JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah mesti bergerak cepat menghadapi pelemahan rupiah. Kendati faktor-faktor eksternal, langkah pemerintah yang dapat memperlambat spekulasi.
Faktor eksternal itu adalah rencana Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, menaikkan suku bunga acuan dan rencana AS. Sentimen negatif dengan krisis keuangan di Argentina dan Turki, yang dikhawatirkan pelaku merambat ke negara-negara berkembang lainnya.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terperosok bertambah dalam menjadi Rp 14.767 pada Senin (3/9/2018). Ulasan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate diberlakukan pada 20 Mei 2013, nilai tukar ini merupakan yang paling rendah.
Di pasar sendiri, data acuan Bloomberg, Senin malam, rupiah terdaftar hingga Rp 14.821 per dolar AS. Merujuk data CEIC, posisi rupiah yang terlemah sebelum ini pada 18 Juni 1998, yaitu Rp 14.900 per dolar AS.
"Deflasi 0,05 persen pada Agustus lalu bisa menjadi sentimen positif di pasar, tetapi tidak terjadi karena faktor-faktor besar," kata ekonom PT Bank Central Asia, David Sumual, kepada Kompas di Jakarta, Senin.
Langkah untuk mengatasi pelemahan rupiah dalam jangka pendek adalah mengonversi devisa hasil ekspor menjadi rupiah. Pemerintah bisa memberikan insentif bagi eksportir yang mengonversi devisanya.
Berdasarkan data Bank Indonesia, lebih dari 90 persen eksportir sudah mengeluarkan devisa. Namun, hanya 15 persen yang dikonversikan ke rupiah.
Langkah lain, saran David, yaitu mempercepat impor yang tidak diperlukan. ”Kalau terlalu lama penerapannya, importir bisa berspekulasi karena belum ada kejelasan apa pun yang akan pantas atau disubstitusi. Importir bisa membeli dollar AS untuk mengaku bahan baku sebagai stok,” ujarnya.
Kemarin, Presiden Joko Widdodo mengumpulkan sejumlah menteri dan pimpinan lembaga di Istana Kepresidenan, Jakarta. Seusai pertemuan tertutup selama satu jam, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, pemerintah menyusun strategi menghadapi ekonomi dunia, termasuk pelemahan rupiah terhadap dolar AS. ”Langkah-langkah pemerintah bersama otoritas moneter dan Otoritas Jasa Keuangan akan semakin disinergikan,” katanya.
Pemerintah, Bank Indonesia, dan OJK diharapkan dapat menyesuaikan satu hal yang sama, portofolio, nilai tukar, dan dinamika nyata seperti ekspor-impor.
Sentimen negatif
Sri Mulyani menambahkan, pemerintah fokus mengurangi sentimen negatif transaksi dan defisit perdagangan yang defisit. Pada triwulan II-2018, transaksi berjalan defisit 8 miliar dollar AS. Termasuk laporan perdagangan Januari-Juli 2018 defisit 3,09 miliar dolar AS.
"Kami bersama Mendag dan Menperin akan melihat komposisi barang yang selama ini menambah nilai tambah ke economynya tidak banyak," ujar Sri Mulyani.
Terkait dengan kondisi terkini, Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, Edward Otto Kanter mengatakan, perusahaan otomotif bergerak untuk komponen yang menggunakan bahan baku impor untuk meningkatkan produktivitas.
Sementara itu, konferensi untuk investasi bagi Indonesia oleh lembaga pemeringkat Fitch, Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan, hal itu mencerminkan keyakinan atas ekonomi Indonesia.
(HEN / NTA / CAS)