Terbelenggu Skandal Tugu

Fungsi legislasi Kota Malang lumpuh. Sebanyak 41 dari 45 orang wakil rakyat periode 2014-2019 di Kota Malang ditangkap KPK. Tuduhannya adalah suap dengan nilai yang tak lebih dari Rp 12 juta per orang.

Kasus itu membuat wakil rakyat Kota Malang hanya tersisa lima  orang (empat orang plus seorang pengganti anggota dewan yang maju pilkada beberapa waktu sebelumnya). Lalu, dengan hanya lima orang tersisa, bagaimana nasib Kota Malang ke depan? Kekhawatiran itulah yang membuat semua mata seperti tertuju ke Kota Malang.

Kota Malang menjadi beacon atau suar. Sayangnya, kali ini bukan karena prestasi, melainkan karena skandal korupsi (Skandal Tugu). Apa sebenarnya Skandal Tugu itu?

Skandal Tugu merujuk pada kasus suap berjamaah di antara pejabat Pemerintahan Kota Malang (eksekutif) dengan wakil rakyat di gedung DPRD Kota Malang (legislatif). Kedua gedung tersebut berdiri bersebelahan, tepatnya di Jalan Tugu (depan Alun-Alun Bundaran Tugu).

Kompas

Kampanye Tolak Gratifikasi -Banner kampanye tolak gratifikasi terpasang di salah satu sudut di dekat lift gedung DPRD Kota Malang. Sangat ironis jika kemudian 41 dari 45 anggota dewan tersebut saat in iditahan KPK atas kasus suap. Tampak suasanya gedung dewan pada Selasa (4/9/2018).

Untuk memuluskan pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) tahun 2015, DPRD Kota Malang meminta uang ‘pokok pikiran’ atau disingkat pokir pada Pemkot Malang. Oleh karena terkait beberapa proyek, maka di sini pihak swasta (kontraktor) pun terlibat.

Ditengarai, Wali Kota Malang dan kawan-kawannya (termasuk kontraktor) memberikan uang Rp 700 juta kepada ketua DPRD Kota Malang untuk memuluskan pembahasan APBD-P tahun 2015. Uang tersebut kemudian dibagi-bagi kepada anggota dewan lainnya. Setelah dibagi-bagi, nilai suap untuk masing-masing dewan hitungannya tidak banyak, yaitu hanya Rp 12,5 juta-Rp 15 juta per orang.

Kasus dugaan suap dan gratifikasi di lingkungan Pemkot Malang dan DPRD Kota Malang mencuat saat tim KPK datang ke Kota Malang pada Agustus 2017. Mereka datang untuk menggeledah kantor dan mencari barang bukti di lingkup Pemkot Malang dan DPRD Kota Malang.

Tidak lama, KPK mulai menggulung satu-persatu para pelaku suap secara bergelombang. Gelombang pertama, pada akhir 2017, KPK menetapkan tiga orang tersangka (sekaligus menahan). Yaitu, Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Pengawasan Bangunan (DPUPPB) Jarot Edy Sulistyono, Ketua DPRD Kota Malang M Arief Wicaksono, dan pihak kontraktor Hendrawan Maruszaman. Ketiganya saat ini menjalani vonis selama 3-5 tahun penjara.

Gelombang kedua, pada Maret 2018, KPK menetapkan Wali Kota Malang Mochamad Anton dan 18 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang periode 2014-2019 menjadi tersangka. Wali kota dan 18 anggota dewan pun ditahan saat itu. Wali Kota Malang Mochamad Anton saat ini sedang menjalani vonis 2 tahun 8 bulan atas kasus tersebut.

Kini, September 2018, KPK kembali menetapkan 22 anggota dewan lainnya sebagai tersangka. Tersisa, hanya 5 anggota dewan.

KOMPAS/DAHLIA IRAWATI

Suasana Terkini - Suasana terkini di GEdung DPRD Kota Malang, Jawa Timur, Selasa (4/9/2018). Di salah satu gedung itu terdapat banner kampanye tolak gratifikasi terpasang. Sangat ironis jika kemudian 41 dari 45 anggota dewan tersebut saat ini ditahan KPK atas kasus suap.

Bagaimana Terjadi

Niat dan  kesempatan, dua hal itu bisa jadi menjadi penyebabnya. Niat di sini artinya berasal dari dalam diri pelaku (faktor internal). Hal ini tentu terkait dengan integritas personal. Apakah dia menghayati perannya sebagai wakil rakyat, di mana tugas utamanya melayani rakyat, atau dia justru ingin memanfaatkan posisinya untuk mencari untung atas nama rakyat.

Dan pada negara demokrasi tidak langsung ini, peran untuk mengasah integritas wakil rakyat menjadi tugas parpol. Hal itu sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik (diubah menjadi UU Nomor 2 tahun 2011). Di mana, tugas, fungsi, dan kewajiban parpol adalah mengembangkan kehidupan berdemokrasi, mengembangkan etika dan budaya politik, dan memberikan pendidikan politik pada masyarakat luas.

