KAIRO, KOMPAS Perang sipil Suriah yang berkobar sejak meletusnya revolusi di negara itu pada tahun 2011 kini memasuki fase paling sulit. Saat ini masa depan Provinsi Idlib di barat laut negeri Suriah yang dikontrol pasukan oposisi sejak tahun 2012 memasuki fase menentukan.
Pasukan loyalis rezim Presiden Bashar al-Assad yang dibantu Rusia dan Iran hari Kamis (30/8/2018) terus memobilisasi kekuatan secara besar-besaran di sekitar Idlib, khususnya dari arah barat di Provinsi Latikia dan arah selatan di Provinsi Hama.
Bahkan, Menteri Pertahanan Rusia Sergey Shoygui, Selasa lalu, mengungkapkan, Rusia akan menggelar latihan militer terbesar sejak era Uni Soviet di lepas pantai Suriah pada pertengahan September nanti, yang diberi nama ”Timur 2018”. Latihan militer terbesar itu melibatkan 1.000 pesawat tempur, 300.000 personel, dan puluhan kapal perang.
Oposisi
Provinsi Idlib, yang kini diperkirakan dihuni 3 juta jiwa, dikenal sebagai basis terkuat pasukan oposisi bersenjata dengan berbagai latar belakang ideologi.
Di Provinsi Idlib, kini terdapat dua kelompok utama pasukan oposisi. Pertama, milisi-milisi oposisi moderat loyalis Turki atau Barat dengan kekuatan sekitar 85.000 personel. Milisi-milisi bersenjata tersebut atas desakan Turki menyatukan diri dengan nama Front Pembebasan Nasional.
Kedua, milisi-milisi bersenjata radikal yang dikenal dengan nama Hayat Tahrir al-Sham. Diperkirakan milisi Hayat Tahrir al-Sham yang dikenal loyalis Tanzim Al-Qaeda dengan komandan Mohammed al-Goulani (pemimpin Tanzim Al-Qaeda sayap Suriah) memiliki 12.000 personel. Dari jumlah tersebut, sekitar 5.000 personel adalah warga asing dari sejumlah negara.
Selain terdapat pasukan oposisi dalam jumlah besar, Provinsi Idlib juga dikenal di bawah payung politik Turki mengingat letak geografis Idlib yang berbatasan langsung dengan Turki, persisnya Provinsi Hatay.
Sesuai dengan kesepakatan Astana, Provinsi Idlib termasuk wilayah deeskalasi di Suriah. Di sana dibangun pos-pos pengawasan dari anggota forum Astana itu, yakni Rusia, Turki, dan Iran. Turki memiliki 12 pos, Rusia 10 pos, dan Iran 7 pos di Idlib.
Langkah Suriah
Pemerintah Damaskus telah mengambil keputusan politik sulit pada awal Agustus lalu, yakni memilih opsi militer untuk merebut kembali Provinsi Idlib dari tangan oposisi bersenjata, setelah Damaskus berhasil mengontrol kembali wilayah Suriah Selatan pada Juli lalu dan wilayah Ghouta timur pada Maret lalu.
Keputusan Damaskus tersebut mendapat dukungan penuh Rusia dan Iran.
Namun, Turki sampai saat ini menolak keras opsi militer terhadap oposisi di Provinsi Idlib. Terus tertundanya pelaksanaan serangan besar ke Idlib ditengarai karena para pihak masih menunggu hasil konsultasi segitiga Rusia, Turki, dan Iran tentang solusi untuk Idlib.
Dijadwalkan akan digelar pertemuan puncak segitiga Rusia, Iran, dan Turki pada 7 September nanti di Teheran, Iran, untuk membahas isu Idlib dan Suriah secara keseluruhan.
Turki sangat cemas perang besar di Idlib akan menyebabkan tumpahnya pengungsi baru dari Idlib ke Turki. Saat ini, Turki telah menampung sekitar 3,5 juta pengungsi Suriah.
Sejumlah pejabat PBB memperingatkan potensi terjadinya bencana kemanusiaan jika terjadi perang besar di Idlib karena terdapat hampir 3 juta jiwa di Idlib. Diperkirakan sedikitnya 800.000 orang akan mengungsi.
Isu Idlib semakin rumit setelah Amerika Serikat juga memberikan peringatan keras akan melakukan intervensi militer ke Suriah jika pasukan rezim Presiden Al-Assad menggunakan senjata kimia dalam serangan militer ke Idlib.
Menhan AS Jim Mattis di depan Dewan Keamanan PBB, Selasa lalu, menegaskan, AS akan melakukan balasan yang sesuai jika rezim Al-Assad kembali menggunakan senjata kimia.
Sebelumnya, April lalu, AS, Inggris, dan Perancis menembakkan 105 rudal ke berbagai fasilitas senjata kimia dekat kota Damaskus dan Homs sebagai balasan atas aksi rezim Al-Assad menggunakan senjata kimia saat menyerang Ghouta timur pada 7 April lalu.