Warga Myanmar Merasa Kehilangan Dukungan dari Dunia Internasional
Oleh
Kris Razianto Mada
·3 menit baca
Bingung, tersakiti, marah adalah perasaan orang-orang Myanmar yang mengalami penghinaan terhadap negara mereka pada pekan silam. Nama Myanmar menjadi buruk dipicu Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Facebook.
Panel ahli Perserikat Bangsa-Bangsa (PBB) mengumumkan para komandan militer Myanmar diduga terlibat pemusnahan etnis terhadap Rohingya. Laporan itu juga mengecam Penasihat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi, yang sampai dua tahun lalu dianggap simbol pejuang demokrasi global, karena gagal bersuara soal Rohingya. Pukulan tidak hanya dari PBB. Facebook juga menjatuhkan sanksi terhadap Myanmar gara-gara Rohingya.
Atas nama penegakan hukum, militer menggelar operasi yang berujung 700.000 orang Rohingya harus mengungsi ke Bangladesh pada 2017. Kisah penderitaan orang Rohingya menarik simpati di banyak negara. Akan tetapi, amat sedikit orang Myanmar bersimpati pada penderitaan Rohingya.
Bahkan, sebagian orang Myanmar justru mendukung langkah militer di Negara Bagian Rakhine, tempat orang Rohingya tinggal. ”Kami senang melawan militer demi demokrasi. Akan tetapi, kami tidak mau melawan mereka soal Rakhine. Saya bersimpati kepada korban. Akan tetapi, mempertahankan negara dari terorisme tentu lebih penting,” kata Kyaw Kyaw (47), pemilik kapal di Yangon, kota mantan ibu kota Myanmar.
Ia menyetujui pernyataan resmi bawa operasi militer di Rakhine demi membasmi militan. Narasi itu didengungkan militer Myanmar selama ini.
Warga Myanmar memang tidak mengenal kemerdekaan selama lebih dari setengah abad cengkeraman militer di negara itu. Setelah cengkeram berkurang, warga masih mengandalkan media resmi pemerintah, media sosial, dan media swasta yang masih terkait dengan pemerintah sebagai sumber informasi soal Rohingya.
Di Myanmar, saat ini, ada gejala diskusi politik kembali menjadi terlarang seiring patriotisme dan salah percaya kepada militer yang masih kuat. Pada saat yang sama, ada serangan mental pada negara yang pernah merasakan dukungan global atas upaya Myanmar melawan otoritarianisme. ”Saya sedih, dunia memandang rendah orang Myanmar,” kata Than Sein (50).
Ia mengingat pada masa lalu pemeluk Islam dan Buddha saling anjangsana dan menjamu. Ia menyesal kebiasaan itu sudah lama tidak dilakukan.
Sanksi
Laporan PBB soal tuduhan genosida diikuti sanksi oleh Facebook. Perusahaan itu menutup akun pimpinan tertinggi militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing. Akun 17 komandan militer Myanmar lainnya mengalami nasib serupa. Facebook juga menutup 52 laman penggemar yang diikuti 12 juta orang.
Facebook beralasan langkah itu bertujuan mencegah kanal media sosialnya dipakai untuk memperburuk ketegangan etnis dan agama. Facebokok selama ini dihujat banyak orang karena dinilai lambat mengatasi penyebaran ujaran kebencian sepanjang masa pengungsian Rohingya ke Bangladesh. Facebook berusaha memperbaiki citra dengan berusaha mengenali unggahan provokatif atau kabar palsu.
Larangan itu lebih memicu kemarahan dibandingkan dengan kemungkinan para komandan militer akan diadili di Mahkamah Kriminal Internasional (ICJ) suatu hari nanti. Mereka mewujudkan kemarahan dengan mengganti foto profil dengan foto para jenderal. Sebagian lagi meninggalkan Facebook dan beralih ke media sosial lain.
Namun, sebagian orang berhati-hati. Mereka tidak ingin kehilangan akun Facebook. (AFP)