Jika kemudian anggotanya memberikan contoh buruk pendidikan politik, maka siapa bisa disalahkan? Tentu saja semua mata akan mengarah pada parpol. Sebab, di sanalah asal muasal wakil rakyat. Bolehlah partai berkelit dengan mengatakan itu semua tergantung manusianya. Namun apa salahnya menengok model kaderisasi anggota di dalam tubuh partai? Efektifkah pendidikan politik dan penanaman integritas oleh parpol? Berapa kali pendidikan politik dilakukan? Apakah ada pendampingan dan kontrol?

Jangan-jangan semua tugas itu tertutupi semangat mengembalikan marwah dewan lewat UU MD3 atau menyoroti PKPU 20 tahun 2018 yang menolak koruptor nyaleg. Akan lebih baik untuk jaga integritas kader partai masing-masing, agar layak dihormati dan dijadikan panutan.

Kompas

Berkas PAW - Selasa (4/9/2018) Ketua DPC PDI-P Kota Malang I Made Rian menyerahka nberkas PAW untuk empat anggotanya yan gditahan terlebih dahulu oleh KPK atas kasus suap pembahasan APBD-P Tahun 2015.

Adapun untuk penyebab eksternal, bisa jadi salah satunya karena budaya korupsi dan suap sudah dianggap banal (biasa). Saat sanksi untuk koruptor tidak sepadan, hukum dan segala tatanan bisa dibeli dengan uang, maka budaya korupsi seperti disemai. Masyarakat biasa, wakil rakyat, dan kepala daerah, lalu menganggap suap dan korupsi adalah hal biasa.

Lihat saja. Dari 41 anggota dewan Kota Malang terlibat suap saat ini, tidak melulu karena kepentingan ekonomi. Tidak jarang diantaranya adalah orang-orang berada, hidup di Jalan Ijen (jalan termewah Kota Malang) atau di perumahan elit kawasan Jalan Soekarno Hatta, pengusaha kaya raya, bahkan dosen.

Mereka korupsi bukan karena butuh. Namun mereka menerima uang karena menganggap suap dan korupsi adalah hal banal.

Dampak

Kalau sudah begitu, apa dampaknya? Untuk Kota Malang sendiri, dengan tersisa lima orang anggota dewan, roda pemerintahan di Kota Malang terancam lumpuh. Sebab, DPRD Kota Malang tidak bisa menjalankan tiga fungsinya yaitu fungsi penganggaran, legislasi, dan pengawasan.

Lalu solusinya bagaimana? Oleh karena parpol adalah rumah para anggota dewan terhormat itu, maka parpol tidak bisa lepas tanggung jawab. Kasus hukum mungkin harus dihadapi oleh perseorangan anggota dewan. Namun, kritik tajam keberhasilan pendidikan parpol patut dipertanyakan.

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya Malang Muchamad Ali Safa’at mengatakan, untuk mencegah berhentinya roda pemerintahan Kota Malang, solusi paling tepat adalah mendorong partai-partai politik untuk segera melakukan pergantian antarwaktu (PAW). Reaksi cepat parpol untuk segera mengganti anggotanya, menurut Ali akan memberikan citra baik pada parpol. Tindakan itu menunjukkan, bahwa parpol tersebut antikorupsi dan taat pada aturan hukum. Semakin cepat parpol mengganti anggota yang bermasalah, maka rakyat akan menangkap niat baik parpol tersebut untuk mengedepankan kepentingan rakyat di atas kepentingan golongan.

Pilihan ini jauh lebih masuk akal ketimbang hanya menanti diskresi Menteri Dalam Negeri.  Menurut Ali, diskresi menteri sifatnya terbatas, khusus terkait mekanisme pembentukan perda APBD. Sedangkan, fungsi APBD tidak hanya itu (fungsi APBD ada tiga yaitu penganggaran, legislasi, dan pengawasan). Ada pembahasan perda lain (terutama perda inisiatif dewan) yang akan tidak berjalan, serta akan berhentinya fungsi pengawasan kepala daerah.

Hikmah

Namun dari korupsi massal Skandal Tugu ini, sebenarnya bisa dilihat dari perspektif berbeda. Jika menganut filosofi gelas setengah penuh dan setengah kosong, maka situasi DPRD Kota Malang sekarang bisa dilihat sebagai peluang besar mengisi kursi dewan. Mengisinya dengan darah-darah muda, baru, dan lebih berintegritas. Jadikan Skandal Tugu sebagai momentum kebangkitan politik Kota Malang.

Seperti halnya pelukan Jokowi-Prabowo dan pesilat Hanifan pada Asian Games 2018 lalu, di mana menjadi momentum menurunkan tensi seteru dua kubu. Momentum yang diharapkan menjadi awal baru kebangkitan prestasi bangsa di berbagai bidang (bukan hanya olahraga).

Kenapa tidak kita jadikan Skandal Tugu hal yang sama? Menjadi momentum pangkas generasi korup, dan menggantinya dengan orang-orang berkualitas dan lebih berintegritas. Menuju Kota Malang lebih gemilang. Sekaranglah saatnya! (Dahlia Irawati)