JAKARTA, KOMPAS – Kendati terjadi deflasi pada Agustus 2018, kenaikan harga gabah perlu diantisipasi karena berpotensi mendongkrak harga beras dan inflasi di akhir tahun. Apalagi panen mulai berkurang.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Agustus 2018 terjadi deflasi sebesar 0,05 persen. Deflasi terjadi karena harga telur ayam, bawang merah, dan tarif angkutan udara turun. Deflasi juga terjadi di perdesaan, yaitu sebesar 0,32 persen. Faktor penyebabnya adalah penurunan harga sejumlah bahan pangan.
Secara umum, inflasi tahun kalender (Januari-Agustus) 2018 sebesar 2,13 persen. Adapun inflasi tahunan 3,2 persen. “Ini berita menggembirakan karena terjadi deflasi. Namun, pemerintah tetap perlu waspada dan mengantisipasi kenaikan harga pangan, terutama beras,” kata Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (3/9/2018).
Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan atau Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Bambang Brodjonegoro, deflasi pada Agustus 2018 karena permintaan kebutuhan pokok tak terlalu banyak. "Deflasi bisa terjadi mungkin karena kebutuhan pokok tidak setinggi sebelumnya, terutama ketika masih dalam suasana puasa dan Idul Fitri," ujarnya.
Kendati demikian, menurut Bambang, deflasi pada bulan lalu tidak perlu dikhawatirkan karena permintaan konsumen masih ada. “Kalau core -nya masih positif berarti daya beli masih ada. Cuma mungkin tadi karena permintaan bahan pokok berkurang karena dampak hari raya,” ujarnya.
Harga beras
BPS mencatat, harga gabah kering panen (GKP) dan harga gabah kering giling (GKG) di tingkat petani dan penggilingan naik. GKP di tingkat petani naik 3,05 persen menjadi Rp 4.744 per kg. Adapun harga GKG di tingkat penggilingan naik 1,64 persen menjadi Rp 5.400 per kg.
Akan tetapi, kenaikan harga gabah tidak diikuti kenaikan harga beras. Harga beras medium di penggilingan turun 0,28 persen dibandingkan Juli 2018 menjadi Rp 9.172 per kg. “Namun, kenaikan harga gabah di tingkat petani itu sudah jauh lebih tinggi dibandingkan harga pembelian pemerintah (HPP). Ini patut diwaspadai karena hal itu menunjukkan panenan mulai terbatas,” kata Suhariyanto.
Ketua Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Jawa Barat Masroni mengatakan, harga GKP di tingkat petani di Jawa Barat berkisar Rp 4.500-5.500 per kg. Harga itu di atas HPP sebesar Rp 3.700 per kg.
Panen di Jawa Barat dan sejumlah lahan di perbatasan Jawa Barat-Jawa Tengah akan semakin berkurang akhir September 2018. Oleh karena itu, harga GKP di tingkat petani akan semakin tinggi dan akan mendorong kenaikan harga beras.
“Pemerintah perlu mengantisipasi hal itu agar tidak terjadi inflasi, terutama di desa. Belakangan ini ketergantungan masyarakat desa terhadap beras sangat besar. Semakin sedikit petani yang menyimpan gabah sebagai cadangan pangan selama kemarau,” kata dia.
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan, Kasan Muhri menyatakan, pemerintah fokus menjaga pasokan dan distribusi. Di sisi suplai, pihaknya memantau daerah sentra komoditas pangan. "Kami pastikan pasokan cukup tersedia beberapa bulan ke depan," ujarnya.