Rouhani, Erdogan, dan Putin Akan Bertemu di Teheran, Bahas Normalisasi Suriah
Oleh
KRIS RAZIANTO MADA
·3 menit baca
DAMASKUS, SENIN — Pejabat Turki, Iran, dan Rusia dijadwalkan bertemu untuk membahas pertempuran di Idlib, Suriah. Rusia dan Iran sudah memastikan posisi mereka sebagai pendukung pemerintah Suriah untuk merebut kembali Idlib dari pasukan oposisi. Sementara posisi Turki soal Idlib belum jelas.
Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif mengatakan, pertemuan akan berlangsung di Teheran, Iran, pada Jumat (7/9/2018). Pertemuan itu untuk membahas benteng pertahanan terakhir pasukan oposisi di Suriah.
”Pertemuan itu adalah kelanjutan dari rangkaian upaya politik tidak jalur tentang cara mengatasi ekstrimis dan teroris, seperti Tahrir al-Sham,” ujarnya, Senin (3/9/2018), di Damaskus, Suriah.
Ia tidak menyebut siapa yang akan hadir di pertemuan itu. Ia juga tidak memastikan apakah presiden atau pejabat senior di tiga negara itu.
Menurut versi Rusia, Presiden Iran Hassan Rouhani akan menjadi tuan rumah pertemuan yang dihadiri Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan dan Presiden Rusia Vladimir Putin. Melalui pernyataan tertulis, Senin (3/9/2018), Kremlin mengungkapkan, Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, dan Presiden Iran Hassan Rouhani akan menggelar pertemuan tripartit di Teheran, 7 September.
Dalam pertemuan itu, menurut Kremlin, ketiga pemimpin tersebut direncanakan bakal mempertimbangkan ”upaya kerja sama lebih lanjut untuk memastikan normalisasi situasi di Suriah”. Pembicaraan dalam pertemuan juga ”berusaha mempromosikan proses kesepakatan politik, termasuk menciptakan kondisi kembalinya pengungsi dan mereka yang telantar”.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Bahram Qassemi, memastikan Iran akan terus mendukung pemerintah Suriah. Dukungan itu termasuk rencana pertempuran di Idlib. ”Pemerintah Suriah berhak melawan teroris di wilayah itu. Iran, sebagai pedukung pemerintah Suriah, akan terus membantu selama diinginkan pemerintah Suriah,” katanya.
Idlib menjadi lokasi pertahanan terakhir aneka kelompok anti-pemerintah Suriah. Selain pasukan oposisi, di provinsi yang dekat dengan perbatasan Turki itu juga ada Tahrir al-Sham. Anggota kelompok itu termasuk para militan Front al-Nusra, sayap Al Qaeda di Suriah. Tahrir al-Sham diketahui sebagai kelompok milisi terkuat di Idlib.
Turki-Rusia
Rencana pertempuran di Idlib membuat Turki dalam posisi dilematis. Perang itu bisa menjadi titik balik hubungan Turki dengan kelompok oposisi yang selama beberapa tahun terakhir disokongnya.
Di sisi lain, Turki perlu mempertahankan hubungan dengan Rusia. Selama beberapa waktu terakhir, kedua negara kian erat. Hubungan dengan Rusia semakin penting bagi Turki yang kini sedang tegang dengan Amerika Serikat.
”Ada peluang Moskwa bersepakat dengan Ankara sehingga pemerintah Suriah bisa merebut kembali Idlib tanpa ada masalah baru bagi Turki,” kata analis hubungan Rusia-Turki, Kerim Has.
Moskwa memantau hubungan Turki AS. Rusia bisa saja memulai operasi penuh saat kebutuhan Turki pada Rusia meningkat. Peneliti Dewan Hubungan Luar Negeri Rusia, Timur Akhmetov, menyebut bahwa Turki dan Rusia sedang berusaha bersepakat.
Ia menduga Rusia dan Suriah akan melancarkan serangan besar-besaran terhadap bekas kelompok Front al-Nusra, khususnya kelompok militan yang menyerang pangkalan militer Rusia di Suriah.
”Rusia berusaha mendorong Turki agar oposisi (sokongan Turki) terlibat dalam serangan (terhadap al-Nusra). Sebagai imbalan, kelompok itu (oposisi yang disokong Turki) tidak akan disasar dalam serangan udara,” ujar Akhmetov.
Masalahnya, belum tentu kesepakatan Turki-Rusia akan diikuti Suriah. Ada peluang Suriah dan Iran mengabaikan kesepakatan itu. ”Rusia dan Turki akan sangat sulit mencapai kesepakatan yang bisa diterima dalam jangka panjang,” ujar Elizabeth Teoman, peneliti Turki di Institute for the Study of War.