Kepercayaan terhadap Negara Bergantung pada Keterbukaan Data
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
Tak kenal maka tak sayang. Relevansi pepatah lama itu juga berlaku pada hubungan antara suatu negara dan warganya. Negara yang memiliki keterbukaan data dan informasi akan mendapat kepercayaan dari masyarakatnya.
Sebelum zaman reformasi, pemerintah bersifat otoritarian dan enggan memberikan informasi kepada publik. Seiring pergantian rezim, kesadaran untuk membagikan informasi semakin tergugah. Masyarakat pun menyadari peran penting informasi.
Pada awal 2000, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menginisiasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Keterbukaan Informasi Publik. DPR lalu mengesahkan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik pada 2008. Di situ disebutkan, pemerintah pusat dan daerah mewajibkan instansi membuat laporan kinerja serta membuka akses informasi publik.
Ketua Komisi Informasi Pusat (KIP) Gede Narayana, Senin (27/8/2018) di Jakarta, menyampaikan, transparansi menghasilkan rasa percaya dan aman. Informasi dibutuhkan agar masyarakat tidak mudah termakan hoaks dan berita palsu.
Masyarakat juga dapat ikut berpartisipasi dalam proses pengambilan kebijakan. ”Hak setiap warga negara untuk mendapatkan informasi adalah sebuah keniscayaan,” kata Gede.
Keterbukaan data dan informasi menjadi kewajiban yang harus dipenuhi instansi pemerintah, kecuali data tersebut menyangkut keamanan negara dan data pribadi masyarakat.
Menyambut Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, semakin marak pertarungan data dan informasi yang diutarakan kubu petahana dan oposisi. Bentrok antara lembaga eksekutif dan legislatif juga sempat terjadi.
Pada 16 Agustus 2018, Ketua MPR Zulkifli Hasan bersitegang dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani terkait jumlah utang negara.
Bakal calon wakil presiden, Sandiaga Uno dari koalisi Partai Gerindra, Rabu (29/8/2018), pun mengatakan, data yang ada di Badan Pusat Statistik (BPS) merupakan data yang telah dikontrol pemerintah saat ini (Kompas, 29/8/2018).
Direktur Jenderal Informasi Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Rosarita Niken Widiastuti mengatakan, pemerintah terus berupaya meningkatkan keterbukaan data dan informasi. Media yang digunakan bervariasi, baik yang modern maupun tradisional.
Langkah itu diambil untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik, transparan, partisipatif, efektif, dan berkeadilan. Upaya itu telah membuahkan hasil.
Dalam 2018 Edelman Trust Barometer, tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia kepada negara berangsur membaik. Indeks kepercayaan kepada pemerintah mencapai 73 persen pada 2018. Naik dua kali lipat jika dibandingkan pada 2012 yang hanya sebesar 36 persen.
”Di era informasi ini, kita semua adalah penghasil dan penyebar informasi. Saat ini tengah terjadi banjir, bahkan tsunami informasi,” ucap Niken.
Kondisi itulah yang membuat Indonesia masih harus bergulat melawan hoaks, berita palsu, ujaran kebencian, dan radikalisme. Itu diperparah dengan tingkat literasi yang masih rendah.
Niken melanjutkan, ada beberapa cara yang dapat dilakukan dalam melawan hoaks dan berita palsu yang ada. Setiap instansi pemerintahan yang terkait wajib memberikan klarifikasi data ketika muncul berita simpang siur.
Data klarifikasi yang diberikan juga harus memiliki narasi dan konteks. Hal itu untuk mencegah data kembali disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Lengkap dan komprehensif
Sri Mulyani mengatakan, kementerian dan lembaga negara harus mampu menampilkan data dan informasi kepada masyarakat secara lengkap dan komprehensif. Kementerian Keuangan meraih peringkat pertama penghargaan Keterbukaan Informasi untuk Kategori Badan Publik Kementerian pada 2017.
Penyampaian data hanya akan efektif ketika karakter masyarakat saat ini dipahami. ”Kita harus mengetahui bagaimana dan melalui apa masyarakat mengakses informasi,” kata Sri Mulyani.
Kecenderungan masyarakat kini adalah mencari informasi melalui internet, khususnya menggunakan ponsel pintar. Data dan informasi harus dialihmediakan dari buku ke dalam format digital serta dapat diakses melalui situs dan aplikasi.
Data dan informasi juga harus ditampilkan lebih singkat dan menarik. ”Tetapi, tetap harus menjaga narasi yang ada agar masyarakat tidak mendapat impresi yang salah,” ujarnya.