Harga jagung pakan naik 17,6 persen menjadi Rp 5.000-Rp 5.200 per kilogram di gudang pabrik pakan dua bulan terakhir. Pemerintah dinilai perlu mengantisipasinya karena bisa mendongkrak harga daging dan telur serta inflasi.
JAKARTA, KOMPAS - Harga jagung pakan berangsur naik seiring berkurangnya pasokan dua bulan terakhir. Kalangan peternak dan perusahaan pakan khawatir suplai jagung terus turun seiring meluasnya area kekeringan dan berakhirnya panen beberapa bulan ke depan.
Kenaikan harga jagung berpotensi mendongkrak harga pakan dan produk unggas khususnya daging dan telur ayam. Sebab, jagung merupakan komponen utama yang mencakup lebih dari separuh komposisi bahan baku pakan.
Sekretaris Dewan Jagung Nasional Maxdeyul Sola, saat dihubungi, Jumat (31/8/2018), menyatakan, kekeringan menurunkan produktivitas tanaman jagung. ”Jagung pakan menggunakan benih hibrida sehingga tetap membutuhkan air,” ujarnya.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Perunggasan Indonesia Anton J Supit menyebutkan, harga jagung pakan di tingkat peternak naik sekitar 17,6 persen dalam dua bulan terakhir. ”Saat ini kami membeli jagung dengan harga Rp 5.000-Rp 5.200 per kilogram (kg),” ujarnya.
Berdasarkan pantauannya, kata Anton, harga jagung pakan di tingkat peternak berkisar Rp 4.250-Rp 4.300 per kg pada awal Juli 2018. Pada akhir Agustus 2018, harganya telah lebih dari Rp 5.000 per kg. Padahal, berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 58 Tahun 2018 tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen, harga jual jagung untuk pakan ternak ditetapkan Rp 3.150 per kg di tingkat petani dan Rp 4.000 per kg di industi pengguna.
Jika tidak diantisipasi, kenaikan harga jagung bisa berimbas pada meningkatnya harga jual daging dan telur ayam. Komponen pakan memiliki andil sekitar 70 persen pada harga ayam dan telur. Dari kontribusi itu, 50 persen di antaranya dipengaruhi oleh harga jagung pakan.
Kebutuhan jagung untuk peternakan secara nasional rata-rata 800.000 ton per bulan. Menurut Anton, jika jagung berlimpah, harganya tidak akan terus naik dan mudah didapatkan di pasar.
Ketua Umum Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Petelur Nasional Yudianto Yosgiarso menambahkan, jika harga jagung pakan berangsur naik, peternak unggas akan terpaksa mencari substitusi. Menurut dia, pilihan beralih ke bahan substitusi itu bisa berisiko pada kesehatan ayam ternak dan berimbas pada kualitas telur.
Inflasi
Selain kekeringan, harga jagung juga berpotensi naik seiring berkurangnya area panen. Menurut Ketua Asosiasi Petani Jagung Indonesia Sholahuddin, panen masih berlangsung di Sumbawa, Dompu, Sulawesi Selatan, dan Lampung. Pada awal Agustus 2018, dia memperkirakan realisasi panen telah mencapai 65 persen. Kementerian Pertanian menargetkan produksi jagung mencapai 26,5 juta ton tahun ini.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah berpendapat, dampak kenaikan harga jagung bisa berimbas pada inflasi pangan September 2018. Dalam rangka mengatasi dampaknya, pemerintah bisa memberikan bantuan logistik dan distribusi jagung. Sebab, sebagian jagung diproduksi di luar Pulau Jawa, sementara sentra peternakan dan industri pakan ada di Pulau Jawa.
Satuan Tugas Pangan pun perlu turun tangan. Rusli mengatakan, peredaran jagung pakan dari hulu ke hilir patut diawasi untuk memastikan distribusinya.
Menurut Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Perekonomian Musdhalifah Machmud, kenaikan harga jagung adalah bentuk adaptasi pasar. ”Jagung petani lokal harus tetap menjadi prioritas penyerapan. Namun, kami akan tetap memantau pergerakan harga tersebut,” ujarnya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian I Ketut Diarmita menyatakan, harga ayam tidak akan naik karena produksinya surplus. Dia memproyeksikan produksi ayam karkas sepanjang tahun 2018 mencapai 3,38 juta ton. Sementara kebutuhannya 3,05 juta ton.
Terkait jagung, sejumlah pihak meragukan angka produksi yang diklaim Kementerian Pertanian. Produksi jagung disebut naik dari 19,6 juta ton tahun 2015 menjadi 23,1 juta ton tahun 2016.
Dengan yakin produksi telah surplus karena kebutuhan tak lebih dari 19 juta ton per tahun, pemerintah memutuskan untuk menghentikan impor jagung sejak awal tahun 2017. Impor jagung pun turun dari 3,5 juta ton pada tahun 2015 menjadi 1,3 juta ton pada tahun 2016. Namun, harga jagung bertahan tinggi.