JAKARTA, KOMPAS – Kebijakan pemerintah untuk mengendalikan produk tembakau dinilai lemah dan tidak konsisten. Upaya yang dilakukan belum berdampak signifikan pada penurunan prevalensi perokok di Indonesia. Untuk itu, perlu ada intervensi yang tegas, mulai dari menaikkan harga rokok agar tidak terjangkau anak-anak dan remaja, hingga menindak pelanggar yang merokok di tempat umum.
Berdasarkan riset kesehatan dasar Kementerian Kesehatan, prevalensi perokok di Indonesia terus mengalami peningkatan. Pada 1995 tercatat prevalensi perokok usia 15 tahun ke atas 27 persen. Jumlah itu naik menjadi 31,50 persen (2001), 34,20 persen (2007), dan 36,30 persen (2013). Badan Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi prevalensi perokok di Indonesia bisa mencapai 45 persen pada 2045 jika tidak ada upaya pengendalian yang tegas.
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany di Jakarta, Rabu (5/9/2018), mengatakan, lemahnya komitmen pemerintah mengendalikan konsumsi rokok di Indonesia dibuktikan dengan belum mengaksesi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC). Padahal, aksesi ini bertujuan melindungi masyarakat dari dampak buruk rokok.
“Pemerintah berkomitmen saja tidak berani. Dengan tidak mau menandatangani FCTC, berarti mereka (pemerintah) tak mau belajar tentang bahaya rokok bagi masyarakat. Dari kajian kami, rokok itu bahayanya besar dan masalah ekonomi yang ditimbulkan justru memberatkan masyarakat. Pemerintah hanya melihat kepentingan industri dan tidak meneliti kerugiannya buat masyarakat,” katanya.
Dari kajian kami, rokok itu bahayanya besar dan soal ekonomi yang ditimbulkan memberatkan masyarakat. Pemerintah hanya melihat kepentingan industri dan tak meneliti kerugian bagi masyarakat.
Hasbullah menambahkan, upaya pemerintah dalam mengendalikan rokok juga lemah. Jika pemerintah tegas, harga rokok yang beredar di masyarakat harus mencapai harga tak terjangkau anak dan remaja, yaitu antara Rp 50.000-Rp 60.000. Selain itu, tindakan tegas bagi pelanggar yang merokok di tempat umum juga harus ditegakkan.
Peringatan kesehatan
Peneliti dari Sekolah Kajian Stratejik dan Global Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PJKS-UI) Renny Nurhasana menyatakan, salah satu kebijakan pemerintah yang belum berdampak signifikan menurunkan jumlah perokok di Indonesia adalah pencantuman peringatan kesehatan bergambar.
Dari survei acak yang dilakukan ke 1.000 koresponden terkait pendapat tentang peringatan kesehatan bergambar, sebanyak 51,70 persen responden menyatakan tidak terpengaruh dengan kebijakan itu. Sementara, dari 404 responden perokok, 53,96 persen mengaku tidak terpengaruh dengan peringatan bergambar dan 30,45 persen sadar risiko merokok tetapi tetap merokok.
Peran tokoh agama
Renny mengatakan, tokoh agama berpengaruh mengendalikan konsumsi rokok di masyarakat. Dalam riset lain yang juga dilakukan PJKS-UI berjudul “Dukungan Publik Terhadap Fatwa Haram Merokok” sebanyak 51,7 persen dari 1.000 responden yang diteliti mendukung fatwa haram merokok. Bahkan, dari 40 persen responden yang merokok, ada 30,69 persen mendukung fatwa itu.
Pada Maret 2010, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah menetapkan fatwa Nomor 6/SM/MTT/III/2010 tentang hukum merokok. Fatwa tersebut menyatakan merokok adalah haram. Ada enam alasan merokok hukumnya haram, antara lain merokok mengandung unsur menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan dan merupakan perbuatan bunuh diri secara perlahan, serta pembelanjaan uang untuk rokok berarti melakukan perbuatan mubazir.
Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tahun 2018 pun menyatatakan merokok di muka umum hukumnya haram, merokok bagi wanita hukumnya haram, dan merokok bagi anak-anak hukumnya haram. Selain itu, merokok bagi pengurus MUI hukumnya juga haram.
Meski demikian, Dosen Program Studi Kajian Wilayah Timur Tengah Islam Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI Muhammad Syauqillah menilai, masih ada tokoh agama belum memahami secara utuh maksud dari fatwa haram tersebut. Sebagai panutan dan pemimpin masyarakat, ulama ataupun tokoh agama lain berperan besar memengaruhi perilaku masyarakat, termasuk dalam mengendalikan konsumsi rokok. “Butuh pemahaman dan informasi yang komprehensif tentang bahaya rokok kepada para tokoh agama,” katanya.
Terkait rokok sebagai produk halal atau haram, pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama memastikan rokok tidak termasuk pada produk yang disertifikasi halal. Hal itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 pasal 20 ayat (1) tentang Jaminan Produk Halal berbunyi, bahan yang berasal dari tumbuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b pada dasarnya halal, kecuali yang memabukkan dan/atau membahayakan kesehatan bagi orang yang mengonsumsinya.