Di era saat ini, kecakapan multiliterasi dari multiteks harus dikembangkan sehingga siswa menjadi literat dan kritis terhadap beragam informasi.
JAKARTA, KOMPAS — Gerakan Literasi Sekolah tiga tahun terakhir dinilai mulai meningkatkan minat dan kemampuan siswa dalam menyerap dan mengolah informasi. Setiap Senin-Rabu sebelum jam pelajaran pertama, siswa diwajibkan membaca buku selama 10-15 menit. Hasil bacaan dirangkum pada Kamis dan dipresentasikan di kelas pada Jumat.
Pihak sekolah pun berupaya menyediakan bahan bacaan yang menarik dan terarah untuk siswa. Di setiap kelas juga ada sudut baca atau pojok literasi. Upaya ini mendekatkan siswa pada buku bacaan sehingga siswa pun menjadi terbiasa mengisi waktu dengan membaca.
”Saat SMP saya jarang membaca. Sekarang, ketika jam istirahat atau pergantian jam pelajaran, saya sering membaca buku yang ada di kelas,” kata Farah Masyanda, siswa kelas XII SMA Negeri 65 Kebon Jeruk, Jakarta, Selasa (4/9/2018).
Hafiz Maulana (13), siswa Kelas VII SMP Negeri 58 Setiabudi, Jakarta, mengatakan, dirinya senang membaca meski keluarganya tidak gemar membaca. ”Sekolah membantu mengembangkan minat (saya) membaca dengan menyediakan buku-buku dengan tema-tema yang menarik,” katanya.
Untuk meningkatkan kemampuan literasi siswa, pihak SMPN 58 mengubah strategi literasi dengan membuat program berjenjang. Pertama, siswa dikenalkan kepada puisi, prosa, cerpen, lalu novel. Setiap hari, dipilih tema berdasarkan nama pengarang, seperti Sapardi Djoko Damono dan Seno Gumira Ajidarma.
Setelah membaca, siswa diminta menuliskan pendapat merea. ”Boleh memuji, boleh mengkritik dengan syarat menjabarkan alasannya,” kata Farkhan Sultansyah, guru Bahasa Indonesia yang juga anggota Tim Literasi SMP 58, Senin (3/9/2018).
Wakil Ketua Gerakan Literasi Sekolah (GLS) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Wien Muldian mengatakan, upaya untuk memperkuat budaya literasi siswa lewat GLS ataupun Gerakan Literasi Nasional bertujuan mengantarkan siswa mampu berpikir kritis. Salah satunya dibangun lewat kecakapan membaca kritis.
Namun, ujar Wien, untuk memperkuat kemampuan membaca secara kritis, para siswa butuh sejumlah intervensi. Para guru harus dibekali kemampuan untuk mengembangkan pembelajaran yang membangun kecakapan literasi siswa, perlu bahan bacaan berkualitas, hingga dukungan pemerintah daerah untuk terus menguatkan literasi siswa dan masyarakat.
Perjenjangan buku
Terkait bahan bacaan untuk siswa, ujar Wien, GLS bersama Pusat Kurikulum dan Perbukuan sudah menyiapkan standar perjenjangan buku nonteks pelajaran (book leveling). Perjenjangan buku sudah dikembangkan di negara maju yang tujuannya untuk memberikan arah dan rambu bagi pengguna buku dengan memilih buku yang tepat dan bernilai edukatif.
Para siswa yang punya tingkat kemampuan membaca yang beragam bisa dibantu untuk mengembangkan kecakapan membaca hingga level membaca kritis. Untuk itu, para guru tentu harus terlebih dahulu menjadi pembaca kritis.
Perjenjangan buku nonteks pelajaran untuk tujuan pendididikan dibagi dalam tujuh jenjang, yakni A (pra-membaca), B (membaca dini), C (membaca awal), D (membaca lancar), E (membaca lanjut), F (membaca mahir), dan G (membaca kritis). Aspek dasar perjenjangan buki adalah isi, bahasa, dan grafika. Jenjang buku ini bakal tertera di buku yang dapat menjadi informasi bagi pengguna untuk memilih buku bacaan yang tepat.
”Jika perjenjangan buku sudah bisa diterapkan, dapat merangsang juga kreativitas dari penulis untuk menulis karya berkualitas. Selain itu, penerbit juga bisa melihat celah buku di level mana serta genre seperti apa yang masih belum banyak diterbitkan supaya bisa tersedia,” kata Wien.
Tiga strategi
Menurut Wien, dalam mengembangkan literasi butuh tiga strategi yang saling terkait. Strategi pertama ialah mengembangkan sistem literasi dengan dukungan perpustakaan dan sudut baca. Selain itu, membangun interaksi guru-siswa dan antarsiswa sehingga terbangun proses literasi bersama serta menghasilkan karya dalam bentuk apa pun.
Pegiat Literasi Sofie Dewayani mengatakan, dalam memperkuat literasi produktif di sekolah, para guru juga perlu dibantu untuk dapat memperhatikan tahapan pengembangan kecakapan literasi siswa. Membaca aktif menjadi salah satu cara guru untuk membuat siswa memiliki kecakapan literasi produktif.
Bahkan, ujar Sofie, guru dapat memakai gaya anak milenial yang suka berkomunikasi di media sosial untuk membangun kecakapan multiliterasi dari teks multimoda. ”Kenapa tidak para siswa juga dibantu untuk dapat mengembangkan literasi produktif lewat blog, Youtube, atau Instagram. Bantu mereka untuk bisa menuangkan pikiran secara kritis dan terstruktur, tidak asal saja,” kata Sofie. (YOLA SASTRA)