Sabam Leo Batubara Pantas Jadi Pahlawan Kebebasan Pers
Oleh
Khaerudin
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dunia pers Indonesia tengah berduka karena kehilangan tokoh yang aktif memperjuangkan adanya kebebasan pers, Sabam Leo Batubara (79). Walaupun kini tiada, almarhum telah mewariskan sikap jurnalistik yang patut menjadi panutan, yaitu kegigihan, kesetiaan, dan kebebasan.
Sabam Leo Batubara mulai aktif di dunia pers sejak tahun 1971. Ia merupakan Pemimpin Perusahaan Harian Suara Karya pada tahun 1971-1985 dan pada 1999-2005. Ia juga menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pers pada 2003-2006 dan 2007-2010. Sejak 2009 hingga akhir hayatnya, Leo menjadi pengajar di Lembaga Pers Dokter Soetomo.
Menurut Wakil Ketua Dewan Pers Ahmad Djauhar, semangat Leo dalam memperjuangkan kebebasan pers sangat bernilai. Pasalnya, pers pernah mengalami penindasan pada masa lampau. Selain itu, Indonesia hingga kini adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang memiliki kebebasan pers.
Mantan Ketua Dewan Pers Bagir Manan mengatakan, ada banyak kenangan dan pelajaran yang diperoleh selama dirinya mengenal sosok almarhum yang akrab dipanggil Leo ini. Menurut dia, almarhum merupakan seorang teladan karena perhatiannya untuk mengingatkan insan pers terhadap prinsip-prinsip jurnalisme.
”Pelajaran yang tidak terlupa dari Leo adalah kesetiaannya pada profesi. Beliau sangat gigih membela kebebasan pers, baik dalam kebijakan-kebijakan pers maupun dalam penindakan penegakan hukum pers,” kata Bagir pada acara penghormatan terakhir dan pelepasan jenazah, Sabtu (1/9/2018), di Gedung Dewan Pers, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat.
Sebelumnya, jenazah disemayamkan di Rumah Duka Sentosa, Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta Pusat. Mobil jenazah tiba di Gedung Dewan Pers pada pukul 09.32. Kedatangannya diiringi pula dengan kedatangan keluarga almarhum.
Leo meninggal pada 29 Agustus 2018. Ia dikabarkan jatuh di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, sehingga kepalanya terluka. Almarhum sempat dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto untuk mendapat pertolongan. Namun, ia dinyatakan meninggal.
Leo yang lahir pada 26 Agustus 1939 ini merupakan sosok yang gigih dalam memperjuangkan kemerdekaan pers. Ia terlibat dalam perancangan Undang-Undang Pers di DPR pada Agustus dan September 1999. Kini, undang-undang tersebut diwujudkan dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Mantan Ketua Dewan Pers Atmakusumah Astraatmadja mengatakan, Leo pantas disebut sebagai penjaga kebebasan pers seperti yang pernah diberitakan harian Kompas. Menurut dia, Leo masih aktif mengamati situasi pers nasional hingga detik-detik menjelang ia wafat.
”Saya rasa Saudara Leo Batubara adalah pahlawan kebebasan pers,” kata Atmakusumah.
Pilihan almarhum untuk bergerak di dunia pers sangat dipengaruhi oleh buku yang sering dibacanya, yaitu buku karya Mochtar Lubis. Menurut politisi Partai Golkar sekaligus sepupu almarhum, Cosmas Batubara, Leo melihat adanya peran penting pers dalam pembangunan negara.
”Menurut Leo, pers bisa berkembang kalau masyarakatnya terdidik. Maka, dia concern untuk mendorong pendidikan. Dia juga mendorong keluarga untuk sekolah dan menekankan pentingnya pendidikan,” ujar Cosmas.
Semasa hidupnya, Leo pernah menulis beberapa buku, salah satunya adalah Menegakkan Kemerdekaan Pers. Selain itu, ia pernah menjabat sebagai Koordinator Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia yang bertugas untuk memperjuangkan amandemen konstitusi dan perundang-undangan yang melindungi kemerdekaan pers.
Atas dedikasinya terhadap dunia pers, nama Leo akan diabadikan pada sebuah ruangan rapat di Gedung Dewan Pers. Ruangan tersebut akan diberi nama Ruang Sabam Leo Batubara.
Jenazah Leo dimakamkan hari ini di Pemakaman San Diego Hills, Karawang, Jawa Barat. Almarhum meninggalkan tiga anak. (SEKAR GANDHAWANGI)