Myanmar Palsukan Informasi untuk Sudutkan Rohingya
Foto hitam putih yang kasar dicetak dalam sebuah buku baru tentang krisis Rohingya yang ditulis tentara Myanmar. Foto itu menggambarkan seorang pria yang sedang berdiri di atas dua jenazah dan memegang alat pertanian. Pada bagian teks foto, tertulis: ”Bengali membunuh etnis lokal secara brutal”.
Foto ini muncul di bagian buku yang berisi tentang kerusuhan etnis di Myanmar pada 1940-an. Teks foto menyebut, warga Buddha dibunuh etnis Rohingya, etnis minoritas Muslim yang dalam buku disebut sebagai ”Bengali” dan menyiratkan bahwa mereka adalah imigran gelap.
Namun, Reuters mengecek foto tersebut dan menunjukkan bahwa foto diambil pada saat perang kemerdekaan Bangladesh tahun 1971. Saat itu, ratusan ribu warga Bangladesh tewas oleh pasukan Pakistan.
Reuters mengecek foto tersebut dan menunjukkan bahwa foto diambil pada saat perang kemerdekaan Bangladesh tahun 1971.
Foto tersebut merupakan salah satu dari tiga foto yang muncul dalam buku yang diterbitkan pada Juli 2018 oleh Departemen Hubungan Masyarakat dan Propaganda Myanmar. Foto telah disalahpahami sebagai gambar arsip dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar.
Bahkan, Reuters menemukan bahwa dua foto itu diambil di Bangladesh dan Tanzania. Foto yang ketiga diberi narasi palsu karena menggambarkan Rohingya memasuki Myanmar dari Bangladesh, padahal kenyataannya menunjukkan para migran meninggalkan Myanmar.
Juru bicara Pemerintah Myanmar Zaw Htay dan juru bicara militer tidak dapat dihubungi Reuters saat hendak dimintai komentar terkait keaslian foto-foto di dalam buku. U Myo Myint Maung, Sekretaris Tetap di Kementerian Penerangan Myanmar, menolak berkomentar dan mengatakan bahwa dia belum membaca buku itu.
117 halaman
Menurut badan-badan di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), buku berjudul Politik Myanmar dan Tatmadaw: Bagian I setebal 117 halaman memicu laporan investigasi PBB mengenai pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pembakaran oleh militer Myanmar. Tatmadaw adalah nama resmi militer Myanmar.
Buku itu mengaitkan narasi militer Agustus tahun lalu ketika 700.000 warga Rohingya mengungsi dari Negara Bagian Rakhine ke Bangladesh. Sebagian besar konten bersumber dari unit informasi ”True News” militer yang sejak awal krisis telah mendistribusikan berita dari perspektif militer Myanmar, sebagian besar disebar melalui Facebook.
Buku ini dijual di toko di seluruh Kota Yangon. Seorang anggota staf di Innwa, salah satu toko buku terbesar di Kota Yangon, mengatakan, 50 eksemplar buku yang dipesan telah terjual habis, tetapi toko tidak berencana memesan buku lagi. ”Tidak banyak orang yang mencarinya,” kata anggota Innwa yang menolak disebutkan namanya.
Pada Senin lalu, Facebook memblokir akun Facebook panglima militer dan pejabat militer Myanmar yang dituduh menggunakan media sosial itu untuk ”mengobarkan ketegangan etnis dan agama”. Pada hari yang sama, penyelidik PBB menuduh Jenderal Senior Min Aung Hlaing bertanggung jawab atas kekerasan terhadap etnis Rohingya tersebut dengan ada niat genosida, menghabisi etnis Rohingya. Penyelidik PBB merekomendasikan Jenderal Min Aung Hlaing dan pejabat senior lainnya dituntut atas kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dalam buku baru tersebut, militer Myanmar membantah tuduhan telah melakukan pelanggaran dan mengatakan bahwa aksi kekerasan terhadap ”teroris Bengali” dilakukan karena mereka bermaksud mendirikan negara Rohingya: ”Arkistan”.
