Kinerja anggota DPR kembali disorot publik ketika lembaga perwakilan rakyat ini memasuki usia yang ke-73 pada 29 Agustus lalu. Kesibukan mereka mempersiapkan diri untuk menghadapi Pemilu 2019 akan menyita kinerja legislasi mereka sehingga target kerja semakin sulit untuk direalisasikan.
Kinerja yang paling disorot di pengujung masa kerja DPR saat ini adalah fungsi legislasi. Sebanyak 56,2 persen responden menyatakan tak puas terhadap kinerja DPR dalam menjalankan fungsi legislasi. Jajak pendapat ini pun menangkap fenomena minimnya pengetahuan publik tentang undang-undang yang pernah dibuat oleh DPR bersama pemerintah. Lebih dari 70 persen responden menyatakan tak tahu UU yang dibuat selama lima tahun terakhir.
Dari 26 persen responden yang mengetahui UU yang pernah dibuat dalam lima tahun terakhir, mereka mengaku hanya tahu UU Terorisme. Boleh jadi, pengetahuan responden tersebut dipengaruhi oleh pemberitaan tentang sejumlah aksi terorisme yang melatari pembahasan UU ini. Terbukti, UU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota, UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), UU Tabungan Rakyat, serta UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan hampir tidak dikenal oleh responden.
UU yang dihasilkan dari 2015 sampai 2018 masih sangat jauh dari target Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang ditetapkan. Dari total 50 RUU di Prolegnas 2018, hanya 4 yang diselesaikan. Masih ada 46 RUU yang ditargetkan selesai hingga 2019.
Kinerja DPR tahun 2018 ternyata tidak menunjukkan perbaikan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada 2015, dari total 40 RUU yang menjadi prioritas Proglenas, hanya 3 yang disahkan. Tahun berikutnya, DPR mampu mengesahkan 10 UU dari 51 RUU yang ditargetkan. Tahun 2017, capaian kembali menurun. Dari 53 RUU yang ditargetkan, hanya 5 UU yang berhasil disahkan.
Bagi publik, tidak tercapainya target Prolegnas DPR dilatari oleh ketidakseriusan anggota Dewan dalam mengusulkan pembuatan UU ke pemerintah. Fenomena ini bisa dibaca dari minimnya anggota DPR yang berinisiatif dalam pembuatan UU. Lebih dari 60 persen responden menilai, DPR belum menggunakan hak inisiatif pembuatan UU secara optimal.
Kurang optimalnya DPR ditengarai karena sejak dari perekrutan calon anggota legislatif oleh partai politik kurang memperhatikan tingkat pendidikan, pengalaman, dan kapabilitasnya sebagai calon wakil rakyat. Akibatnya, kemampuan anggota legislatif dalam memahami substansi UU tidak optimal. Selain kurang serius, faktor kelambanan juga menjadi salah satu indikasi yang melatari minimnya realisasi Prolegnas DPR. Mayoritas responden menilai, lambannya DPR menyelesaikan tugas-tugas legislasi juga karena mereka cenderung mengulur-ulur waktu atau terkesan bertele-tele. Kinerja legislasi DPR diperparah tradisi DPR memperpanjang proses pembahasan RUU yang melebihi tenggat waktu tiga kali masa sidang.
Pembahasan akan semakin lama jika ada perdebatan sengit, bahkan berakhir deadlock atau buntu, sehingga jadwal penyelesaian UU meleset dari waktu yang direncanakan. Tarik-menarik kepentingan dalam proses legislasi terlihat sangat kental.
Motif DPR dalam mengusulkan sebuah RUU juga menjadi penyebab tidak tercapainya target Prolegnas. Mayoritas responden menyatakan, usulan RUU dari DPR selalu diwarnai oleh kepentingan partai ketimbang kepentingan rakyat. Salah satunya, revisi UU No 17/2014 tentang MD3. DPR pun sibuk mempermasalahkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No 20/2018 yang memuat larangan mantan narapidana korupsi, kekerasan seksual pada anak, dan bandar narkoba menjadi calon anggota legislatif.
Rangkaian jajak pendapat Litbang Kompas merekam citra DPR periode 2014-2019 masih rendah meski cenderung meningkat. Pengakuan citra baik DPR pada November 2015 berada pada kisaran 17,7 persen. Pada akhir Juli 2017, citra baik naik menjadi 27,1 persen. Agustus 2018, citra baik meningkat sedikit menjadi 35,7 persen.
