Aktivis Lingkungan Rentan Kriminalisasi, Perlu Penguatan Regulasi Perlindungan
Oleh
Videlis Jemali
·3 menit baca
PALU, KOMPAS — Ahli hingga aktivis lingkungan dinilai rentan terancam hukuman atas kesaksian mereka dalam pengusutan kasus kerusakan lingkungan atau tindak pidana lain yang terkait lingkungan. Meskipun hal itu bertentangan dengan undang-undang, kecenderungan kriminalisasi masih terjadi. Untuk itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dinilai perlu segera menerbitkan peraturan yang bisa melindungi ahli dan aktivis lingkungan.
”Kami lagi menyusun peraturan menteri sebagai panduan teknis agar pegiat atau ahli lingkungan tak dituntut, baik secara pidana maupun perdata. Pegiat atau ahli lingkungan dilindungi undang-undang dan apa yang mereka sampaikan merupakan bentuk partisipasi masyarakat atas hak lingkungan yang bersih dan sehat,” tutur Inspektur Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ilyas Asaad seusai mengadakan pertemuan dengan akademisi dan aktivis lingkungan di Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (5/9/2018).
Turut hadir dalam pertemuan tersebut Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi La Ode Syarif dan ahli lingkungan hidup Institut Pertanian Bogor, Bambang Heru Sahardjo.
Peraturan menteri itu paling lambat diterbitkan akhir tahun ini. Regulasi akan mengatur secara teknis perlindungan terhadap pegiat atau ahli lingkungan. Itu jadi pegangan bagi kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
Sebenarnya, perlindungan terhadap ahli atau pegiat lingkungan sudah diatur dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal itu menyebutkan, orang yang memperjuangkan lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana atau perdata.
Namun, faktanya berkata lain. Kasus terakhir yang menyita perhatian publik adalah gugatan terhadap ahli lingkungan hidup Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat, Basuki Wasis, yang diajukan mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam. Basuki digugat secara perdata atas kesaksiannya terkait kerugian negara dalam kasus korupsi yang menjerat Nur dari sisi kerusakan lingkungan. Gugatan tersebut saat ini bergulir di pengadilan.
Bambang menyatakan, kesaksian ahli lingkungan didasarkan pada standar ilmiah dan metode yang tegas. ”Kesaksian pun bersifat independen, tak dipengaruhi siapa pun,” katanya.
Ia mengingatkan, masalah pidana lingkungan di Indonesia makin banyak, mulai dari pertambangan, kebakaran lahan, hingga kerusakan hutan konservasi. Peran ahli atau pegiat lingkungan semakin penting.
Proses laporan
Sementara itu, La Ode mengingatkan Pemerintah Provinsi Sulteng dan kabupaten/kota se-Sulteng agar menghindari korupsi di bidang sumber daya alam. Laporan-laporan masyarakat terkait kerusakan lingkungan perlu diselesaikan.
Ia mengakui, ada sejumlah laporan pengelolaan sumber daya alam, terutama pertambangan, ke KPK. ”Laporan-laporan tersebut sedang ditelaah kebenarannya,” ujar La Ode.
Pemerintah Provinsi Sulteng mengikuti koordinasi dan supervisi pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan KPK sejak 2014. Hasilnya, hampir separuh dari 500 izin usaha pertambangan (IUP) di Kabupaten Morowali, Morowali Utara, Banggai, dan Donggala dicabut. IUP tersebut dicabut karena tumpang tindih, berada di kawasan hutan lindung, tak membayar sewa lahan dan royalti, serta usahanya tak aktif.
Dalam sejumlah kesempatan, Gubernur Sulteng Longki Djanggola menyatakan komitmennya untuk mewujudkan pertambangan yang baik dan memperhatikan lingkungan. Pencabutan IUP merupakan bentuk penegakan aturan.