Penyandang Disabilitas Perlu Dilibatkan dalam Pembangunan Tata Kota
Oleh
ADHI KUSUMAPUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Ketersediaan fasilitas dan kemudahan aksesibilitas bagi para penyandang disabilitas patut diupayakan dalam pembangunan tata kota. Tak hanya pembenahan akses, perencanaan pembangunan juga perlu melibatkan kelompok disabilitas.
Pengalaman dalam menggunakan transportasi publik diungkapkan oleh Yuda (33) salah seorang penyandang disabilitas, Selasa (4/9/2018) malam. Sejak usia 6 tahun, dia harus menggunakan kursi roda karena tumor yang menggerogoti tulang punggungnya.
Menurutnya, selain pembenahan akses, keterlibatan penyandang disabilitas dalam perencanaan pembangunan perlu diupayakan. "Seharusnya saat ada pembangunan, seperti Jembatan Penyeberangan Orang (JPO), trotoar, atau halte Transjakarta, orang-orang seperti kami juga dilibatkan. Supaya tahu lho, ada orang-orang seperti kami yang butuh fasilitas khusus," ujarnya.
Sementara, berdasarkan pantauan di lokasi JPO Matraman, Jakarta Timur, fasilitas tersebut masih berupa anak tangga. Ketiadaan jalur landai menjadi kendala mobilitas pengguna kursi roda.
Yuda mengatakan, pernah dibantu oleh tiga orang untuk membantunya naik ke JPO. "Padahal saya ingin mandiri, tetapi karena tidak ada akses, ada orang yang mau bantu. Terkadang, saya juga tidak sungkan untuk minta tolong," kata Yuda.
Pengalaman serupa juga disampaikan oleh Baharudin (36) pengguna kursi roda. Menurutnya, selain akses yang sulit, lebar dari palang pintu transportasi, seperti Transjakarta dan Commuter Line, tidak muat untuk akses kursi roda.
"Pernah waktu tahun 2008, saya sampai diangkat oleh sebelas orang supaya bisa lewat di palang pintu Transjakarta. Waktu itu masih pakai karcis," kenang Baharudin. Selain itu, jarak antara halte dengan pintu bus juga terlalu jauh, sehingga dia membutuhkan bantuan petugas untuk masuk ke dalam bus.
Baik Yuda dan Baharudin berharap, agar penyandang disabilitas dapat terlibat aktif dalam perencanaan tata kota. "Supaya kebutuhan kami dapat terfasilitasi. Kan percuma kalau bangunannya sudah jadi baru kami protes," ujar Yuda.
Diatur Undang-Undang
Konsultan Gerakan Aksesibilitas Umum Nasional (GAUN) David Tjahjana, Selasa, mengatakan, Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas, mengatur hak hidup secara mandiri dan keterlibatan penyandang disabilitas dalam perencanaan pembangunan.
Dalam pasal 23 UU tersebut, terdapat enam poin yang mengatur hak penyandang disabilitas. Pada poin ke-5 dan 6 menyebutkan, penyandang disabilitas memiliki hak untuk mendapatkan akses ke berbagai pelayanan, baik dalam rumah, permukiman, maupun dalam masyarakat. Penyandang disabilitas juga mendapatkan akomodasi yang wajar untuk berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat.
Sementara itu, pasal 27 ayat 1 mengatakan, pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan perencanaan, penyelenggaraan, dan evaluasi tentang pelaksanaan penghormatan, perlindungan, dan pemenuham hak penyandang disabilitas.
Di sisi lain David mengatakan, interaksi dari penyandang disabilitas juga dibutuhkan. Hal ini berfungsi untuk mendefinisikan kebutuhan-kebutuhan para penyandang disabilitas. "Penyandang disabilitas harus aktif, sehingga kebutuhan bersama teman disabilitas dapat terdefinisi secara umum," katanya.
Berdasarkan laporan Inklusi Penyandang Disabilitas di Indonesia (2013) yang diterbitkan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO), jumlah penyandang disabilitas di Indonesia 11.580.117 orang. Di antaranya 3.474.035 tunanetra, 3.010.830 penyandang disabilitas fisik, 2.547.626 tunarungu, 1.389.614 penyandang disabilitas mental, dan 1.158.012 penyandang disabilitas kronis.
Oleh sebab itu, fasilitas umum yang ramah bagi penyandang disabilitas menjadi faktor penting dalam menciptakan keamanan, kemudahan, kesetaraan, dan kemandirian, bagi penyandang disabilitas. (DIONISIO DAMARA)