Korban Perdagangan Manusia Mudah Tergiur Tawaran Menarik
Oleh
Ayu Pratiwi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kejahatan perdagangan manusia dapat menimpa siapa pun, terutama pada kaum yang kurang mampu dan anak-anak muda. Konsep perdagangan manusia itu tidak sebatas pada lintas batas antarnegara, tetapi juga dalam negara.
Upaya pencegahan perlu difokuskan dalam edukasi mengenai konsep perdagangan manusia dan risikonya sehingga kaum yang rentan tidak tergiur semudah itu dengan tawaran pekerjaan menarik.
Among Pundhi Resi dari International Organization for Migration Indonesia memperkirakan, dari total lebih dari 9.000 kasus perdagangan manusia yang pihaknya tangani sejak 2009, sebanyak 35-40 persen merupakan kasus dalam negeri.
”Kasus dalam negeri itu sering kali terabaikan. Padahal, kejadian itu paling dekat dengan kita,” ucapnya dalam acara diskusi bertema perdagangan manusia yang digelar Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, Selasa (4/9/2018).
Maizidah Salas, pendiri Kampung Buruh Migran, menceritakan kisahnya ketika ia menjadi korban perdagangan manusia. Ia telah menerima berbagai penghargaan sebagai penggiat bagi para pekerja migran perempuan dan penyintas perdagangan manusia. Ia mulai bekerja di luar negeri ketika masih berusia 19 tahun di Korea Selatan dan kemudian di Taiwan.
Pada Juni 2018, ia beserta 9 penggiat lainnya menerima penghargaan antiperdagangan manusia (The 2018 Trafficking in Persons Report Hero) yang disampaikan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo dan putri Presiden AS Donald Trump, Ivanka Trump, di Washington.
”Saya lahir dari keluarga miskin dan sekolah hingga 1 SMA. Saya juga korban pemerkosaan. Karena miskin, saya dinikahkan. Saya kerja ke luar negeri karena ingin keluar dari lingkaran itu. Tetapi, saya malah menjadi korban perdagangan manusia,” ucap Salas, yang juga anggota Dewan Eksekutif Dewan Nasional Serikat Buruh Migran Indonesia.
Ia melanjutkan, calo-calo yang menawarkan kerja dengan jumlah gaji yang menarik itu mengunjungi tempat asalnya di Wonosobo, Jawa Tengah, secara door to door. ”Banyak yang tergiur dengan tawaran mereka karena mereka menawarkan pekerjaan dengan gaji yang sangat menarik,” kata Salas.
Bagi Melanie Subono, Duta Antiperdagangan Manusia bagi Pekerja Migran, edukasi mengenai konsep perdagangan manusia penting disampaikan kepada kaum yang rentan menjadi korban. ”Masih ada banyak yang belum paham tentang perdagangan manusia. Ada yang memahami konsep itu hanya sebagai penculikan. Yang perlu diedukasi adalah calon yang bisa menjadi korban human trafficking,” katanya.
Ia menekankan, perdagangan manusia tidak hanya terjadi secara lintas batas antarnegara. ”Ketika jumlah gaji, waktu kerja, ataupun tempat kerja itu tidak sesuai dengan apa yang diperjanjikan sebelumnya, itu sudah tergolong dalam human trafficking,” ujar Melanie.
Among menambahkan, edukasi itu harus mengajarkan kaum yang rentan menjadi korban itu untuk mampu mendeteksi tawaran kerja yang tidak wajar.
”Sebelum menerima pekerjaan itu, mereka harus riset terlebih dahulu mengenai perusahaan tempat kerja itu, tempatnya di mana, siapa yang tanggung jawab, pola pekerjaannya seperti apa, dan sebagainya. Mereka harus mengumpulkan informasi sebanyak mungkin,” katanya.
Tammy Kenyatta dari Kedutaan Besar AS mengatakan, penyebab perdagangan manusia di antaranya kemiskinan, instabilitas politik, permintaan buruh murah, korupsi, dan lemahnya penegakan hukum. Sejumlah sektor usaha yang paling rentan terlibat dalam tindak pidana penjualan orang (TPPO) itu adalah perikanan, agrikultur, konstruksi, pertambangan, dan pengolahan makanan.
Judha Nugraha dari Kementerian Luar Negeri menyampaikan, korban perdagangan manusia di Indonesia paling banyak berasal dari Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Madura, dan Surabaya. ”Belum semua orang tahu tentang TPPO. Ada sejumlah korban yang pada awalnya tidak mengeluh atau melakukan tindak lanjut ketika tidak menerima gaji,” ujarnya.