Enam puluh anak dan remaja menari lincah diiringi gamelan di lapangan Desa Wlahar Wetan, Banyumas, Minggu (19/8/2018). Sosok dewi berselendang kuning jadi pusat perhatian: dialah Dewi Sri, perlambang kesuburan bagi masyarakat Jawa umumnya, petani pada khususnya. Pagelaran sendratari dalam peringatan Dirgahayu Ke-73 Republik Indonesia itu jadi momen merawat tradisi sekaligus menjaga bumi.
Kendati mentari terik menyengat, ribuan warga antusias menonton. Mereka duduk beralas rumput lapangan yang kering kecoklatan di tengah kemarau. Sebanyak 18 gubuk bambu beratap jerami yang dibangun 18 RT menghadirkan suasana persawahan di tengah lapangan. Di dalam gubuk tersaji aneka jajanan pasar olahan dari singkong dan jamu tradisional. Puluhan boneka jerami orang-orangan sawah yang biasa dipakai petani mengusir burung, menyemarakkan suasana.
Dalam sendratari bertajuk “Kisah tentang Padi, Dewi Sri Lambang Kesuburan dan Kemakmuran, serta Penghormatan terhadap Alam”, semua yang hadir di lapangan desa itu diingatkan betapa berharga dan bernilainya makanan. Pada masa kanak-kanak, saat anak tak menghabiskan makanan, orangtua selalu memberi nasihat agar menghabiskan sajian makanan dan nasi, tanpa sisa. Jika tak dihabiskan, nasi akan menangis atau hewan peliharaan akan mati. Di balik nasihat itu, tersirat betapa bernilainya makanan, termasuk nasi dan beras yang ditanam lalu dipanen petani.
Sendratari dimulai bertahtanya Dewi Sri di atas singgasana di panggung yang menggambarkan suasana kahyangan. Di bawah panggung, sebagai gambaran bumi, hiduplah seorang petani yang membanting tulang menanam dan memanen singkong. Konon di Pulau Jawa, sama sekali tidak terdapat tanaman padi. Petani hanya menanam singkong. Padi hanya ada dan dapat dimakan di kahyangan, tempat indah para dewa-dewi bersemayam.
Pada suatu ketika, Dewi Sri mengundang sang petani naik ke kahyangan melihat hamparan padi. Sang petani terpesona pada padi dan beras yang lalu ditanak menjadi nasi. Ia pun hendak tinggal lebih lama di kahyangan, belajar bagaimana cara menanam padi.
Setelah diizinkan tinggal di kahyangan oleh Dewi Sri, petani itu belajar sejumlah proses menanam padi. Sebelum menanam, Dewi Sri mengajarkan bagaimana membajak dan menyuburkan tanah dengan alat yang disebut luku. Selanjutnya sebelum ditanami, tanah diratakan dengan alat yang disebut garu. Tanah gembur, petani dilatih membuat pengairan, lalu menanam benih padi, serta memanennya tatkala padi menguning.
Dewi Sri juga mengajari petani itu menggunakan alat yang disebut ani-ani untuk memotong dan memanen padi. Bahkan, Dewi Sri juga mengajari petani itu menggunakan lesung untuk menumbuk padi agar menjadi beras.
Begitu gambaran proses menanam padi hingga panen. Selanjutnya, sang petani memohon izin kembali ke bumi. Namun, tanpa sepengetahuan sang dewi, petani itu membawa seikat benih padi. Di bumi, sang petani menebar benih dan mengajari tetangga-tetangganya menanam. Pulau Jawa pun kemudian tampak menguning saat padi siap dipanen.
Dewi Sri kaget dan marah, karena petani itu tidak meminta izin kepadanya. Ia bergegas turun ke bumi, menemui petani dan marah karena kepercayaannya dikhianati. Petani itu memohon ampun dan menyampaikan bahwa upayanya itu demi banyak orang. Karena belas kasihnya, sang dewi memberi ampun. Namun, mengajukan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi petani.
