Asian Games dan Tensi Politik Pemilu 2019
Perhelatan Asian Games di Jakarta dan Palembang sejenak menurunkan tensi politik Pemilu 2019. Ruang daring yang sebelumnya riuh dengan pembelahan politik, dibanjiri narasi “kekamian” serta rasa bangga sebagai satu bangsa.
Beberapa kenalan mengunggah status di media sosial masing-masing, berisi ungkapan rasa harunya saat melihat video dua bakal calon presiden, yakni Joko Widodo dan Prabowo Subianto berpelukan bertiga dengan atlet pencak silat peraih medali emas Asian Games Hanifan Yudani Kusumah pada 29 Agustus. “Saya yakin mereka cinta Indonesia. Kalau mereka saja bisa rukun demi bangsa ini, saya yakin kita yang tidak kenal mereka secara pribadi akan lebih rukun daripada mereka,” tulis seorang kenalan di status Facebook-nya.
Ia mengunggah pula foto dan meme yang menggambarkan Presiden Joko Widodo, Prabowo Subianto yang hadir di lokasi pertandingan pencak silat sebagai Ketua Umum Ikatan Pencak Silat Indonesia, dan Hanifan yang saling berpelukan dengan “berselimut” bendera Merah Putih. Momentum itu bagi publik di Indonesia menjadi hal yang sangat menarik. Sebab, kontestasi kedua tokoh itu pada Pemilu 2014, meninggalkan bekas yang dalam di tengah masyarakat Indonesia. Pembelahan politik masih bertahan bertahun-tahun setelah kontestasi usai. Sementara itu, pada Pemilu 2019, dua tokoh tersebut akan kembali berkompetisi.
Sontak, media massa menangkap momentum tersebut, lalu mendiseminasikannya ke ruang-ruang publik. Tidak hanya itu, di forum yang sama, Joko Widodo mengunggah video blog di akun media sosialnya menyampaikan kata-kata “semuanya untuk Indonesia”, kalimat yang juga diucapkan oleh Prabowo Subianto, serta atlet pencak silat putri Indonesia peraih medali emas Wewey Wita alias Yeo Chuwey.
Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games yang berlangsung 18 Agustus hingga 2 September dengan capaian prestasi atlet yang membanggakan. Hingga Jumat (31/08/2018) malam, Indonesia menduduki peringkat empat dari 40 negara peserta, dengan raihan 31 emas, 23 perak, dan 40 perunggu. Capaian ini juga disebut-sebut dengan raihan medali emas terbanyak sepanjang partisipasi Indonesia di perhelatan olahraga multicabang di tingkat Asia itu.
Para atlet yang berjuang untuk membuat bendera Merah Putih berkibar dan lagu Indonesia Raya dikumandangkan dalam seremoni penyerahan medali, berasal dari berbagai latar belakang suku, agama, dan kelompok sosial. Hal ini membangkitkan rasa “keindonesiaan” orang-orang yang menyaksikan fenomena ini.
Pembukaan Asian Games yang meriah juga ditanggapi sangat positif oleh para pengguna internet. Nada-nada positif berisi kebangaan atas kemeriahan dan kesuksesan pembukaan ajang olahraga multicabang itu mengisi media sosial. Meski, tetap ada sebagian warganet yang mengunggah status dengan nada negatif, tetapi jika dibandingkan secara anekdotikal dengan sebelum perhelatan Asian Games, intentitas “tawuran” di media sosial karena beda pandangan politik berkurang drastis.
“Momen Asian Games ini menjadi berkah bagi bangsa Indonesia karena meredakan ketegangan jelang Pemilu 2019 di ruang publik,” kata Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk, Jumat.
Momentum pertemuan Joko Widodo dan Prabowo Subianto di arena pertandingan Pencak Silat bisa juga menunjukkan ke publik bahwa di tingkat elite, tidak ada kompetisi dengan nuansa kebencian dan permusuhan. Oleh karena itu, massa di akar rumput juga seyogianya tidak bermusuhan dan saling membenci. Selain itu, Hamdi menilai Asian Games juga memberi energi positif bagi bangsa Indonesia dalam dua aspek.
Pertama, penyelenggaraan Asian Games sejauh ini memupus anggapan bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang tidak profesional karena perhelatan itu terselenggara dengan baik. Kedua, Asian Games juga menunjukkan bahwa bangsa Indonesia gigih berjuang, tidak mudah menyerah, dan berprestasi. Perjuangan para atlet Indonesia menularkan energi positif kepada warga yang menyaksikannya secara langsung maupun melihatnya di layar kaca.
Nasionalisme olahraga
Interseksi antara olahraga, identitas, dan nasionalisme sudah menjadi tema yang cukup banyak dibahas. Olahraga tidak semata-mata soal gerak fisik dan kegemaran. Dalam skala tertentu, sejumlah kajian bahwa menunjukkan olahraga bisa menjadi salah satu sarana untuk mereduksi konflik horizontal dalam sebuah masyarakat.
