Diplomasi Kultural Jadi Alternatif Ringankan Hukuman
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
MAJALENGKA, KOMPAS - Ancaman hukuman mati masih terus dialami oleh pekerja migran Indonesia di luar negeri. Upaya diplomasi pemerintah seringkali kurang membuahkan hasil. Upaya diplomasi kultural bisa menjadi alternatif untuk meringankan hukuman pekerja.
Mengutip data Kementerian Luar Negeri per Agustus 2018, Ketua Pusat Studi Migrant Care Anis Hidayah, di sela-sela kunjungan ke keluarga pekerja migran, Rabu (5/9/2018), di Jakarta, menyebutkan, sekitar 185 orang pekerja migran Indonesia terancam hukuman mati di negara penempatan. Jumlah tersebut menyebar di Malaysia (130 orang), Arab Saudi (25 orang), China (20 orang), Singapura (3 orang), dan Laos (2 orang).
Dia memerinci lima besar alasan para pekerja migran Indonesia tersebut terancam hukuman mati, yakni terlibat jaringan narkoba, pembunuhan, tuduhan sihir, dan zina.
Mayoritas kasus ancaman hukuman mati di Malaysia, China, Singapura, dan Laos adalah pekerja migran Indonesia terjerat jebakan jaringan narkoba. Sementara di Arab Saudi, kasus menyangkut tuduhan zina. Sebagai contoh, pekerja migran Indonesia perempuan diperkosa oleh majikan laki-laki, lalu diketahui oleh majikan perempuan dan pekerja itu dibawa ke pengadilan dengan tuduhan zina.
Menurut Anis, pemerintah Indonesia selalu mengupayakan diplomasi untuk meringankan dan melepaskan pekerja migran Indonesia tersebut dari ancaman hukuman mati. Hanya saja, hasil diplomasi setiap negara berbeda.
Untuk korban di Malaysia, misalnya. Meski secara kuantitatif besar, dia memandang upaya diplomasi, baik jalur pemerintah ke pemerintah maupun pendekatan kultural, berjalan relatif mudah. Apalagi pemerintah Malaysia pun pernah melakukan moratorium hukuman mati.
Situasinya sangat berbeda dengan kasus Arab Saudi. Seluruh upaya diplomasi pemerintah Indonesia terkendala sistem peradilan hukum di Arab Saudi. Jadi tidaknya pelaksanaan hukuman mati tergantung keputusan ahli waris apakah bersedia atau tidak memaafkan terpidana. Raja Arab Saudi tidak bisa mengampuni.
"Sepanjang sepuluh tahun terakhir sudah ada enam orang pekerja migran Indonesia yang dihukum mati di Arab Saudi," kata Anis.
Oleh karenanya, dia berpendapat, diplomasi orang ke orang (diplomasi kultural) seharusnya bisa dipakai untuk meringankan pekerja migran Indonesia terpidana di Arab Saudi. Bentuk nyata diplomasi kultural, misalnya melalui media dan ulama.
Berdampak
Kemarin, Anis bersama tim Migrant Care berkunjung ke keluarga Tuti Tursilawati (32), pekerja migran asal Majalengka (Jawa Barat) yang pada tahun 2010 divonis hukuman pancung oleh pengadilan Arab Saudi. Dia didakwa melakukan pembunuhan terhadap majikan yang sebelumnya berusaha memperkosanya.
Keluarga Tuti tinggal di Desa Cikeusik, Kabupaten Majalengka. Untuk menuju ke desa ini harus menempuh perjalanan sekitar satu jam lebih dari pusat Cirebon. Perjalanan melewati salah satu kawasan industri kecil menengah yang memproduksi genteng.
Kunjungan berlangsung satu jam. Ibu Tuti, Iti Sarniti menerima tim di ruang tamu yang salah satu dindingnya terdapat foto Iti dan Tuti berpakaian hijab warna hitam. Keduanya berpelukan. Foto diambil saat Iti mengunjungi Tuti di penjara di Arab Saudi.
Iti mengaku sudah tiga kali pergi mengunjungi Tuti di penjara. Kunjungan tersebut difasilitasi oleh Kementerian Luar Negeri. Dia menuturkan ada perubahan sikap dari aparat hukum Arab Saudi saat dia berkunjung.
"Awalnya, saya hanya dikasih waktu 5-10 menit. Terakhir saya berkunjung bulan puasa 2018, saya diberi waktu satu jam. Saya merasa masih ada harapan Tuti bisa bebas," kata Iti.
Dalam penantian delapan tahun, dia menceritakan sering menerima komentar miring dari tetangga-tetangganya. Tak hanya itu, dia juga kerap memperoleh informasi salah tentang kabar anaknya. Misalnya, Tuti dikabarkan telah menjalani hukuman mati.
Untuk kasus terpidana Tuti, Anis memandang, ada dua jalur diplomasi yang ditempuh. Pertama, pemerintah Indonesia terus mengupayakan diplomasi dengan pemerintah Arab Saudi. Kedua, pemerintah mengijinkan adanya diplomasi kultural dengan cara berkomunikasi langsung kepada keluarga majikan dan ulama setempat.
Selain keluarga terpidana Tuti, kunjungan dijadwalkan berlanjut ke keluarga Eti Binti Toyib Anwar, pekerja migran Indonesia asal desa Cidadab, kabupaten Majalengka yang juga divonis hukuman gantung oleh pengadilan Arab Saudi pada 2010. Eti dituduh melakukan pembunuhan terhadap majikannya dengan meracuni.
Pada tahun 2015 dan 2016, keluarga Eti difasilitasi oleh pemerintah Indonesia mengunjungi Eti di penjara Arab Saudi. Pada September 2017, pihak keluarga majikan bersedia memberi maaf kepada Eti, dengan syarat keluarga Eti harus membayar uang diyat sebesar 30 juta riyal.