Ketiadaan Batas Semesta
Seorang komposer berkebangsaan Malaysia, Ng Chor Guan, mementaskan komposisi musik Space Age: The Phantom Power di Komunitas Salihara, Jakarta, 29-30 Agustus 2018. Komposisi musik ini dipadu video seni rupa yang bertutur tentang ketiadaan batas semesta ini.
”Pada masa kecil, saya bercita-cita ingin menjelajahi luar angkasa. Saya bercita-cita ingin menjadi seorang astronot,” ujar Chor Guan, Selasa (28/8/2018), seusai pementasan terbatas untuk awak media di Gedung Komunitas Salihara.
Chor Guan memainkan alat musik theremin. Ini sebuah alat musik yang cara memainkannya dengan menggunakan gelombang elektromagnetik sehingga sama sekali tak perlu disentuh. Menurut dia, alat musik ini sudah ditemukan sejak 100 tahun silam di Rusia.
”Ketika memainkan theremin ini, tangan kiri saya bergerak untuk mengatur volume suara, sedangkan gerak tangan kanan saya untuk mengatur pitch, tinggi rendahnya nada,” ujar Chor Guan.
Penampilan Chor Guan ditemani Angela Lou (biola), Chai Kee Hong (alat musik tiup french horn), Foo Chie Haur (flute), dan Lynne Chuah Lay Hoon (piano). Mereka menggunakan partitur untuk memainkan komposisi lagu layaknya sebuah orkestra. Akan tetapi, juga seperti suguhan jazz, suatu waktu dibuat improvisasi atau penyesuaian satu sama lain, terlebih ketika Chor Guan memainkan thereminnya.
Tembakan cahaya lampu dikelola sebagai bagian dari performa atau pertunjukan tersebut. Figur abstrak mendominasi dan tentu saja bercerita tentang alam semesta yang tak berbatas itu.
Pementasan dimulai dengan kesenyapan panggung. Gulita mulai dipecah dengan suara lembut gesekan biola, dentingan piano, serta alunan flute dan french horn. Cahaya mulai ditembakkan. Bayangan terbentuk berupa titik-titik putih bertebaran di backdrop atau dinding belakang panggung dan lantai panggung.
Titik-titik
Konfigurasi titik-titik putih di layar yang hitam ini menampakkan kesan alam semesta. Chor Guan menjelaskan, itu merupakan upaya dirinya untuk melukiskan alam semesta dengan musik dan video. Dari titik-titik putih di layar hitam itu, Chor Guan melukis alam semesta tiada batas dengan alunan musiknya yang terkesan lembut.
Ritme kemudian semakin cepat. Konfigurasi titik-titik putih yang terus bergerak pun mulai berubah. Ada garis-garis putih yang menghubungkan titik putih satu sama lain.
Teramat banyak garis putih itu menghubungkan titik-titik putih dalam berbagai kesatuan ruang dengan konfigurasi yang terus bergerak. Pada satu kesatuan tertentu, konfigurasi titik putih yang dihubungkan dengan garis-garis putih itu seperti kristal.
Chor Guan mengesankan bahwa satu titik dengan titik lainnya di luar angkasa sana tentu memiliki hubungan satu sama lainnya. Alunan musik pun terus membimbing imajinasi kita ke ruang angkasa yang dipenuhi bendabenda angkasa tak terhingga.
Sungguh menakjubkan manakala terbayang satu titik itu adalah Bumi. Hanya di satu titik itu kita hidup. Satu titik Bumi di antara ribuan titik atau mungkin jutaan hingga tak terhingga jumlahnya di alam semesta ini. Begitu kecilnya Bumi di alam raya ini. Apalagi, manusianya. Ia teramat kecil di semesta tak berbatas ini.
Sampai di titik kesadaran itu, alunan musik terhenti. Suasana gelap gulita kembali. Kesenyapan sejenak berubah drastis. Chor Guan berubah posisi dan memainkan theremin dengan suara jauh berbeda dengan alat-alat musik lainnya. Suara theremin seperti menyeramkan.
Dari beberapa referensi yang mudah ditemui di internet, theremin memang kerap diasosiasikan sebagai alat musik yang bisa menciptakan kesan menyeramkan. Alat ini sering digunakan untuk memberi efek suara latar film yang menegangkan.