Persyaratan itu, antara lain ketika menanam padi, petani melakukan irigasi, menyiangi tanaman liar di sekitar sawah, menjaga kesuburan tanah, memanen padi hati-hati menggunakan ani-ani, dan tidak dibolehkan membuang beras dan nasi. Selain itu, petani juga harus membiarkan burung-burung ikut menikmati biji padi sebagai bentuk berbagi dengan sesama makhluk hidup. “Tidak diperbolehkan membunuh burung-burung yang ikut makan biji padi,” pesan sang Dewi Sri.
Berpadu dengan alam
Sekretaris PKK Desa Wlahar Wetan Sri Suwarti mengatakan, inti pesan yang disampaikan Dewi Sri itu adalah petani harus memperlakukan padi layaknya anak kandungnya sendiri, serta mengikuti ritme alam. Dengan hidup selaras dengan alam, menanam padi dengan penuh kasih sesuai musim merupakan bagian dari memayu hayuning bawono atau menjaga alam semesta. “Apabila penduduk bumi mengingkari janjinya, Dewi Sri akan mengirimkan musibah karena telah merusak alam,” ujar Suwarti.
Kami ingin mandiri, menjangkarkan kedaulatan pangan di desa agar tidak tergantung pada produk luar.
Desa Wlahar Wetan memiliki penduduk 3.500 jiwa dengan 1.100 keluarga. Sebanyak 80 persen penduduk bekerja sebagai petani. Luas desa ini 365 hektar dan sebanyak 120 hektar merupakan areal persawahan tadah hujan. Meski ada di tepi aliran Sungai Serayu, warga masih mengandalkan air hujan karena areal persawahan lebih tinggi 15 meter dari permukaan sungai.
“Di sini baru ada satu embung ukuran 20 meter kali 15 meter dengan kedalaman tiga meter. Namun, baru bisa untuk mengairi tiga hektar sawah,” kata Kepala Desa Wlahar Wetan Dodiet Prasetyo.
Dodiet juga menyampaikan, untuk mengatasi masalah pengairan, warga desa sedang mengupayakan menyedot air Sungai Serayu menggunakan teknologi terbarukan yang ramah lingkungan tanpa bahan bakar. Selain itu, demi menjaga kesuburan tanah, para petani juga merintis pertanian organik.
Dalam dua tahun terakhir, sudah ada 14 hektar areal sawah organik. “Pertanian organik kami laksanakan dengan semangat SRI, kepanjangan dari sabar, ridho, ikhlas,” ujarnya.
Demi mendukung pertanian organik tersebut, lanjut Dodiet, para petani juga berkelompok dan mengembangkan pertanian terpadu yang terintegrasi dengan peternakan. Kandang komunal diterapkan di desa itu dengan jumlah hewan saat ini lima ekor sapi, 100 domba, 1.000 ayam, dan 1.000 bebek. Bahkan, dana desa yang besarnnya mencapai Rp 800 juta per tahun, 20 persennya dialokasikan untuk pengembangan pertanian.
Selama tiga tahun terakhir, para petani juga diajak studi banding ke sentra-sentra pertanian, seperti Indramayu dan Majalengka di Jawa Barat, serta Ngawi di Jawa Timur. “Kami ingin mandiri, menjangkarkan kedaulatan pangan di desa agar tidak tergantung pada produk luar,” tutur Dodiet.
Satu tarikan napas dengan pesan Dewi Sri sebagai perlambang kesuburan dan kemakmuran, warga Desa Wlahar Wetan pun terus berbenah diri menjaga bumi serta mengembangkan pertanian yang sehat.
Seiring gerak lincah para penari cilik diiringi musik gamelan, demikian pula geliat desa yang terus berkembang dinamis. Bertahan menghadapi tantangan zaman, sekaligus merawat tradisi serta memori betapa pentingnya berpadu sinergi dengan alam. Mudah-mudahan berkelanjutan.