Ragam Coklat untuk Semua
Berawal dari mencoba untuk menyenangkan anak teman, Kristiani Asteria (38) kini mampu membuat ratusan ragam olahan coklat dengan bentuk, rasa, dan tampilan berbeda. Dengan kekayaan varian itu, dia berupaya membuat produk coklatnya bisa disukai berbagai kalangan usia.
Produk coklat buatan Kristiani yang dijual dengan merek Simple diproduksi di daerah Pangenan, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Produknya terdiri dari permen coklat praline, coklat bubuk untuk campuran bahan pembuat kue, selai coklat, krim coklat, coklat seduh untuk minuman, dan permen coklat batangan.
Khusus coklat praline (permen coklat dengan bahan isian) saja sudah sempat dibuatnya menjadi 150 ragam bentuk mulai dari karakter kartun, boneka, dan aneka buah-buahan. Adapun coklat batangan premium dibuatnya dalam empat varian rasa yaitu kacang tanah, keju, kopi, dan krim coklat.
Kristiani rata-rata membutuhkan 50 kilogram bubuk coklat per bulan.
Coklat seduh untuk minuman adalah salah satu produk yang dibuat untuk kalangan usia dewasa atau orang tua. “Di dalamnya saya menambahkan bubuk kayu manis dan ramuan sereh,” ujarnya.
Memakai bahan baku coklat dari berbagai daerah di Indonesia, terutama dari Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Kristiani rata-rata membutuhkan 50 kilogram bubuk coklat per bulan. Namun, karena dibuat hanya berdasar pesanan, volume bahan baku yang dipakai bervariasi sesuai permintaan. Pada saat permintaan tinggi, seperti saat Lebaran lalu, dia memproduksi aneka olahan dengan bahan baku hingga setengah ton bubuk coklat per hari.
Produk coklat buatan Kristiani dijual dengan harga mulai dari Rp 10.000 hingga Rp 85.000 per kemasan. Melalui perantara lebih dari 20 pemasar, Simple telah dipasarkan ke seluruh Indonesia, dari ujung Sumatra hingga Papua.
Khusus untuk daerah jauh seperti Papua, biaya pengiriman seringkali nominalnya hampir sama dengan harga coklat yang dijual. Namun, ternyata hal itu tidak dipermasalahkan oleh konsumen. “Saya pun lega karena pelanggan dari daerah-daerah jauh itu ternyata mau memesan lebih dari satu kali,” ujarnya.
Kecintaan pelanggan inilah yang membuat roda usaha Kristiani terus berputar. Omzet berkisar Rp 5 juta hingga Rp 10 juta per bulan.
Iseng mencoba
Sebelum terjun ke dunia wirausaha, Kristiani adalah pekerja di sektor formal. Selama sekitar lima tahun, dia berpindah-pindah kerja di bank dan hotel di Semarang.
Tahun 2005, hidup mulai berubah ketika dokter mendiagnosa dia menderita glaukoma, gangguan penglihatan karena tingginya tekanan cairan pada bola mata. Saat itu dokter memperingatkannya, jika pola kerjanya yang kerap di depan komputer tidak diubah, dalam waktu lima tahun akan berdampak fatal untuk penglihatannya.
Kristiani memutuskan tetap bekerja, tetapi juga berusaha mengurangi intensitas di depan komputer. Dengan terus menjalani pengobatan di dokter, perlahan penglihatannya berangsur pulih. Namun, karena tetap khawatir dengan kondisi penglihatannya, dia akhirnya memutuskan berhenti dari pekerjaannya dan kembali pulang ke Magelang tahun 2010.
Bingung akan melakukan apa, Kristiani iseng mencoba menerjuni dunia wirausaha dengan membuat beragam aksesoris seperti kalung, anting, dan gelang. Dia coba berdagang tas dan sepatu secara daring. Saat itu semua dilakukan hanya sekedar agar bisa mendapatkan penghasilan.
Tahun 2011, saat mendekati Lebaran, Kristiani berkeinginan memberikan buah tangan untuk anak-anak teman kantornya. Sadar tidak memiliki banyak uang, dia berusaha membuat sendiri.