Disebutkan, tokoh fisika muda berkebangsaan Rusia bernama Lev Sergeivich Termen, yang kemudian dikenal sebagai Leon Theremin, menemukan alat ini pada Oktober 1920. Dia menyuguhkannya di dalam sebuah Konferensi Elektronik Moskwa.
Alat musik itu diperagakan di hadapan pemimpin Vladimir Lenin. Lenin terkesan dan selanjutnya mengenalkan teknologi musik elektronik Rusia itu ke dunia.
Industri film di Amerika Serikat pun kerap menggunakan theremin untuk mengisi latar suara film. Ragam musisi theremin terlahir di banyak negara. Pengembang teknologi musik elektronik pun mulai menawarkan cara mudah untuk merangkai sendiri theremin ini.
Pada permainan theremin, ada rasa kebebasan dalam menentukan struktur komposisi suaranya. Chor Guan mengakui hal itu sehingga komposisi musiknya menuntut respons pemain dengan alat musik lainnya seperti improvisasi dalam bermain jazz.
Chor Guan mulai melahirkan suara-suara asing yang sedikit menyeramkan dari theremin itu. Kedua telapak tangannya tampak bergerak-gerak di udara di atas theremin yang menyerupai kotak kayu kecil.
Gelap terang
Kedua tangan Chor Guan makin lincah bergerak. Suaranya tinggi cenderung bising, kemudian tiba-tiba berderit panjang, lalu melemah. Tiba-tiba berderit bising lagi. Suara itu pun ditingkahi cahaya gelap terang yang saling bergantian dalam waktu sangat singkat. Cahaya putih itu menyilaukan. Tiba-tiba padam. Tiba-tiba menyala lagi.
Pada bagian komposisi musik yang menegangkan, suara theremin sekilas menyiratkan imajinasi gelombang suara dari makhluk lain di antariksa sana. Cahaya lampu yang terang gelap silih berganti mencerminkan ketidakpastian dari suatu keadaan. Chor Guan berhasil menciptakan suasana mencekam.
Theremin dengan suara menyeramkan dipadu cahaya lampu terang gelap yang cepat silih berganti. Sewaktu-waktu sinar lampu putih itu seperti lampu kilat karena saking cepatnya menyala dan dipadamkan.
Situasi menegangkan itu kembali mereda setelah Foo Chie Haur mengisi dengan suara nada dari flutenya. Diiringi kemudian oleh Chai Kee Hong dengan french horn dan Angela Lou dengan biola.
Pianis Lynne Chuah tidak ketinggalan, tetapi,ia tidak memainkan dengan tuts pianonya. Ia memainkan nada dari dawai grand pianonya. Dawai-dawai itu dipukul-pukulnya. Alunan nadanya memang seperti piano, tetapi dengan suara yang lebih terasa berat.
Keempat pemusik ini merespons suara theremin yang dimainkan Chor Guan. Suara theremin yang menyiratkan situasi penuh ketidakpastian dan kacau tadi perlahan mereda. Respons pemain musik lainnya yang berimprovisasi mampu meredakannya. Hingga kemudian para pemusik lainnya itu kembali memainkan komposisi musik tertata dengan partitur, layaknya sebuah orkestra.
Cahaya lampu berubah. Muncul kemudian aliran warna-warni abstrak memenuhi ruang pentas tadi. Keindahannya mengalir seperti gelombang warna-warni yang diiringi komposisi musik makin syahdu. Komposisi musik yang dihasilkan dari perpaduan suara flute, french horn, biola, dan dawai grand piano yang dipukul-pukul.
Fantastis. Komposisi lagunya enak dinikmati. Panggung pentas pun penuh aliran warna-warni yang abstrak. Di titik itulah Chor Guan menghentikan orkestrasi Space Age: The Phantom Power.
Berikutnya, dalam suatu wawancara ia menerangkan, instrumentasi transformasi grafis di dalam pementasan itu untuk menunjukkan masih betapa besarnya ketidaktahuan manusia di luar planetnya, Bumi.
Bahkan, barangkali ketidaktahuan manusia terhadap dirinya sendiri saja pun masih terlalu besar.