Fokus terbelah
Sebagian besar publik menilai anggota DPR periode 2014-2019 sudah tidak fokus lagi menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat menjelang Pemilu 2019. Keinginan menjabat kembali pada periode selanjutnya membuat fokus mereka terbelah.
Setidaknya 511 dari 560 anggota DPR periode 2014-2019 akan kembali mencalonkan diri pada Pemilu Legislatif 2019. Mereka mulai siap bertarung untuk mempertahankan posisinya sebagai wakil rakyat. Selain semakin sering bertemu dengan calon pemilih, mereka juga mulai memikirkan urusan logistik untuk memenangi pertarungan pada 2019. Orientasi anggota DPR saat ini terbelah antara mempertahankan jabatan pada periode 2019-2024 dan melanjutkan pekerjaan yang masih menumpuk pada periode 2014-2019.
Selain itu, anggota DPR akan memanfaatkan waktu yang ada untuk menggenjot elektabilitas capres/cawapres yang diusung partai politiknya di daerah pemilihan masing-masing. Akibatnya, mereka pun dipastikan harus absen dari rapat-rapat yang digelar di DPR dengan berbagai alasan. Keinginan mempertahankan dukungan publik dengan mencuri start kampanye ke daerah pemilihan masing-masing makin kuat dibandingkan menyelesaikan tugas di periode saat ini.
Sikap tidak konsisten anggota DPR sudah tercium oleh sebagian besar publik. Kesibukan anggota DPR demi mencalonkan diri kembali serta upaya menaikkan elektabilitas Capres-Cawapres yang diusung dinilai publik menunjukkan sikap tidak konsisten anggota DPR dalam menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat periode 2014-2019. Aturan juga memungkinkan mereka untuk mulai berkampanye di daerah pemilihan masing-masing saat tahapan kampanye dimulai per September 2018.
Akibatnya, publik menyangsikan komitmen anggota DPR untuk menyelesaikan pekerjaan mereka sesuai target yang sudah ditetapkan. Sebaliknya, responden justru yakin kalau DPR tidak akan dapat menyelesaikan fungsi legislasi berdasarkan sisa waktu masa jabatan mereka yang semakin dekat dibanding pekerjaan mereka yang terus menumpuk. Target 50 RUU dalam Proglenas 2018 diyakini tidak akan tercapai hingga masa jabatan selesai. Upaya meluncurkan aplikasi ‘DPR Now’ yang diklaim DPR menjadi sarana bagi publik untuk mengakses seluruh kegiatan DPR akan kurang berdampak jika kinerja DPR dalam legislasi tidak membaik.
Persaingan Sengit
Undang-Undang Pemilu setidaknya memutuskan lima hal utama, yakni ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20-25 persen, ambang batas parlemen atau parliamentary threshold 4 persen, sistem pemilu terbuka, alokasi kursi 3-10 kursi per dapil, dan metode konversi suara saint lague murni.
Ambang batas pemilihan presiden membuat partai-partai harus berkoalisi. Akibatnya, kini hanya muncul dua koalisi besar pengusung dua pasang calon presiden dan calon wakil presiden untuk Pemilu 2019. Persaingan memperebutkan kursi di DPR pun menjadi kian sengit. Upaya memenangkan capres/cawapres yang diusung menjadi beban seluruh caleg yang masuk ke dalam lingkaran dua koalisi tersebut. Tak pelak, terbentuknya dua koalisi besar kian membuat pembelahan di tubuh DPR.
Publik sudah melihat arah dukungan anggota DPR kepada pasangan capres/cawapres tertentu menjelang Pilpres 2019. Posisinya yang tidak hanya anggota DPR namun juga kader partai politik, mengharuskan mereka menggenjot suara capres/cawapres yang diusung.
Saat ini, suasana persaingan menjelang Pemilu 2019 tersebut mulai terasa, tak terkecuali di kompleks parlemen. Masing-masing angota DPR disadari atau tidak, cenderung melakukan perlawanan terhadap sindiran dan ejekan yang dikeluarkan lawan politiknya demi memenangkan kursi di legislatif dan capres/cawapres yang diusung.
Dukungan anggota DPR kepada capres/cawapres dinilai sebagian besar publik berpotensi menghambat kinerja anggota DPR di sisa masa jabatannya. Akibatnya, target DPR terutama legislasi akan meleset dari sasaran hingga akhir jabatan. Jika itu yang terjadi, upaya DPR yang mengakomodasi kepentingan rakyat lewat Prolegnas, akan percuma di mata publik.