Wiro Tebar Aksi Sableng
Bagi pencinta cerita silat Indonesia, sosok Wiro Sableng tidak asing lagi. Jurus ”kunyuk melempar buah” yang jenaka tetapi jitu begitu terpatri dalam benak. Wiro kini menjumpai penggemarnya di layar lebar dan menebar aksi sablengnya ke kalangan lebih luas lewat Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.
Suara aktor Vino G Bastian, pemeran Wiro Sableng, tercekat saat mengungkapkan perasaannya seusai pemutaran film untuk pers, Senin (27/8/2018), di Jakarta. Bagi dia, berperan dalam film ini bukan semata soal teknikal, melainkan lebih pada ikatan emosional.
”Ini yang diimpikan keluarga saya, ahli waris Bastian Tito. Wiro Sableng bisa kembali dengan level sebesar ini. Semoga ayah tersenyum di sana,” tuturnya.
Sosok Wiro Sableng yang lahir dari tangan Bastian Tito (1945-2006) merupakan salah satu legenda cerita silat Indonesia. Orang pertama kali mengenalnya pada 1967 lewat novel Wiro Sableng yang berlanjut hingga 185 buku dalam rentang waktu 39 tahun. Generasi 1990-an mengenal Wiro Sableng melalui sinetron di televisi.
Generasi sekarang yang belum pernah mengenal Wiro Sableng kini bisa menikmatinya lewat adaptasi audiovisual yang menyuguhkan warna tersendiri. Film dengan genre aksi fantasi ini merupakan produksi Lifelike Pictures bekerja sama dengan 20th Century Fox.
Asal muasal
Sutradara Angga Dwimas Sasongko meramu aksi, komedi, dan drama yang bertutur tentang asal muasal Wiro Sableng. Produksi didesain sedemikian rupa sehingga menonjolkan lokalitas Indonesia dalam berbagai aspek, mulai dari laga, kostum, hingga senjata.
Kisah dan karakter di dalamnya diambil dari beberapa novel Wiro Sableng, antara lain Empat Berewok dari Goa Sanggreng,Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga, Keris Tumbal Wilayuda, Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin, Neraka Lembah Tengkorak, Maut Bernyanyi di Pajajaran, Guci Setan, Rahasia Lukisan Telanjang, dan Hari-hari Terkutuk.
Kisah Wiro Sableng dimulai ketika Desa Jatiwalu diserbu gerombolan perampok yang dipimpin Suranyali (Yayan Ruhiyan). Kedua orangtua Wira Saksana, nama kecil Wiro Sableng, tewas dalam penyerangan itu karena dendam pribadi Suranyali. Wira diselamatkan Sinto Gendeng (Ruth Marini).
Di bawah asuhan Sinto, Wiro tumbuh menjadi pemuda yang menguasai berbagai jurus dan ilmu bela diri. Dia mewarisi kapak sakti dan rajah 212 di dadanya berikut ajaran yang terkandung di dalamnya. Tugas pertama dari gurunya adalah membawa Suranyali, yang kini bernama Mahesa Birawa, kembali ke Gunung Gede. Rupanya dia dulu adalah murid Sinto yang masuk ke golongan hitam.
Dalam perjalanan, Wiro bertemu Anggini (Sherina Munaf) dan Santiko alias Bujang Gila Tapak Sakti (Fariz Alfarazi) yang kemudian menjadi sahabatnya. Wiro terseret dalam pusaran upaya perebutan kekuasaan Raja Kamandaka (Dwi Sasono) oleh Werku Alit (Lukman Sardi) dan Kalasrenggi (Teuku Rifnu Wikana) yang bersekutu dengan Mahesa Birawa.
Oleh Bidadari Angin Timur (Marsha Timothy), Wiro disebut-sebut sebagai pendekar yang bisa mencegah kekacauan itu. Wiro pun akhirnya berhadapan dengan Mahesa Birawa.
