Jakarta, Kompas Indonesia kini menatap level elite dunia, sebagai kelanjutan prestasi yang diraih di Asian Games 2018. Gairah meraih kejayaan olahraga itu membutuhkan sinergi antarpihak yang dituangkan dalam cetak biru menuju level elite Asia dan dunia. Perencanaan jangka panjang itu vital. Sebab, untuk lolos ke jajaran top dunia, seperti Olimpiade, ada proses kualifikasi yang sangat ketat.
Di atletik, misalnya, mulai Olimpiade Tokyo 2020, sistem kualifikasi akan berdasarkan peringkat dunia. Artinya, setiap atlet perlu mengumpulkan poin dari berbagai kejuaraan tingkat dunia dan regional untuk mengumpulkan poin. Aturan baru Asosiasi Federasi Atletik Internasional (IAAF) ini berbeda dengan Olimpiade Rio de Janeiro 2016 yang menggunakan sistem limit waktu dan jarak. Sebagai contoh di Olimpiade 2016 untuk lari 100 meter putra limit waktunya 10,16 detik dan putri 11,32 detik.
Untuk itu, Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PB PASI) telah membuat rencana jangka panjang bagi atlet-atletnya. Sebagian ditargetkan lolos Olimpiade 2020 dan lainnya Olimpiade Paris 2024. Untuk Olimpiade 2020, pengumpulan poin nomor 10.000 meter, maraton, jalan cepat, serta nomor kombinasi dan estafet mulai 1 Januari 2019-29 Juni 2020. Sementara nomor lainnya mulai 1 Juli 2019-29 Juni 2020.
Sebagai gambaran pengumpulan poin, di Asian Games 2018 peraih medali emas mendapat nilai 8, perak 7 poin, dan perunggu 6 poin. Sementara peringkat ke-4 sampai ke-8 masing-masing nilainya 5, 4, 3, 2, dan 1. Berkaca pada sistem poin Asian Games itu, atlet-atlet Indonesia perlu finis di peringkat atas kejuaraan-kejuaraan yang diikuti untuk meraih poin besar.
”Saya belum tahu berapa banyak nilai yang harus dikumpulkan untuk meloloskan seorang atlet ke Olimpiade 2020 nanti,” ujar Sekretaris Jenderal PB PASI Tigor M Tanjung di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Jumat (31/8/2018).
Dengan sistem poin ini, lanjut Tigor, pengeluaran PB PASI akan jauh lebih besar karena harus berulang kali mengirimkan atlet ke kejuaraan tingkat internasional ataupun turnamen terbuka.
Saat ini, PB PASI telah menentukan nomor-nomor mana yang atletnya dipersiapkan untuk Olimpiade. Nomor itu antara lain lari gawang 100 meter putri (Emilia Nova), lompat jauh putra (Sapwaturrahman), estafet 4 x 100 meter putra (Ahmad Fadlin, Lalu Muhammad Zohri, Eko Rimbawan, dan Bayu Kerstanegara), loncat galah putra (Idan Fauzan), serta lari 100 meter putra (Zohri) dan 200 meter putra (Bayu).
Proses panjang
Di balap sepeda trek, optimisme menembus level elite menguat meskipun di Asian Games 2018 atlet-atlet Indonesia belum mempersembahkan medali. Namun, mereka memperbaiki catatan waktu dengan signifikan.
Pelatih Kepala Tim Nasional Balap Sepeda Indonesia Dadang Haries Poernomo menjelaskan, limit waktu yang dibutuhkan untuk menuju Olimpiade pada nomor tim sprint putri adalah 32-33 detik. Sementara itu, di level Asia, perunggu diperoleh dengan waktu 34 detik. Selisihnya dengan rekor tim nasional Indonesia saat ini adalah 1,453 detik.
Pada nomor sprint putri, limit waktu Olimpiade sekitar 10 detik. Sementara itu, pebalap Indonesia, Crismonita Dwi Putri, sudah membukukan waktu 11,10 detik.
Namun, lanjut Dadang, mengejar selisih waktu 1-2 detik itu bukan perkara mudah. Para atlet membutuhkan proses latihan yang panjang dan konsisten. ”Untuk menjadi juara Asia saja, kami masih butuh waktu 2-3 tahun,” kata Dadang.
Oleh karena itu, pemusatan latihan tak berhenti setelah Asian Games. Selain konsisten latihan, para pebalap juga akan mengikuti Kejuaraan Asia, yaitu di Malaysia dan Thailand, untuk mengumpulkan poin menuju Olimpiade. ”Pengumpulan poin untuk Olimpiade akan dimulai pada September 2018,” ujar Dadang.
Asa menembus Olimpiade juga tumbuh di cabang tinju setelah petinju kelas bantam putra Sunan Agung Amoragam (20) dan petinju kelas ringan putri 60 kilogram Huswatun Hasanah (20) meraih perunggu, kemarin.
Mereka membuat kejutan di perempat final. Sunan mengalahkan petinju berpengalaman asal Irak, Jaafar Al Sudani, sementara Huswatun menumbangkan petinju senior India, Pavitri, yang selalu masuk 10 besar dalam tiga edisi Kejuaraan Dunia.
”Dari teknik sampai kemampuan, mereka sama. Cuma untuk Olimpiade, kita masih butuh latih tanding. Itu yang harus jadi prioritas utama,” ujar Adi Swandana, kepala pelatih tinju.
Ke depan, petinju perlu lebih sering latih tanding. Untuk persiapan Asian Games, sejak Oktober 2017, petinju putri hanya diberikan satu kali uji coba ke India. Sementara itu, petinju putra hanya dua kali, yaitu ke Ukraina dan Thailand.
Selain itu, petinju nasional wajib mengikuti kejuaraan resmi yang diselenggarakan Asosiasi Tinju Amatir Internasional (AIBA). Kejuaraan itu dibutuhkan sebagai kualifikasi menuju Olimpiade.
Di cabang senam, meski berhasil menembus dominasi pesenam China, Jepang, dan Korea Selatan di Asian Games, kualitas pesenam nasional masih harus ditingkatkan untuk mencapai Olimpiade. Contohnya pesenam artistik terbaik Indonesia yang meraih perak senam lantai Asian Games, Rifda Irfanaluthfi, mendapat nilai 12,750 di senam lantai dan 13,287 di kuda-kuda lompat. Nilai Rifda di final, dari gabungan tingkat kesulitan dan eksekusi, masih kalah jauh dari peraih emas Olimpiade 2016 asal Amerika Serikat, Simone Biles, yang mendapat 15,966 poin di kedua nomor tersebut.
Manajer senam Dian Arifin mengatakan, masih ada kesempatan untuk Rifda mengejar ketertinggalan itu. Caranya, dalam dua tahun menjelang Olimpiade Tokyo, dia harus benar-benar mendapat program tepat.
Menpora Imam Nahrawi saat berkunjung ke final senam trampolin, Kamis, memberi lampu hijau bagi pelatihan senam untuk lebih sering ke luar negeri.