JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dinilai perlu mengurangi pungutan untuk mendongkrak ekspor produk kelapa sawit. Pasar China dianggap semakin terbuka sejalan dengan kemungkinan pengurangan impor kedelai China dari Amerika Serikat.
Selain China, menurut Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono, peluang ekspor juga ada di India. ”Yang penting jangan kehilangan kesempatan. China berminat biodiesel,” kata Joko di Jakarta, Senin (3/9/2018).
Menurut Joko, pungutan ekspor merupakan instrumen perdagangan. Namun, ketika ada peluang ekspor kelapa sawit yang lebih besar, pungutan perlu dikurangi untuk memacu ekspor. Apalagi Indonesia memerlukan devisa dari ekspor.
Pungutan ekspor produk kelapa sawit saat ini 50 dollar AS per ton. Dengan pengurangan pungutan, harga produk kelapa sawit Indonesia lebih murah dan menjadi daya tarik bagi pembeli dari negara pengimpor, seperti China dan India.
Peluang ekspor ke China dinilai sangat terbuka. Negara itu membutuhkannya untuk industri pakan ternak, industri makanan olahan, dan energi. Apalagi, ada kemungkinan China mengurangi impor kedelai dari Amerika Serikat sebagai dampak perang dagang.
Sesuai data Gapki, ekspor minyak kelapa sawit Indonesia mencapai 31,05 juta ton pada 2017. Dari jumlah itu, ekspor ke China mencapai 3,73 juta ton, sementara ke India 7,62 juta ton dan ke Uni Eropa 5,02 juta ton.
Pada Juli 2018, ekspor produk kelapa sawit menunjukkan tren meningkat, tercatat 3,21 juta ton atau lebih tinggi dibandingkan ekspor Juni 2018 yang tercatat 2,73 juta ton atau Mei 2018 sebanyak 2,33 juta ton.
Menurut data yang sama, impor produk minyak sawit dan turunannya oleh China dari Indonesia pada Juli 2018 naik 6 persen dibandingkan sebulan sebelumnya, yaitu dari 330.430 ton jadi 350.120 ton. Salah satu pendorong ialah adanya permintaan China terhadap produk biodiesel dari Indonesia.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan, terlepas dari ada atau tidak perang dagang, pemerintah China memang berkomitmen menambah pasokan produk minyak sawit dari Indonesia sebesar 500.000 ton.
Biodiesel
Terkait biodiesel, Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam berpendapat, sepanjang digunakan di Indonesia yang tropis, pemakaian biodiesel dinilai oke. Problemnya adalah soal konsistensi kualitas bahan bakar agar tetap sesuai standar.
Bob Azam menambahkan, pihaknya sudah melakukan serangkaian pengujian pada 2015-2016. Pengujian tersebut dilaksanakan ketika pemerintah pertama kali mencanangkan B15 (pencampuran 15 persen biodiesel pada solar) yang kemudian ditambah menjadi B20.
”Itu dilakukan di BPPT (Badan Pengkajian Penerapan Teknologi) juga di laboratorium di Jepang. Tes kami itu sudah didukung oleh asosiasi otomotif Jepang. Bahwa itu oke sepanjang digunakan di Indonesia yang wilayahnya tropis,” kata Bob di Jakarta, Senin (3/9/2018).
Selain mendukung program pemerintah, serangkaian pengujian pemakaian biodiesel ditempuh untuk menjamin kepentingan konsumen. ”Persoalan dalam penerapan B20 sekarang adalah menjaga kualitas bahan bakar yang 80 persen tersebut. Ini karena yang kami tes waktu itu adalah bahan bakar yang sesuai Standar Nasional Indonesia,” kata Bob.
Sebelumnya, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyatakan, potensi penghematan—yakni 21 juta dollar AS setiap hari atau sekitar 5,9 miliar dollar AS dalam setahun—menjadikan penerapan B20 sebagai langkah substitusi impor yang paling tepat.
Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Yohannes Nangoi mengatakan, B20 bagi pelaku industri otomotif tidak ada masalah. ”Cuma ada kuncinya. Biosolar itu campuran antara minyak kelapa sawit dan solar. Jadi solarnya harus bagus, itu yang kami minta,” kata Yohannes beberapa waktu lalu.