Tidak sulit mengikuti kisah dalam film Wiro Sableng. Naskah yang ditulis produser Sheila Timothy bersama Tumpal Tampubolon dan Seno Gumira Ajidarma ini mengalur dengan alur linear.
Rasa Indonesia
Film ini memberikan porsi yang cukup bagi penonton baru yang belum akrab dengan cerita silat ini untuk berkenalan dengan sosok dan karakter Wiro. Meskipun jagoan, dia digambarkan tetap manusia yang bisa kalah juga dari lawannya. Kejenakaan ikut memperkuat sisi manusiawi itu. Dialog serta aksi Wiro dan Sinto, misalnya, berseling kekonyolan membuat penonton terbahak.
”Kau mewarisi kapak maut Naga Geni dan batu hitam,” kata Sinto.
”Mana batunya?” ujar Wiro.
”Oh iya, ketinggalan. He-he-he,” jawab Sinto.
Aksi laga menjadi daging cerita Wiro Sableng. Perkelahian dan permainan senjata para tokohnya ditata dengan apik oleh Yayan, yang sudah berpengalaman menjadi aktor dan penata laga sejumlah film kelas internasional.
Setiap karakter mendapat jatah bertarung dengan ciri khas masing-masing. Gerakan silat mereka terkesan riil, cepat, tangkas, tetapi mudah diikuti. Yayan menuturkan, gerakan silat yang ditatanya sudah ada semua dalam novel Wiro Sableng. ”Jurus (yang diciptakan) banyak mengakar di buku. Silatnya juga silat Indonesia, tidak mengikuti aliran A atau B,” ujarnya.
Desainer produksi, Adrianto Sinaga, memvisualkan Nusantara abad ke-16 yang melatari kisah Wiro Sableng. Menurut dia, ketika orang melihat Wiro Sableng, mereka akan melihat Indonesia. Adrianto merancang 300 kostum dan 150 senjata yang berbasis lokalitas Indonesia untuk setiap karakter.
Kostum karakter dibuat dari material bertekstur dengan detail jahitan terlihat dan sambungan seperti tidak rapi sehingga terasa seperti buatan tangan. Kostum Bidadari Angin Timur yang dikenakan Marsha dirancang desainer Tex Saverio. Gaun panjang putih dan biru muda dengan payet seberat 10 kilogram itu terlihat berkilauan saat aksi bidadari terbang.
Mendunia
Mengenai produksi Wiro Sableng, Sheila mengungkapkan perjalanan dari tahap pengajuan kerja sama dengan 20th Century Fox hingga pascaproduksi yang berlangsung lebih dari 1,5 tahun. Pembuatan film melibatkan 977 kru dan pemain. ”Wiro Sableng ini sangat Indonesia, dari cerita dan karakternya sendiri hingga para kru, pemain, dan tahapan produksinya. Kerja sama dengan 20th Century Fox akan membawa Wiro Sableng menjadi milik dunia,” ujarnya.
Sebagai langkah pertama, Wiro Sableng ditayangkan di Singapura dan Malaysia. Penayangan di negara-negara lain masih dalam tahap negosiasi.
Menurut Sheila, properti intelektual Wiro Sableng berpotensi untuk dikembangkan menjadi jagat tersendiri. Selain film, turunannya bisa meliputi suvenir, sekuel, komik, animasi, juga gim berbasis aplikasi (mobile game). Wiro Sableng menjadi pahlawan lokal pertama di dunia dalam permainan Arena of Valor (AOV).
Kurt Reider, Executive Vice President Asia Pacific 20th Century Fox International, merasa terkesan dengan ide, cerita, dan karakter Wiro Sableng yang sangat lokal, juga kualitas produksi filmnya. Dia menyebut Wiro Sableng hampir seperti cerita pahlawan super.
”Penting bagi kami untuk melihat pasar yang sedang tumbuh dan memiliki masa depan. Setelah China, Vietnam, dan Korea Selatan, Indonesia merupakan pasar besar yang sangat menarik. Ada minat besar penonton terhadap film,” ujar Reider.