Dengan berbekal uang Rp 200.000, dia pun berbelanja 8 kg coklat batangan yang biasa dipakai sebagai bahan campuran roti serta bahan-bahan lainnya yang akan dipakai untuk membuat permen coklat. Ketika itu dia membuat permen coklat berbentuk hati, bulat, dan kotak yang didalamnya diisi selai. Permen coklat itu pun dikirim ke kantor temannya di Semarang.
Belum sampai dicicipi oleh anak-anaknya, teman yang mendapat paket mengatakan bahwa coklat tersebut sudah ludes dimakan rekan-rekan sekantor. “Waktu itu, teman saya menyuruh saya agar cepat bikin permen coklat sebanyak-banyaknya karena banyak yang suka yang ingin memesan,” ujarnya.
Sesuai apa yang dikatakan oleh temannya, Kristiani pun langsung diserbu pesanan. Saat itu, pesanan pertama dia buat untuk memenuhi permintaan menjelang Lebaran. Dia memakai bahan baku hingga lebih dari satu kuintal coklat batangan. Namun, setelah itu permintaan pun langsung turun. Volume produksi coklat buatannya turun drastis menjadi 5-10 kilogram coklat per bulan.
Belum sampai dicicipi oleh anak-anaknya, teman yang mendapat paket mengatakan bahwa coklat tersebut sudah ludes dimakan rekan-rekan sekantor.
Tak lama kemudian, Kristiani berusaha mendaftarkan produknya agar bisa bisa mendapatkan label PIRT (Pangan Industri Rumah Tangga). Setelah itu, dia mencoba menjual produk coklatnya ke sejumlah toko modern dan toko oleh-oleh. Namun, cara itu ternyata tidak berarti memberikannya keuntungan.
“Saya justru banyak mengalami rugi karena produk coklat saya sering rusak diletakkan sembarangan. Tersembunyi, tertumpuk-tumpuk produk lain, dan seringkali dikembalikan dalam kondisi sudah berjamur,” ujarnya.
Demi menghindari risiko rugi berulang-ulang, dia memutuskan untuk memproduksi coklat berdasar pesanan saja mulai tahun 2015.
Coba yang lain
Kristiani mengaku usaha yang dijalankannya tidak selalu berjalan mulus. Oleh karena permintaan coklat selama kurun tahun 2011-2014 relatif rendah, dia sempat mencoba berbagai usaha sampingan, seperti berdagang batik dan katering. Tahun 2014, dia bersama salah seorang sepupunya juga sempat menjalankan usaha membuat asinan buah. Asinan buah ini sempat dijual di kawasan Candi Borobudur dan sempat diusir oleh petugas keamanan karena dianggap berdagang di kawasan terlarang.
Dengan begitu banyak usaha sampingan yang dijalankan, usaha mengolah coklat yang dijalankannya justru semakin terpuruk. Menyadari kondisi tersebut, Kristiani pun memutuskan untuk kembali memfokuskan diri pada coklat.
Dia memperbaiki manajemen dan memperluas jejaring pemasaran dengan bergabung ke salah satu komunitas yang bergerak di dunia pariwisata di Kabupaten Magelang.
Oleh karena senang membuat dan makan coklat, Kristiani pun terus berusaha mengembangkan produknya. Dengan kemampuan yang dimiliki, sekitar setahun lalu dia diminta bergabung untuk mengembangkan pengolahan coklat di salah satu desa di Kecamatan Borobudur. Namun, karena merasa lebih nyaman berusaha sendiri, dia akhirnya melepaskan diri dan kembali bekerja mandiri.
Jika sebelumnya mengerjakan segala proses produksi berdua dengan rekannya, saat ini Kristiani telah memiliki empat hingga lima karyawan yang warga sekitar rumah dan sewaktu-waktu bisa dipanggil untuk mengerjakan coklat pesanan.
Merasa sudah lebih nyaman dengan jalan usahanya sekarang, Kristiani berusaha untuk terus mengembangkan varian produk. Rencana varian baru yang akan dibuat antara lain brownis coklat. Dia juga sedang berpikir bagaimana membuat agar brownis tersebut memiliki cita rasa berbeda dengan yang sudah banyak dijual.
Selain itu, khusus untuk pelanggan kalangan usia dewasa, dirinya akan membuat coklat rasa berbagai jamu dalam waktu dekat.
“Saya berencana membuat coklat dengan tambahan cita rasa macam-macam jamu seperti coklat rasa beras kencur, coklat rasa kunir asem dan sebagainya,” ujarnya.