu antara lain kasus kekerasan seksual anak, prostitusi anak, kasus perdagangan anak untuk eksploitasi fisik dan seksual, serta kasus pariwisata seks anak.
“Kasus yang ditemukan ini sifatnya seperti gunung es, kenyataannya masih banyak kasus eksploitasi anak yang berlangsung dan belum tersorot. Selama ini, paradigma penyelesaian eksploitasi anak masih diskoneksi satu sama lain,” ujar Sosiolog Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta Arie Sujito dalam seminar nasional bertajuk “Inklusi Sosial bagi Anak yang Dilacurkan” di Jakarta, Rabu (29/8/2018).
Ia mengatakan, strategi yang dilakukan dalam pendekatan hukum masih berorientasi hilir pada tiap kasus. Akibatnya, akar masalah dari tindak ekploitasi gagal dihentikan. Selain itu, pendekatan preventif dan kuratif yang dilakukan tidak berpadu.
Menurutnya, isu eksploitasi seksual anak harus menjadi prioritas sehingga terjadi pengarusutamaan kebijakan. Regulasi dan kelembagaan perlu diperkuat sehingga pemetaan isu untuk menemukan prioritas masalah yang ditangani bisa lebih baik. “Review kebijakan juga diperlukan, apakah kemandegan penanganan karena problem implementasi, komitmen politik, atau disfungsi kelembagaan,” kata Arie.
Pelaksana tugas Deputi Bidang Koordinasi Perlindungan Perempuan dan Anak serta Staf Ahli Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Ghafur Dharmaputra menyampaikan, kemitraan yang berlangsung saat ini memang masih kurang. Kemitraan yang dimaksud adalah kemitraan antara kementerian dan lembaga di tingkat pusat, pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dan kemitraan antara pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan masyarakat umum.
“Kemitraan itu jadi gong untuk tangani ini (eksploitasi seksual anak). Kalau tidak serius ditangani mulai saat ini, cita-cita bangsa, baik soal tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) atau pun generasi emas 2045 tidak akan terwujud,” ujarnya.
Upaya pemerintah
Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Woro Srihastuti Sulistyaningrum mengakui jika saat ini koordinasi lintas sektor belum menyeluruh. Ketersediaan data terpilah yang relevan untuk dijadikan bahan referensi penyusunan kebijakan juga masih menjadi tantangan.
"Memang belum ada ketersediaan kebijakan khusus untuk pencegahan dan penanganan isu anak yang dilacurkan," katanya.
Untuk itu, saat ini pihaknya mulai merencanakan sinergisitas antar kementerian dan lembaga untuk mengatasi permasalahan itu. Ada tiga pembagian intervensi yang dilakukan untuk mengatasi masalah eksploitasi seksual anak, termasuk anak yang dilacurkan. Intervensi itu yaitu di tingkat primer, sekunder, dan tersier.
Pada tingkat primer lebih pada upaya pencegahan secara menyeluruh. Dari Kementerian PPN/Bappenas akan memastikan isu eskploitasi seksual anak masuk dalam dokumen perencanaan dan penganggaran (RPJMN dan RKP). Kemudian, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga memiliki strategi melalui program perlindungan anak terpadu berbasis masyarakat, pembentukan pusat pembelajaran keluarga (puspaga), serta pembentukan desa bebas pornografi. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pun turut berperan dalam menutup situs pornografi.
Untuk tingkat sekunder terkait pada upaya pencegahan kelompok rentan. Intervensi yang dilakukan antara lain kampanye pencegahan perkawinan anak di daerah rentan, kerjasama dengan asosiasi perusahaan sahabat anak agar memastikan bebas pekerja anak. Selain itu, buku panduan pencegahan dan pengendalian ketergantungan pornografi berbasis internet mulai disusun. Sosialisasi pembebasan anak dari eksploitasi seksual di destinasi wisata juga digalakkan.
Tingkat tersier merupakan penanganan dan pemulihan korban. Sejumlah program yang dibentuk yaitu pengembangan unit pusat pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan dan anak serta pengembangan ruang pelayanan khusus anak dan perempuan di sejumlah kantor polisi.
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Kominfo Rosarita Niken Widiastuti menambahkan, setidaknya sudah ada pemutusan akses ke 980.000 situs pornografi di internet. Kerjasama dengan penyedia media sosial seperti Facebook dan Google sudah dilakukan untuk menyaring langsung konten yang memuat isu pornografi. Literasi media kepada masyarakat juga semakin ditingkatkan.
“Eksploitasi seksual pada anak secara online adalah masalah global yang berkembang secara cepat sehingga butuh respon yang komprehensif, holistik, dan terintegrasi dari semua pihak,” ucapnya.