Para Remaja Pengumbar Kekerasan
Perkelahian antarkelompok remaja di Ibu Kota terjadi tidak hanya di kawasan rawan. Senjata tajam dan air keras yang selalu dibawa menunjukkan bahwa para remaja ini siap berbuat jahat, mengumbar kekerasan, dan mencabut nyawa.
Kasus Ari Haryanto (15) yang meninggal akibat menerima berbagai sabetan senjata tajam serta siraman air keras, membuat perasan siapa pun yang menyimak berita ini tak karuan.
Siswa kelas X SMA Muhammadiyah 15 Slipi, Jakarta Barat kehilangan nyawa pada Sabtu (1/9/2018) dini hari di kawasan Jembatan Layang Permata Hijau, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Kawasan ini tidak dikenal publik sebagai kawasan rawan kejahatan, termasuk tawuran.
Kepala Polres Metro Jakarta Selatan Komisaris Besar Indra Jafar, Selasa (4/9/2018) menuturkan, awalnya 29 pelajar ditangkap. Dari hasil pemeriksaan, analisa dan evaluasi, selanjutnya ditetapkan 10 tersangka.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Metro Jaksel Ajun Komisaris Besar Stefanus Tamuntuan menambahkan, para pelaku dijerat Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Jika terbukti ada yang usianya di atas 18 tahun, akan dijerat dengan pasal 170 KUHP tentang Pembunuhan.
“Kami harus bertindak tegas karena tawuran pelajar sekarang ini semakin nekat dan sadis. Ini tidak bisa ditolerir,” kata Stefanus.
Sejauh ini, polisi menyatakan Ari adalah korban tawuran dua kelompok remaja. Mereka awalnya telah saling mengejek lewat media sosial sebelum akhirnya bertemu untuk "bertempur" lengkap dengan senjata tajam dan air keras yang telah disiapkan sebelumnya.
Namun, RS (16), saksi kejadian sekaligus kawan dekat korban Ari, mengaku tidak mengetahui rencana tawuran yang melibatkan siswa berbagai sekolah menengah itu.
Menurut RS, ia, korban, serta dua teman lain melewati lokasi kejadian sekitar pukul 03.30, sepulang dari daerah Blok M dengan dua sepeda motor. "Pelaku tawuran melihat stiker bertuliskan nama sekolah saya," kata RS, Selasa.
RS, Ari dan kawan-kawannya lantas dikejar. Ari yang dibonceng sempat turun dari sepeda motor. Saat akan naik lagi di boncengan, ia terjatuh dan belasan orang langsung mengeroyoknya. Menurut RS, pengeroyok adalah anak-anak seusianya. Mereka berasal dari setidaknya empat SMA negeri dan swasta di Jakarta Selatan.
Dalam kejadian itu, RS juga melihat siswa dari sekolahnya. Namun, ia tidak tahu apakah yang terlibat tawuran tergabung dalam geng tertentu.
Datang menantang
H, siswa kelas XI SMK Muhammadiyah 04, juga mengaku tidak mengetahui adanya geng tertentu yang mencari keributan. Menurut penuturannya, anak-anak yang mencari keributan tersebut kerap datang sepulang sekolah tiap Jumat. Mereka bersepeda motor dan tidak segan menunjukkan senjata tajam menantang siswa Perguruan Muhammadiyah Komplek Slipi, khususnya siswa SMA.
Sejumlah warga di sekitar Perguruan Muhammadiyah Komplek Slipi mengungkapkan hal senada. Anak-anak yang datang ke daerah berasal dari beragam sekolah, bahkan melibatkan alumni sekolah lain. Satu sekolah kejuruan asal Kebon Jeruk memang dikenal sebagai musuh mereka.
"Mereka di sini hanya ketemu, habis itu tawuran di tempat lain. Biasanya di jalan layang Kemanggisan (Jakarta Barat)," tutur pedagang di depan sekolah. Lokasi jalan layang tersebut hanya berjarak 400 meter dari sekolah yang dikelilingi rumah kantor.
Baik Hamzah maupun warga di sekitar sekolah mengatakan keributan sudah jarang terjadi, sampai pecahnya tawuran tragis Sabtu lalu.
