Puskesmas Jadi Ujung Tombak Penanganan Gangguan Jiwa
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
Penanganan gangguan kesehatan jiwa, termasuk skizofrenia, belum optimal. Untuk meningkatkan akses layanan, peran puskesmas menangani masalah itu harus diperkuat.
JAKARTA, KOMPAS —Puskesmas sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama menjadi ujung tombak penanganan skizofrenia. Penanganan ini meliputi penemuan kasus, inisiasi pengobatan dini, dan memastikan keberlanjutan pengobatan pasien. Untuk itu, kompetensi tenaga kesehatan di puskesmas terkait kesehatan jiwa perlu ditingkatkan.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), skizofrenia adalah jenis gangguan jiwa parah. Gejalanya ditandai banyaknya gangguan pikiran, memengaruhi bahasa dan persepsi. Orang dengan skizofrenia kerap disertai pengalaman psikotik seperti mendengar suara atau delusi.
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia Eka Viora menyatakan, layanan kesehatan jiwa tak bisa hanya dilakukan psikiater atau dokter spesialis kedokteran jiwa karena jumlahnya amat terbatas di Indonesia. Rasio psikiater dengan jumlah penduduk 0,4 orang per 100.000 jiwa atau 4 orang per 1 juta penduduk.
”Jumlah ini amat sedikit. Untuk itu, perlu penguatan layanan kesehatan primer agar warga tetap mendapat akses layanan kesehatan jiwa bermutu. Perlu dipastikan kompetensi dokter di puskesmas dalam menangani orang dengan gangguan jiwa. Sebab, butuh upaya komprehensif dalam menangani orang dengan skizofrenia,” ujarnya di sela-sela Forum Kesehatan Mental Asia Tenggara 2018 di Jakarta, Kamis (30/8/2018).
Menurut riset kesehatan dasar 2013, prevalensi gangguan jiwa emosional untuk usia 15 tahun ke atas 14 juta orang atau 6 persen dari jumlah total penduduk Indonesia. Adapun prevalensi gangguan jiwa berat seperti skizofrenia sekitar 400.000 orang atau 1,7 per 1.000 penduduk.
Melalui program Indonesia Sehat dengan pendekatan keluarga, pemerintah berkomitmen mewujudkan perbaikan kesehatan jiwa di masyarakat. Dalam program itu, ada 12 indikator utama kesehatan keluarga, salah satunya penderita gangguan jiwa mendapat terapi.
Sekretaris Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penanganan Penyakit Kementerian Kesehatan Asjikin Iman Hidayat Dachlan memaparkan, pendidikan kedokteran di sejumlah perguruan tinggi belum menjangkau kemampuan menangani orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
”Pendidikan kedokteran ataupun keperawatan baru sampai tahap menemukan kasus gangguan jiwa. Jadi saat praktik di puskesmas, mereka belum bisa mengobati pasien gangguan jiwa ringan,” ujarnya.
Pendidikan kedokteran ataupun keperawatan baru sampai tahap menemukan kasus gangguan jiwa. Jadi saat praktik di puskesmas, mereka belum bisa mengobati pasien gangguan jiwa ringan.
Untuk itu, pemerintah mendorong perbaikan kurikulum di fakultas kedokteran agar kompetensi lulusan dokter umum meningkat, terutama dalam menangani ODGJ. Peran puskesmas dioptimalkan agar lebih aktif menemukan kasus gangguan jiwa di masyarakat.
”Puskesmas seharusnya bisa terjun ke masyarakat. Jadi bisa menemukan kasus gangguan jiwa yang tak tertangani sekaligus mengedukasi warga agar tak ada stigma pada ODGJ,” ucapnya.
Ketersediaan obat
Konsultan Unit Kebijakan Kesehatan Sekretariat Jenderal Kemenkes Trihono menambahkan, tantangan lain penanganan ODGJ adalah ketersediaan obat di layanan primer terbatas. Selama ini, pengadaan obat gangguan kesehatan jiwa belum jadi prioritas dinas kesehatan sehingga ketersediaan tergantung diagnosis dari tenaga puskesmas.
”Padahal kompetensi dokter di puskesmas terbatas untuk mendiagnosis. Obat untuk ODGJ seharusnya jadi program nasional sehingga ketersediaannya bisa dipastikan,” ujarnya.
Ketua Unit Kesehatan Mental Kebudayaan dan Global Pusat Kesehatan Mental Universitas Melbourne, Australia, Harry Minas menambahkan, ketersediaan obat di layanan kesehatan primer di Indonesia harus jadi prioritas.
”Kebijakan pemerintah amat penting, tapi percuma jika tanpa rencana dan anggaran pelaksanaan, termasuk penyediaan obat. Minimnya sumber daya manusia jadi masalah,” ujarnya.