Tokyo
Sejak kalah dalam Perang Dunia II pada tahun 1945, Jepang hanya butuh 19 tahun untuk mengentak dunia dengan teknologi kereta cepat pertama di dunia yang diluncurkan untuk menyambut Olimpiade Tokyo 1964. Momen itu menjadi peristiwa simbolik bagi percepatan kemajuan Tokyo dan seluruh ”Negeri Sakura”.
Tokyo sebagai ibu kota Jepang merupakan etalase bagi negeri samurai tersebut. Tokyo menyimpan kombinasi sempurna tentang tradisi dan modernitas. Nilai-nilai tradisi bisa hidup berdampingan dengan kemajuan teknologi.
Di satu sisi, Tokyo sebagai pusat pemerintahan Jepang menampakkan sisi individualistis warganya yang hidup dalam ritme hidup cepat, dikejar kesibukan kerja. Selalu berjalan bergegas seolah mengejar sesuatu yang tak akan datang kembali. Namun, di sisi lain, ada keramahan yang tampak saat mereka menyambut tamu-tamu dengan membungkukkan badan.
Di sela perayaan 60 tahun kerja sama Indonesia dan Jepang, Kompas menyempatkan diri berkunjung ke sejumlah tempat di Tokyo. Persinggahan beberapa waktu di Tokyo itu semakin membuka mata, bagaimana kemajuan teknologi berdampingan dengan nilai-nilai budaya yang tak pupus.
Ikebukuro Pukul 19.00
Distrik Ikebukuro terkenal sebagai kawasan sibuk yang menawarkan aneka hiburan, juga sarana pendidikan, budaya, dan perbelanjaan. Apabila Anda berkunjung ke sana, jangan lupa untuk singgah ke Ikebukuro Nishiguci Park, taman yang berada di tengah pusat kota.
Taman tersebut selalu dikunjungi oleh banyak orang. Tak jarang sejumlah anak muda menggelar pementasan atau atraksi spontan di sana. Pengunjung juga bisa menikmati penampilan-penampilan tersebut.
Ikebukuro juga merupakan salah satu distrik yang tenar dengan aneka pusat perbelanjaan. Layanan bebas pajak hingga 8 persen yang ditawarkan membuat distrik ini banyak dikunjungi wisatawan untuk berbelanja.
Shibuya Pukul 21.00
Kendati sudah malam, Tokyo belum juga terlelap. Sisa waktu yang ada bisa digunakan untuk menjajal transportasi publik di Tokyo. Sejalan dengan kesempatan transportasi publik yang nyaman itu, kami mengunjungi Monumen Hachiko di pelataran Stasiun Shibuya.
Dengan harga tiket 200 yen atau sekitar Rp 26.000, kita bisa menaiki kereta dari Stasiun Ikebukuro ke Stasiun Shibuya. Kereta dari Ikebukuro ke Shibuya ini berangkat sesuai jadwal setiap 10 menit sekali. Jarak antardistrik sejauh 9 kilometer itu ditempuh dalam waktu 28 menit.
Setibanya di Stasiun Shibuya, Anda hanya perlu keluar ke pelataran stasiun. Di pelataran tersebut berdirilah patung perunggu berbentuk anjing. Itulah patung fenomenal Hachiko, anjing jenis Akita Inu yang kisah kesetiaannya pada pemeliharanya mendunia,
Apabila sudah berada di Shibuya, jangan sia-siakan pula kesempatan untuk melihat fenomena persimpangan jalan terpadat di dunia. Saat lampu merah dan kendaraan berhenti, ratusan orang akan menyeberang di jalur penyeberangan dari satu sisi ke sisi lain, bahkan ketika malam sudah larut.
Asakusa Pukul 09.00
Distrik Asakusa adalah salah satu bukti nyata harmoni bisa mewujud pada paduan tradisi dan modernitas. Kuil Sensoji menjadi ikon di Asakusa. Kuil tersebut dipercaya sebagai kuil agama Buddha tertua di Tokyo.
Berkat keberadaan kuil tersebut, daerah di sepanjang Teluk Tokyo yang dulunya merupakan desa perikanan perlahan tumbuh berkembang menjadi kota. Meski demikian, tradisi budaya dan religiusitas tetap
hidup di tengah kota yang telah berkembang maju.
Apabila berkunjung ke Asakusa, Anda juga bisa menikmati shoten’gai (jalan yang dipenuhi dengan pertokoan). Di situ terbuka lebar kesempatan membeli pernak-pernik oleh-oleh khas Jepang. Anda pun bisa mencicipi Ningyo-yaki, kue kacang merah khas di kota ini.
Hibiya Park Pukul 11.00
Tahun ini Kedutaan Besar Republik Indonesia memilih Hibiya Park sebagai lokasi digelarnya agenda rutin tahunan Festival Indonesia. Gelaran kali ini cukup istimewa karena dirangkai dalam perayaan 60 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Jepang.
Hibiya Park merupakan taman di pusat kota yang letaknya berdampingan langsung dengan istana kekaisaran Jepang. Suasana di taman ini cukup asri, dengan pepohonan yang rimbun. Sejumlah burung dara juga lincah terbang bebas dan hinggap di sekitar taman. Taman ini makin cantik dengan bunga tulip dan mawar yang juga tumbuh di sana.
Beberapa ikon budaya juga ada di Taman Hibiya, antara lain batu nisan Viking, patung Remus dan Romulus, serta sebuah blok Gneiss dari Antartika. Benda-benda tersebut merupakan pemberian dari negara-negara yang pernah bekerja sama dengan Jepang.
Toyota Megaweb Pukul 15.00
Mengakhiri kunjungan ke Tokyo, kami singgah ke Distrik Odaiba untuk menengok salah satu ruang pamer perusahaan otomotif Toyota. Produsen otomotif ini turut mewarnai hubungan ekonomi antara Jepang dan Indonesia. Ruang pamer berlantai dua tersebut dipenuhi puluhan mobil produksi Toyota. Lantai dua gedung Toyota Megaweb dikhususkan bagi mobil-mobil berkonsep futuristik.
Tak hanya menonton mobil-mobil itu, pengunjung juga bebas masuk, duduk di dalam mobil, dan menjajal kenyamanan interior produk-produk mobil tersebut. Pada jam-jam tertentu, pengunjung juga bisa mencicipi teknologi yang dihasilkan Toyota lewat aneka permainan digital.
Di seberang ruang pamer terdapat museum bertajuk ”History Garage” yang menyimpan mobil-mobil legendaris produksi Toyota dari tahun ke tahun. Di museum tersebut pengunjung bisa melihat tonggak pencapaian Toyota sejak awal mula berdiri hingga menjadi salah satu produsen otomotif besar dunia.