Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional Syafruddin A Temenggung dituntut 15 tahun penjara. Syafruddin akan mengajukan pembelaan pada 13 September.
JAKARTA, KOMPAS Jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi menjerat mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional Syafruddin A Temenggung dengan Pasal 2 Ayat (1) Undang- Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Syafruddin dinilai telah dengan sadar memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi yang menyebabkan kerugian negara.
Di dalam sidang pembacaan tuntutan yang dilakukan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (3/9/2018), Syafruddin dituntut 15 tahun penjara, denda Rp 1 miliar, dan subsider 6 bulan kurungan.
Tim jaksa pada KPK yang dipimpin Haerudin merasa tidak perlu untuk mempertimbangkan unsur-unsur dalam dakwaan alternatif, yakni Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor, karena unsur-unsur dalam dakwaan alternatif pertama telah terpenuhi.
Syafruddin didakwa terkait kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) terhadap Sjamsul Nursalim pada 2004. Sebagai Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) ketika itu, Syafruddin menghilangkan piutang Rp 4,8 triliun yang seharusnya bisa ditagihkan negara kepada Sjamsul atas pembayaran utangnya dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Selaku pemilik saham Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI), Sjamsul pernah memberikan dana untuk petambak udang senilai Rp 4,8 triliun. Utang itu seharusnya dilunasi oleh PT Dipasena Citra Darmaja (DCD) dan PT Wahyuni Mandira (WM).
Piutang kepada petambak itu kemudian dijadikan Sjamsul sebagai salah satu jaminan yang bisa ditagih negara untuk melunasi kewajiban utang BLBI. Pada kenyataannya, piutang itu tidak bisa ditagih lagi karena merupakan kredit macet.
”Sjamsul menyatakan piutang itu sebagai piutang lancar. Namun, faktanya, saat dilakukan audit oleh BPK, kredit petambak plasma digolongkan macet. Sjamsul Nursalim telah melakukan misrepresentasi sehingga diwajibkan mengganti kerugian kepada BPPN sebesar Rp 4,8 triliun. Namun, hal itu selalu ditolak oleh Sjamsul Nursalim,” kata jaksa.
Menghapuskan utang
Di sisi lain, sebagai penyelenggara negara, Syafruddin justru ingin menghapuskan kewajiban utang Sjamsul tersebut. Jaksa mengonstruksikan upaya Syafruddin itu melalui beberapa hal, antara lain dengan mengusulkan penghapusan utang Rp 2,8 triliun dari bagian kredit petambak itu kepada presiden dalam rapat terbatas kabinet, 11 Februari 2004. Namun, tidak ada putusan rapat terbatas terkait dengan usulan pengurangan itu.
Pada 12 Februari 2004, Syafruddin membuat executive summary kepada Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Dorodjatun Kuntjoro Jakti untuk menghapus tagihan Rp 2,8 triliun kepada petambak sehingga utang petambak tersisa Rp 1,1 triliun.
Pada 13 Februari 2004, Ketua KKSK Dorodjatun menyetujui hal itu sehingga BPPN praktis mengubah jumlah piutang negara kepada petambak udang yang dikelola PT DCD dan PT WM. Utang hanya tersisa Rp 1,1 triliun. Setelah itu juga dilakukan penjualan aset petambak tersebut dan hanya laku Rp 220 miliar. ” Perbuatan terdakwa itu memperkaya Sjamsul Nursalim Rp 4,5 triliun,” ujar jaksa.
Jaksa tidak sependapat dengan keterangan saksi meringankan yang diajukan oleh Syafruddin, yaitu ahli hukum administrasi negara I Gde Pantja Astawa. Pantja Astawa menerangkan, penerbitan SKL yang dilakukan oleh Syafruddin berada pada ranah administrasi atau keperdataan. Oleh karena itu, kalaupun ada kesalahan dalam penerbitan SKL itu, semestinya gugatan dilakukan secara perdata.
Atas tuntutan itu, Syafruddin akan mengajukan pembelaan. ”Kami akan menyiapkan pleidoi sendiri, dan penasihat hukum juga (membuat pleidoi),” kata Syafruddin saat ditanya oleh Ketua Majelis Hakim Yanto. Sidang pembacaan pleidoi akan digelar pada 13 September 2018.