Pelarangan Gerakan Aspirasi di Ruang Publik Harus Sesuai Hukum
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA/DHANANG DAVID ARITONANG
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tindakan aparat kepolisian dalam melarang gerakan ataupun aspirasi politik di ruang publik harus dilatarbelakangi oleh hal-hal yang bisa dibenarkan oleh hukum. Jangan sampai pelarangan tersebut kemudian tidak terukur dan dibaca oleh publik sebagai bentuk sentimen atau keberpihakan kepada kelompok tertentu.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini di Jakarta, Selasa (4/9/2018), menyampaikan, aparat kepolisian harus secara gamblang menjelaskan kepada publik terkait larangan, penyebab, ataupun dampak yang ditimbulkan dari gerakan aspirasi dukungan capres-cawapres di ruang publik.
”Pelarangan tersebut harus dikemukakan secara terbuka kepada publik. Hal ini karena di tengah kondisi masyarakat kita yang terpolarisasi sekarang ini, sentimen yang dipicu keberpihakan politik bisa berdampak pada benturan masa. Akibatnya justru bisa kontrapoduktif bagi kualitas ataupun mutu demokrasi kita,” ujar Titi.
Ia menjelaskan, gerakan aspirasi politik, seperti gerakan tagar 2019 ganti presiden ataupun tagar 2019 tetap Jokowi sampai saat ini masih bersifat abu-abu. Tidak adanya aturan yang jelas membuat publik tidak bisa mengategorikan gerakan tersebut termasuk ke dalam kampanye capres-cawapres atau bukan. Padahal, jika dilihat dari arah gerakannya, aksi ini bertujuan untuk kepentingan Pemilihan Presiden 2019.
Sebelumnya, Polri telah mengeluarkan surat perintah untuk jajaran soal pemberian izin acara gerakan dukungan calon presiden di ruang publik.
Menurut Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Setyo Wasisto, pemberian izin dilakukan karena dukungan tersebut berpotensi menimbulkan konflik horizontal di masyarakat. Hal ini juga mengacu pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Pasal 6 UU tersebut menyatakan, dalam menyampaikan pendapat di muka umum, warga negara berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati hak dan kebebasan orang lain serta menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum.
Selain itu, warga negara juga harus menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum, serta menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
Meski demikian, Setyo menampik bahwa pedoman Polri dalam menyikapi sejumlah aksi deklarasi itu diterbitkan untuk menekan kelompok tertentu. Setyo memastikan Polri dan seluruh jajarannya netral dalam mengawal pelaksanaan Pemilu 2019.
#2019 Ganti Presiden
Secara terpisah, anggota Badan Komunikasi Partai Gerindra, Andre Rosiade, mengatakan, parpol koalisi Jokowi tidak mungkin mengganti gerakan #2019GantiPresiden dengan narasi lain. ”Kami berencana membentuk #2019PrabowoPresiden, tetapi tidak bisa mengubah gerakan #2019GantiPresiden yang sudah ada,” ujarnya.
Andre menjelaskan, gerakan #2019GantiPresiden merupakan inisiasi dari sejumlah elemen masyarakat yang menginginkan adanya perubahan pimpinan negara pada 2019 nanti. Menurut Andre, parpol koalisi pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno tidak berhak melakukan intervensi terhadap gerakan yang diinisiasi masyarakat.
”Selain itu, kami sangat menyayangkan adanya persekusi terhadap Ustazah Neno Warisman di Pekanbaru dan sejumlah penolakan di Surabaya. Menurut kami, ini merupakan respons ketakutan yang berlebihan dari kubu petahana, padahal dalam sejumlah survei elektabilitas Jokowi masih di atas Prabowo,” ujar Andre.
Sebelumnya, pada Sabtu (25/08/2018), Neno Warisman sempat dihadang massa di bandara Pekanbaru, Riau. Massa tersebut tidak setuju dengan rencana Neno melakukan deklarasi 2019 Ganti Presiden. Atas alasan keamanan, Polres Pekanbaru membubarkan aksi massa dan meminta Neno kembali ke Jakarta.
Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani mengatakan, gerakan 2019 Ganti Presiden tidaklah melanggar hukum jika hanya sekadar tagar. ”Namun, jika tagar ini dioperasionalkan dalam bentuk forum yang ada konsentrasi massanya, akan berpotensi melanggar hukum. Karena dalam konsentrasi massa yang besar ini bisa muncul fitnah hingga ujaran kebencian,” ucapnya.
Arsul mengatakan, sebaiknya elite parpol juga turut bertanggung jawab dari setiap gerakan yang dilakukan relawan pendukung salah satu pasangan calon. Menurut Arsul, elite parpol memiliki tanggung jawab karena parpol merupakan pengusung pasangan calon presiden dan wakilnya.
”Kami berharap parpol tidak bersembunyi dalam tiap gerakan yang dilakukan para relawan ataupun kelompok masyarakat,” ujar Arsul.
Sebelumnya, pada Selasa (28/08/2018), Sekretaris Jenderal PKB Abdul Kadir Karding menjelaskan, Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf akan membuat tagar tandingan #2019GantiPresiden di medsos. Hingga saat ini, belum ada tagar resmi yang digunakan di kubu Jokowi-Maruf jelang Pemilu 2019.
Meski demikian, Karding belum menjelaskan secara rinci slogan apa yang akan dipakai untuk tagar tandingan #2019GantiPresiden. ”Nanti akan kami buat tagarnya, tapi tidak sekarang,” ucapnya di Posko Cemara, Jakarta.
Karding mengatakan, saat ini tim Jokowi-Ma’ruf masih belum takut kehilangan suara pemilih dari media sosial. Selain itu, Karding mengatakan belum ada survei yang menyatakan bahwa elektabilitas Jokowi-Ma’ruf menjadi turun karena ada Gerakan 2019 Ganti Presiden.
Awalnya, Gerakan 2019 Ganti Presiden ini sangat masif disuarakan di media sosial sejak April 2018. Berdasarkan hasil survei Roda Tiga Konsultan 21 April-2 Mei, dengan jumlah 1.610 koresponden dari 161 desa/kelurahan di 34 provinsi di Indonesia, mayoritas pengguna internet mendukung gerakan 2019 Ganti Presiden.
Direktur Riset Roda Tiga Konsultan Rikola Fedri mengatakan, berdasarkan hasil survei tersebut, 48,6 persen dari 37,1 persen pengguna internet setuju dengan gerakan 2019 Ganti Presiden. ”Gerakan ini paling banyak diikuti melalui media sosial Facebook, Whatsapp, dan Youtube,” katanya (Kompas, 24 Mei 2018).