Sumber Daya Bebas Defisit
Lagi-lagi, sektor minyak dan gas bumi dalam negeri dituding menjadi penyumbang terbesar defisit transaksi berjalan sepanjang semester I-2018. Defisit neraca minyak dan gas bumi triwulan II-2018 sebesar 2,7 miliar dollar AS dari total defisit sebesar 8 miliar dollar AS. Bisakah sumber daya energi terbarukan menjadi penyelamat dari defisit?
Sejak 2004, kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) Indonesia melebihi kemampuan produksi dalam negeri. Suka tidak suka, kekurangan itu mesti ditutup lewat impor. Dengan status net importir minyak itu, ketergantungan Indonesia pada impor kian tinggi. Tentu ini bukan kabar baik bagi negara yang disebut-sebut sebagai "Timur Tengah"-nya sumber energi terbarukan ini.
Sumber energi terbarukan, sebut saja jenisnya dari tenaga hidro, panas bumi, surya, bayu, atau bahkan bahan bakar nabati, angkanya cukup melimpah. Data pemerintah menunjukkan besaran potensinya hingga 200.000 megawatt atau lebih dari tiga kali lipat dari kapasitas terpasang daya listrik di Indonesia sekarang. Sayangnya, pemanfaatan sumber energi terbarukan baru sekitar 7.800 megawatt saja atau hanya 4 persen dari sumber daya yang ada.
Dalam bauran energi pembangkit listrik Indonesia, batubara masih berperan paling besar dengan kontribusi 58,64 persen. Disusul kemudian gas bumi 22,48 persen, energi terbarukan 12,7 persen, dan BBM 6,18 persen. Selain energi terbarukan, ketiga jenis sumber energi primer lainnya itu adalah komoditas yang harganya dinamis di pasar global. Bisa mahal, pun bisa murah.
Dengan asumsi harga yang fluktuatif, maka adakalanya ongkos pengadaan listrik (biaya pokok produksi) menjadi sangat mahal atau sebaliknya menjadi murah. Lalu, apa hubungannya defisit transaksi berjalan dengan sumber energi terbarukan? Bukankah kebutuhan BBM untuk pembangkit listrik sangat kecil dibanding untuk kebutuhan transportasi dan industri? Benar.
Kebutuhan konsumsi BBM nasional dalam setahun sebanyak 75 juta kiloliter. Sementara BBM untuk pembangkit listrik "hanya" 2,2 juta kiloliter setahun. Dengan kenyataan bahwa konsumsi BBM terbesar dipakai sektor transportasi, artinya masih ada peluang substitusi dari pemakaian BBM ke tenaga listrik. Bukankah kendaraan listrik sedang "booming" dan menjadi tren kekinian?
Sumber energi terbarukan yang sifatnya berbeda dengan komoditas lain, seperti minyak, gas, atau batubara, harganya lebih independen.
Tentu saja, biar tak seperti lingkaran setan, sumber listrik sebagai substitusi BBM untuk transportasi harus datang dari energi terbarukan, bukan energi fosil. Atau setidaknya bahan bakar gas mengingat potensi gas Indonesia masih besar dan belum perlu impor. Jadi, dengan menggeser sumber energi jenis BBM ke energi terbarukan atau gas, beban defisit transaksi berjalan pasti bisa berkurang.
Di samping itu, sumber energi terbarukan yang sifatnya berbeda dengan komoditas lain, seperti minyak, gas, atau batubara, harganya lebih independen. Naik turun harga minyak mentah atau batubara tak berpengaruh pada harga energi terbarukan. Dari sudut pandang bisnis lebih stabil.
Tapi, naga-naganya tak mudah menuju ke skenario substitusi tersebut. Dalam Kebijakan Energi Nasional, porsi energi terbarukan pada bauran energi adalah 23 persen di tahun 2025. Untuk mencapai cita-cita itu, perlu tambahan kapasitas terpasang energi terbarukan sedikitnya 2.000 megawatt per tahun dari sekarang. Sangat menantang dengan kemajuan penambahan kapasitas terpasang listrik energi terbarukan sekarang ini.
Belum pula soal kebijakan kendaraan listrik nasional yang sampai kini tak ada cetak birunya. Sekadar pengingat, program nasional pemanfaatan gas untuk transportasi juga tersendat-sendat perkembangannya. Persoalannya masih klasik: birokrasi dan ego sektoral. Persoalan lain yang tak kalah penting adalah kemauan.
Tampaknya, untuk mempercepat laju pengembangan energi terbarukan di Indonesia butuh kepemimpinan yang kuat dan konsisten. Berjilid-jilid aturan yang diundangkan menjadi tak berguna kalau tak dilaksanakan. Sampai-sampai, Wakil Presiden Jusuf Kalla saat berpidato di pembukaan Indonesia EBTKE Convention &Exhibition 2018 beberapa hari lalu di Jakarta, mengatakan, kalau target bauran energi terbarukan tak tercapai di 2025 nanti, itu sama saja melanggar aturan.