JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia mengklaim dampak pelemahan nilai tukar rupiah terhadap inflasi masih terbatas. Depresiasi rupiah dinilai masih relatif rendah sehingga tekanan permintaan belum cukup kuat.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS sejak awal tahun sekitar 7 persen. Pada 2015, rupiah terdepresiasi 20 persen dan pada 2013 mencapai 25 persen. Depresiasi yang relatif masih rendah tahun ini menyebabkan tekanan permintaan belum cukup kuat.
”Pengusaha memilih menurunkan margin keuntungan sehingga dampak pelemahan nilai tukar belum terlihat,” kata Perry dalam paparan rapat kerja bersama Komisi XI DPR bertema perkembangan ekonomi terkini, inflasi, dan nilai tukar, serta respons kebijakan, Rabu (5/9/2018), di Jakarta.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Agustus 2018 terjadi deflasi 0,05 persen. Deflasi juga terjadi di perdesaan, sebesar 0,32 persen, yang disebabkan penurunan harga sejumlah bahan pangan.
Secara umum, inflasi tahun kalender (Januari-Agustus) 2018 sebesar 2,13 persen. Adapun inflasi tahunan 3,2 persen. Menurut Perry, pengendalian inflasi dipengaruhi sejumlah faktor, antara lain ekspektasi di tingkat produsen dan konsumen. Peningkatan permintaan masih bisa diimbangi produksi nasional yang tinggi.
”Kesenjangan output negatif sehingga kenaikan permintaan belum menimbulkan tekanan inflasi dari sisi permintaan,” kata Perry.
Kendati inflasi masih terjaga, Bank Indonesia terus mencermati bila ada tanda-tanda kenaikan inflasi. Langkah lanjutan akan dipersiapkan berupa penguatan Tim Pengendali Inflasi di tingkat pusat dan daerah. Sejauh ini inflasi yang relatif tinggi di Papua 5,2 persen dan Papua Barat 4,6 persen.
Perry mengatakan, strategi pengendalian inflasi di tengah pelemahan nilai tukar rupiah dan peningkatan ketidakpastian sudah disiapkan. Fokus strategi meliputi keterjangkauan harga, ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi, dan komunikasi efektif. Harga pangan dijaga di kisaran 4,5 persen sesuai arahan presiden.
Sejauh ini, pelemahan rupiah didominasi tekanan eksternal, antara lain pertumbuhan ekonomi AS yang kuat, kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS, peningkatan defisit fiskal AS, serta ketegangan perdagangan antara AS dan negara mitranya. Sementara fundamen ekonomi nasional relatif cukup baik.
Semakin dalam
Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terperosok semakin dalam menjadi Rp 14.927 pada Rabu sore. Sejak kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate diberlakukan pada 20 Mei 2013, nilai tukar ini merupakan yang paling rendah.
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pemerintah sudah menyusun langkah antisipasi depresiasi rupiah. Namun, harus diakui langkah yang sudah disiapkan itu sulit mengimbangi dinamika pergerakan ekonomi global. Akibatnya, nilai tukar rupiah terperosok makin dalam dalam seminggu terakhir.
Defisit neraca perdagangan jadi sentimen negatif yang memperlemah rupiah. Setidaknya ada lima strategi andalan pemerintah untuk memperbaiki neraca perdagangan, yakni penggunaan biodiesel 20 persen sebagai substitusi impor, kenaikan PPh 22 impor barang konsumsi, peningkatan penggunaan komponen lokal (tingkat komponen dalam negeri/TKDN), kepastian dan kemudahan layanan e-dagang, dan asesmen impor barang konsumsi melalui Dirjen Bea Cukai.
”Keseluruhan langkah itu harus dilihat secara holistik, dampaknya terhadap perbaikan neraca perdagangan,” kata Darmin.