JAKARTA, KOMPAS – Pengembangan e-sports atau olahraga berbasis permainan daring semakin digalakkan di Tanah Air. Bertajuk “High School League” (HSL), kompetisi akan mempertandingkan siswa-siswa antarsekolah menengah atas dalam gim daring Dota. Kompetisi ini diharapkan mengasah potensi atau bakat e-sports di kalangan remaja serta mendukung penerapan e-sport sebagai ekstrakurikuler di sekolah-sekolah menengah atas.
Kamis (6/9/2018) siang, di Hotel Atlet Century, Senayan, Jakarta Pusat, diresmikan kompetisi e-sports tingkat sekolah menengah atas. Dalam sambutan peresmian acara itu, Presiden HSL 2018 Stevanus mengatakan, upaya pengembangan e-sports harus dirintis dengan upaya pola kompetisi dalam lingkup dunia pendidikan. Hal ini sesuai dengan pandangan Ketua Asosiasi eSports Indonesia (IESPA) Eddy Lim yang menyebut sekolah sebagai lahan paling tepat untuk menyemai bibit-bibit e-sports berkualitas.
“Sebab sebagai cabang olahraga, e-sports butuh intelektualitas dan kecerdasan mumpuni. Dan itu dihasilkan dari kalangan muda yang terdidik,” kata Stevanus.
Lomba ini akan digelar pada 10 kota besar di Indonesia, yakni Jakarta, Bogor, Bandung, Surakarta, Surabaya, Malang, Medan, dan Makassar. Pihak sekolah dapat mendaftar pada 6 September–12 Oktober 2018 melalui laman www.ihsl.id. Pemenang akan memperoleh beasiswa bagi siswa, penyediaan kurikulum e-sports, biaya subsidi untuk guru pembimbing, dan perlengkapan laboratorium e-sports berupa komputer. Semua hadiah ini total senilai Rp1,2 miliar.
Gisma Priayudha, project director CEO MOOBA TV, yang terlibat dalam acara ini berbagi pengalaman seputar kompetisi e-sports berupa gim daring. Ia menekankan, kegiatan ini dilakukan demi membentuk kebiasaan baru remaja untuk lebih produktif dalam bermain gim.
“Selama ini gim daring lebih dipandang berdampak negatif bagi anak-anak, bikin kecanduan, lupa waktu, dan sebagainya. Kita coba kembangkan dan ubah lewat pengembangan gim yang mencerdaskan,” kata Gisma, yang dahulu juga atlet e-sports.
Dalam diskusi sesudah peresmian acara tersebut, psikolog anak Anna Surti Ariani menjelaskan nilai-nilai positif yang perlu ditumbuhkan dalam olahraga e-sports. Selain mengasah kemampuan menggambarkan keruangan, permainan e-sports juga mendorong pemain untuk cakap mengambil keputusan strategis dengan cepat.
“Mereka akan lebih terbaisa untuk melakukan pertukaran dari tugas satu ke tugas lainnya. Koordinasi mata dan tangan bisa semakin cepat,” kata Anna. Sementara itu, olahraga ini pun menguji keterampilan dan kepribadian yang sportif, disiplin, dan kerja sama. Tak hanya itu, pemain terdorong untuk mampu berkomunikasi secara reseptif dan ekspresif.
“Jadi pemain bisa terlatih untuk menanggapi pesan dari pemain lain, dan bagaimana menyampaikan hal-hal menarik kepada pemain lain ataupun lawan,” ungkapnya.
Sebagai sebuah cabang olah raga, e-sports yang berbasis teknologi gim daring tak ubahnya olah raga lain. Para pemain diharuskan memenuhi syarat fisik, antara lain makan makanan sehat, istirahat dengan cukup, memrlukan fisik rutin, serta disiplin. Tak lupa pula, kata Gisma, “Yang lebih penting itu diskusi untuk merencanakan strategi dalam permainan. Sisanya baru latihan dalam memainkan gim.”
Pelaksanaan High School League tersebut disambut baik oleh pengajar SMA Bina Bangsa School, Martaki Aryoseko dan Dodin Anshorudin. Keduanya sudah sejak dua tahun belakangan berencana menerapkan permainan daring bagi kegiatan penunjang siswa. “Tapi kita belum tahu bagaimana menghubungkan permainan itu dengan kurikulum akademik. Nah, dengan hadiah pemenang yang dijanjikan berupa kurikulum e-sports, kami tertarik ikut,” kata Aryo.
Menurut Dodin, selama ini banyak siswanya yang mencuri-curi waktu pelajaran di kelas untuk bermain gim daring. Karena itu, dia merasa yakin siswa sekolahnya ada yang tertarik untuk ikut kompetisi ini.
Sementara itu, Kepala SMA 1 PSKD Yohanes P. Siagian mengatakan, program binaan siswa peminat e-sports sudah dijalankan sejak 2016 di sekolahnya. Menurutnya, waktu bagi siswa mengikuti latihan e-sports harus diseimbangkan dengan kegiatan-kegiatan lain, termasuk pelajaran sekolah. “Agar tidak terlalu mengganggu aktivitas. Sekolah bisa menetapkan waktu latihan bersama pelatih e-sportsnya,” kata Yohanes.
Selama ini, pengembangan e-sports dikembangkan melalui program binaaan yang bertujuan merintis jenjang karir profesional siswa selepas SMA. Tanpa mengesampingkan kegiatan akademik, program binaan e-sports itu dijalankan seimbang dengan pemantauan berkala.
“Kami pantau nilai akademik siswa yang ikut program e-sports, misalnya agar tetap berbanding 50:50. Tapi juga kita harus mengenal benar kepribadian dan kenginan siswa, apakah mau serius di esports atau tidak,” ujarnya.
Senada dengan itu, Gisma menegaskan, dalam jangka panjang, konsep pelaksanaan kegiatan e-sports sebagai ekstrakurikuler di sekolah akan dimatangkan.
“Kami akan persiapkan penerapan e-sports untuk pelajar dari umur 15 sampai usia lulus kuliah S1. Kalaupun pemain e-sports tidak berprestasi, akan terbentuk kepribadian baik dalam diri mereka,” tuturnya.(ROBERTUS RONY SETIAWAN)