Pelarangan Mantan Koruptor Menjadi Caleg Jangan Disikapi secara Ambigu
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengawas Pemilu diharapkan tidak ambigu dalam menyikapi Peraturan Komisi Pemilihan Umum yang berisi larangan bagi mantan narapidana korupsi menjadi calon anggota legislatif. Jika disikapi secara ambigu, hal ini menjadi celah bagi para bekas narapidana korupsi untuk berlindung dalam naungan lembaga tersebut.
Analis Politik Exposit Strategic, Arif Susanto, mengatakan, sejak awal Bawaslu bersikap ambigu dalam menyikapi PKPU Nomor 20 Tahun 2018 yang berisi larangan bagi bekas napi korupsi menjadi caleg.
”Pada satu sisi, mereka meminta agar parpol tidak mencalonkan mantan koruptor sebagai caleg. Pada sisi lain, mereka mengabulkan permohonan para bekas napi korupsi ini untuk menjadi caleg,” ujarnya dalam forum diskusi terkait kinerja Bawaslu di Jakarta, Minggu (2/9/2018).
Sebelumnya, Panitia Pengawas Pemilu di enam daerah mengabulkan pencalonan bekas napi korupsi menjadi caleg pada Pemilu 2019. Enam daerah tersebut adalah Aceh, Toraja Utara, Sulawesi Utara, Parepare, Bulukumba, dan Rembang. Dalam putusannya, Bawaslu merujuk pada Undang-Undang No 7/2017 tentang Pemilu yang tidak mengatur pelarangan bekas koruptor menjadi caleg.
Menurut Arif, ambiguitas yang terjadi dalam menyikapi PKPU No 20/2018 ini dimanfaatkan bagi koruptor untuk mengkhianati demokrasi dan menjadikan Bawaslu sebagai lembaga untuk melindungi hak para bekas napi korupsi untuk berpolitik.
Koordinator Komite Pemilih Indonesia, Jerry Sumampouw, menjelaskan, Bawaslu tidak bersikap konsisten karena sebelumnya lembaga ini turut menyebarkan pakta integritas yang akhirnya ditandatangani oleh para ketua umum ataupun sekretaris jenderal parpol.
”Hal ini sangat jauh dari yang kita harapkan karena ketika parpol melanggar pakta integritas, Bawaslu justru mengabulkan permohonan bekas napi korupsi ini. Sikap Bawaslu ini tidak sesuai dengan semangat untuk menciptakan pemimpin yang bebas dari korupsi,” katanya.
Mantan komisioner Bawaslu, Wahidah Suaib, menyayangkan mengapa Bawaslu tidak menarahkan agar para bekas napi korupsi ini untuk melakukan uji materi ke Mahkamah Agung. Selain itu, Wahidah mengatakan, seharusnya Bawaslu pusat memiliki ketegasan agar bisa menjadi contoh bagi Panwaslu daerah.
”Bawaslu memang memiliki wewenang melindungi hak setiap orang untuk dipilih. Namun, jika hak tersebut tidak sesuai dengan PKPU, seharusnya Bawaslu bisa menolak permohonan para bekas napi korupsi tersebut,” ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Bawaslu Abhan Misbah mengatakan, pakta integritas yang diedarkan oleh Bawaslu hanya sebatas sebagai tanggung jawab moral agar parpol bisa mencalonkan caleg yang bukan merupakan bekas napi korupsi.
”Kami sudah melakukan tindakan pencegahan agar parpol tidak mengajukan mantan narapidana korupsi. Jadi, seharusnya yang dihukum bukanlah bakal calegnya, melainkan para ketua umum parpol ataupun sekjennya,” kata Abhan di kantor Bawaslu, Jumat (31/8/2018).
Komisioner Bawaslu, Fritz Edward Siregar, menjelaskan, putusan yang dikeluarkan Bawaslu merupakan upaya untuk melindungi hak bagi masyarakat untuk dipilih. ”Wajar saja jika terjadi perbedaan pendapat antara KPU dan Bawaslu karena tugas kami berbeda. Kami juga memiliki tugas untuk melindungi setiap warga negara untuk dipilih,” ujarnya.