Höglund and Sundberg (2008) seperti dikutip oleh Sian Herbert dalam Promoting National Identities (2013) menunjukkan bahwa dalam kasus Afrika Selatan, pascapenghentian politik pemisahan ras, olahraga ternyata memainkan peran rekonsilisasi di tengah masyarakat yang terbelah. Setelah pemilihan umum demokratis pertama di tahun 1994, Afrika Selatan, mendorong lahirnya gagasan persatuan nasional melalui penyelenggaraan olahraga level internasional, serta pendanaan fasilitas olahraga di tingkat akar rumput.
Dalam kasus Afrika Selatan, pascapenghentian politik pemisahan ras, olahraga ternyata memainkan peran rekonsilisasi di tengah masyarakat yang terbelah. Setelah pemilihan umum demokratis pertama di tahun 1994, Afrika Selatan, mendorong lahirnya gagasan persatuan nasional melalui penyelenggaraan olahraga level internasional, serta pendanaan fasilitas olahraga di tingkat akar rumput.
Hal itu menjadi sebuah rekayasa sosial untuk menyatukan masyarakat yang begitu lama terbelah karena politik pemisahan ras. Kendati kasus Afrika Selatan menunjukkan olahraga bisa memainkan peran rekonsiliatif, tetapi juga ada contoh kasus yang menunjukkan olahraga bisa jadi pemicu konflik. Höglund and Sundberg mencontohkan konflik bersenjata yang berlangsung singkat tahun 1969, antara El Salvador dan Honduras. Perang itu dijuluki “Perang Sepakbola”.
Kajian lain menunjukkan pertautan antara olahraga dan nasionalisme. Ørnulf Seippel dalam Sports and Nationalism in a Globalized World yang dimuat di International Journal of Sociology (2017) menilai olahraga bisa meningkatkan nasionalisme. Hal ini disebabkan olahraga bisa menjadi simbol nasionalisme dengan mengaktivasi cerita-cerita mengenai siapa orang-orang yang menjadi bagian dari sebuah negara. Kebangaan yang muncul saat melihat kesuksesan atlet negaranya bisa menumbuhkan rasa kesamaan di antara orang-orang dalam satu negara.
Hanya saja, ada banyak variabel yang bisa memunculkan nasionalisme olahraga, baik pada tingkat individu maupun tingkat negara bangsa. Dengan kata lain, kuat lemahnya nasionalisme olahraga bisa pula dipengaruhi oleh faktor kesukaan seseorang pada olahraga, atau juga bisa dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, dan politik sebuah bangsa. Riset Seippel menunjukkan kecenderungan negara-negara dengan produk domestik bruto (PDB) rendah serta tingkat demokrasi rendah, dan globalisasi kultural rendah, punya kecenderungan untuk memiliki nasionalisme olahraga yang kuat.
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Firman Noor menuturkan, pengalaman beberapa negara menunjukkan bahwa semangat nasionalisme itu mendapat momentum, salah satunya melalui olahraga. Rasa kebangsaan itu bisa muncul ketika satu bangsa sedang “berkompetisi” dengan bangsa lain, sehingga menimbulkan sentimen “kekamian”, bukan lagi menonjolkan faktor “keakuan” karena ada stimulus dari luar yang menunjukkan bahwa orang-orang dalam satu bangsa itu punya identitas yang sama.
“Tetapi perlu diingat bahwa hal ini muncul di negara-negara yang pada dasarnya punya semangat nasionalisme yang tinggi,” kata Firman.
Olahraga bisa menjadi simbol nasionalisme dengan mengaktivasi cerita-cerita mengenai siapa orang-orang yang menjadi bagian dari sebuah negara. Kebangaan yang muncul saat melihat kesuksesan atlet negaranya bisa menumbuhkan rasa kesamaan di antara orang-orang dalam satu negara.
Asian Games sedikit banyak sudah memberi dampak pada tumbuhnya rasa bangga pada kemampuan Indonesia menyelenggarakan perhelatan sekaliber Asian Games. Pertanyaan selanjutnya, apa yang akan terjadi setelah perhelatan itu ditutup. Masih bisa kah nasionalisme olahraga itu bertahan, sehingga tetap bisa menjaga “mood” publik dan menurunkan tensi politik jelang Pemilu 2019? Sebab, hanya beberapa pekan setelah penutupan Asian Games, masa kampanye Pemilu 2019 akan dimulai, yakni 23 September 2018 hingga 13 April 2019.
Firman Noor berpendapat, berapa lama dampak dari bangkitnya semangat nasionalisme di tengah perhelatan Asian Games akan sangat tergantung pada perilaku para elite. Menurut dia, dampak Asian Games bisa bertahan lebih lama jika para elite terus mengomunikasikan semangat persatuan.
Pertanyaannya akankah momentum ini dipertahankan oleh elite dan pendukungnya setelah Asian Games usai? Atau apakah ruang publik kita akan kembali riuh dengan “tawuran” pernyataan dan celaan di ruang daring maupun di ranah luar jaringan? (Antony Lee)