Serangan oleh militan Rohingya yang menyebut diri mereka Tentara Pembebasan Arakan Rohingya di pos-pos polisi Myanmar membuat militer melakukan serangan balasan pada Agustus 2017 di Negara Bagian Rakhine. Penyelidik PBB mengatakan, kemungkinan ada sekitar 10.000 warga Rohingya yang tewas dalam kekerasan tersebut. Namun, kelompok itu membantah memiliki tujuan separatis.
Sejarah Rohingya
Buku ini juga berusaha menelusuri sejarah Rohingya yang menganggap diri mereka sebagai penduduk asli Myanmar barat. Buku itu menyebut bahwa etnis Rohingya merupakan imigran gelap dari Bangladesh. Dalam pengantar buku, penulis buku, Letnan Kolonel Kyaw Kyaw Oo, menyatakan, teks buku dikompilasi menggunakan ”foto dokumenter” dengan tujuan ”mengungkap sejarah orang Bengali”.
”Dapat ditemukan bahwa setiap kali perubahan politik atau konflik bersenjata etnis terjadi di Myanmar, warga Bengali justru mengambil keuntungan,” tulis Kyaw Kyaw Oo dalam buku. Dituliskan pula bahwa etnis Rohingya memanfaatkan ketidakpastian transisi demokrasi yang baru lahir di Myanmar untuk memicu ”pertikaian agama”.
Buku itu menyebut bahwa etnis Rohingya merupakan imigran gelap dari Bangladesh.
Kyaw Kyaw Oo belum bisa dimintai komentar terkait buku tersebut. Reuters memeriksa beberapa foto menggunakan Google Reverse Image Search dan TinEye, alat yang biasa digunakan oleh kantor media untuk mengidentifikasi foto-foto yang sebelumnya pernah muncul secara daring. Pengecekan berikutnya pada penerbit foto sebelumnya untuk mendapatkan informasi asal-usul foto-foto itu.
Dari 80 foto di buku itu, sebagian besar adalah foto terbaru dari Panglima Militer Myanmar Min Aung Hlaing yang bertemu pejabat asing atau pejabat lokal yang mengunjungi Rakhine. Beberapa lainnya berasal dari gambar potongan video yang diunggah kelompok militan Rohingya, Tentara Pembebasan Arakan Rohingya.
Teks palsu
Dari delapan foto yang disajikan sebagai gambar sejarah, Reuters menemukan asal dari tiga foto yang dipalsukan teksnya. Sementara itu, lima foto lainnya tidak diketahui asalnya.
Salah satu foto hitam putih yang telah pudar menunjukkan kerumunan orang yang melakukan long march dengan punggung membungkuk. Tertulis pada teks foto bahwa orang-orang Bengali masuk ke Myanmar .
Foto itu tampaknya dimaksudkan untuk menggambarkan etnis Rohingya tiba di Myanmar selama era kolonial yang berakhir pada tahun 1948. Reuters menemukan foto itu adalah foto tahun 1996 yang terdistorsi warnanya, yang merupakan foto para pengungsi yang menyelamatkan diri dari genosida di Rwanda. Fotografer Martha Rial yang bekerja untuk Pittsburgh Post-Gazette memenangi Hadiah Pulitzer untuk foto itu.
Reuters menemukan foto itu adalah foto tahun 1996 yang terdistorsi warnanya, yang merupakan foto para pengungsi yang menyelamatkan diri dari genosida di Rwanda.
Pittsburgh Post-Gazette tidak segera menanggapi permintaan Reuters untuk berkomentar tentang penggunaan fotonya. Foto lain yang juga dicetak hitam putih menunjukkan orang-orang yang sedang naik perahu yang sudah reyot. Teks fotonya berbunyi, ”Bengali memasuki Myanmar melalui jalur air”.
Teks foto itu jelas palsu karena foto asli menggambarkan migran Rohingya dan Bangladesh meninggalkan Myanmar pada tahun 2015 ketika puluhan ribu orang mengungsi ke Thailand dan Malaysia. Foto asli telah dirotasi dan diburamkan sehingga terlihat berbintik-bintik. Foto ini berasal dari Kementerian Informasi Myanmar. (REUTERS)