MOSKOW, KOMPAS - Studi pemanfaatan nuklir sebagai sumber energi pembangkit listrik perlu disiapkan. Indonesia tidak bisa terus mengandalkan batubara sebagai sumber energi primer pembangkit listrik karena sifatnya yang tak terbarukan. Di satu sisi, pemanfaatan energi terbarukan juga harus terus didorong.
Direktur Bisnis Regional Jawa Bagian Timur, Bali, dan Nusa Tenggara PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Djoko Rahardjo Abumanan, mengatakan, nuklir bisa menjadi pilihan sebagai sumber energi pembangkit listrik di Indonesia. Hal itu sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional kendati pemanfaatan nuklir disebut sebagai alternatif terakhir. Hanya saja, studi lebih komprehensif pemanfaatan nuklir sebagai sumber energi pembangkit listrik belum dilakukan.
"Setidaknya, perlu ada persiapan untuk menuju ke tahap studi agar Indonesia tidak gagap ketika harus memilih nuklir sebagai sumber energi pembangkit. Apalagi, tak selamanya batubara di Indonesia tersedia karena suatu saat cadangannya pasti habis," kata Djoko dalam kunjungan kerja di Moskow, Rusia, Selasa (4/8/2018).
Selain dihadiri sejumlah direksi PLN, kunjungan kerja tersebut turut diikuti oleh akademisi sejumlah universitas di Indonesia, serta pemerhati masalah ketenagalistrikan. Salah satu tujuan kunjungan adalah ke pembangkit listrik tenaga nuklir yang dioperasikan Rosatom.
Rosatom adalah perusahaan pengembang pembangkit listrik terbesar di Rusia. Sepanjang 2017, perusahaan ini telah memproduksi listrik sebanyak 202.868 miliar kilowatt jam (kWh). Perusahaan ini juga mengembangkan 35 pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) yang beroperasi di 11 negara.
Intinya, jangan sampai Indonesia tertinggal dalam hal pemanfaatan nuklir sebagai tenaga pembangkit listrik.
Pengembangan PLTN di Indonesia, menurut Djoko, masih menghadapi persoalan besar, yaitu persepsi masyarakat tentang nuklir. Butuh dukungan banyak pihak, terutama soal kebijakan politik, untuk benar-benar mengembangkan nuklir sebagai sumber energi pembangkit listrik di Indonesia. Begitu pula dalam hal kesiapan sumber daya manusianya.
"Intinya, jangan sampai Indonesia tertinggal dalam hal pemanfaatan nuklir sebagai tenaga pembangkit listrik. Kita tak boleh gagap ketika pemanfaatan nuklir benar-benar dibutuhkan," ucap Djoko.
Rektor Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Panut Mulyono mengatakan, tidak ada salahnya Indonesia mulai melirik pengembangan tenaga nuklir untuk pembangkit listrik. Apalagi, negara lain sudah mulai mengembangkan nuklir untuk pembangkit listrik. Upaya menaikkan rasio elektrifikasi di Indonesia dibutuhkan untuk merangsang pertumbuhan industri, serta industri hilir komponen kelistrikan itu sendiri.
Sementara itu, Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengingatkan agar energi terbarukan di Indonesia harus terus dikembangkan. Apalagi, seiring kian pesatnya perkembangan teknologi, harga listrik dari energi terbarukan sudah mampu bersaing dengan harga dari energi fosil, seperti batubara. Amanat target energi terbarukan sebesar 23 persen dalam bauran energi nasional di 2025 juga harus dilaksanakan.
Tekanan rupiah
Terkait pelemahan rupiah terhadap dollar AS, Direktur Bisnis Regional Jawa Bagian Tengah PLN Amir Rosidin mengatakan, PLN telah mencatat kerugian sekitar Rp 5 triliun sepanjang semester I-2018. Selain itu, pelemahan rupiah menyebabkan timbulnya selisih hingga Rp 11,4 triliun untuk operasi maupun pembayaran utang PLN. Namun demikian, kinerja keuangan PLN mulai positif untuk bulan Juli 2018 kendati nilainya masih di bawah Rp 1 triliun.
"Pelemahan rupiah memang sempat membuat kami was-was. Strategi antisipasinya salah satunya adalah efisiensi dalam hal pengadaan. Sebagai contoh, pembelian komponen dilakukan secara langsung, tidak lagi melalui perantara," kata Amir.
Strategi lain untuk menaikkan efisiensi PLN adalah renegosiasi harga kontrak gas, pengembangan PLTU mulut tambang, dan pengambilalihan konsesi tambang batubara.