Kepala Sekolah SMA Muhammadiyah 15 Asrunnas Imran hanya mengingat satu kejadian tawuran tragis, yang menyebabkan satu siswa SMK Muhammadiyah 04 patah kaki. Tawuran kala itu antara SMP Muhammadiyah 04 dengan satu SMK di Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Kejadian sekitar empat tahun lalu tersebut, telah diselesaikan dengan mempertemukan kedua belah pihak. Meski demikian, ia tidak menampik ada upaya penyerangan kepada siswa Perguruan Muhammadiyah.
"Ketika itu terjadi, kami langsung hubungi polisi sektor Palmerah untuk menghalau mereka," kata Imran.
Endang, pemilik rumah makan di sekitar sekolah Perguruan Muhammadiyah, mengatakan warga kerap membantu menghalau siswa yang akan tawuran.
"Jujur, saya sebagai warga khawatir. Saya sampai melarang anak saya keluar malam," kata wanita yang juga orangtua siswa kelas X di Perguruan Muhammadiyah.
Sekolah pun nampak membatasi pergerakan siswa saat jam sekolah. Pada saat jam istirahat siang, siswa tidak bisa keluar sekolah. Pasca kejadian, keamanan kawasan sekitar sekolah juga diperketat. mobil patroli polisi terlihat melalui depan sekolah di Jalan Anggrek Neli Murni sekitar pukul 14.30. Menurut penuturan beberapa warga, polisi mulai sering berpatroli dua kali sehari, yaitu di waktu pagi dan sore.
Dijemput
Sebagian besar dari 10 tersangka adalah siswa SMAN 32 Jakarta. Sampai Selasa sore, motif tawuran belum diketahui lebih lanjut. Tidak ada kecurigaan yang mengarah kepada dendam masa lalu antar sekolah. "(Karena) Tidak ada gesekan permasalahan sama sekolah lain, baik-baik saja selama ini," kata Wakil Kepala SMAN 32 Jakarta, Sujoko.
MF (18) alumni SMAN 32 Jakarta mengatakan hal serupa. Dugaan bahwa siswa SMAN 32 Jakarta masuk dalam geng yang disebut Geng Gusdont, tidak diamini oleh beberapa siswa SMA tersebut. Gusdont kependekan dari gusuran donat--donat merujuk salah satu SMP, tempat sekolah sebagian siswa yang kini diduga terlibat tawuran.
"Gusdont itu setahu saya tempat janjian pertemuan, saya tidak tahu ada geng di tempat itu," kata H, teman tersangka. "Yang main di Gusdont itu dari sekolah manapun, bukan hanya dari SMAN 32 Jakarta saja," sambung RN, siswa lainnya.
Jumat (31/8/2018) malam atau sehari sebelum kejadian sejumlah siswa SMAN 32 terlihat berkumpul di salah satu warung kopi tak jauh dari sekolah. Salah satu pedagang di sekitar sekolah, Anan (56) bercerita Jumat sekitar pukul 22.00 ia menegur para siswa. "Saya suruh pulang, takut dicari orang tuanya," ucapnya.
Setelah dibubarkan Anan, para remaja pergi berboncengan mengendarai sepeda motor. Mayoritas siswa di SMAN 32 Jakarta berasal dari wilayah Tangerang Selatan, Jakarta Selatan dan Jakarta Barat. Rata-rata mereka mengendarai sepeda motor atau angkutan transportasi umum ke sekolah.
Sujoko menghimpun keterangan dari orang tua tersangka. "Jumat itu, rata-rata mereka dijemput di rumah pada sekitar pukul 22.00, ada yang pukul 23.00 dan ada pula yang pukul 01.00," jelasnya.
Orang tua tersangka tidak tahu ke mana anak mereka malam itu. Mereka tak menyangka kekerasan bakal diumbar. Kini, perlu disadari tawuran tidak akan selesai hanya dengan ditangkapnya tersangka. Mencari akar masalah dan jalan keluarnya bersama-sama sebaiknya mulai dilakukan oleh semua pihak terkait.
(Erika Kurnia/Kristi Dwi Utami)