JAKARTA, KOMPAS – Pelaku usaha tidak perlu panik dengan pelemahan rupiah yang semakin dalam. Kondisi fundamen ekonomi dan pengelolaan utang luar negeri saat ini jauh lebih baik ketimbang krisis 1998.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate pada Rabu (5/9/2018), rupiah melemah 0,58 persen ke posisi 14.927 per dolar AS dari posisi Selasa (4/9/2018) yang berada pada level Rp 14.840 per dolar AS.
Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede kepada Kompas, mengatakan, pelaku usaha tidak perlu panik dengan pelemahan rupiah karena sebagian besar mata uang negara berkembang juga melemah. Faktor utamanya adalah murni dari eksternal, yaitu perang dagang AS-China, efek rambatan krisis keuangan Argentina dan Turki, serta rencana kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS.
Meskipun sebagian besar nilai tukar negara berkembang cenderung terkoreksi terhadap dollar AS, namun kondisi ini masih jauh dari krisis 1998. Kondisi fundamental perekonomian Indonesia sekarang sangat berbeda dengan kondisi fundamental pada 1998.
“Krisis yang berawal dari krisis baht Thailand itu diperburuk dengan pengelolaan utang luar negeri swasta yang tidak hati-hati. Pasalnya, sebagian besar utang luar negeri swasta tidak dilindungi nilai atau hedging. Selain itu, utang jangka pendek itu digunakan untuk membiayai usaha jangka panjang dan beroirentasi domestik,” kata dia.
Menurut Josua, krisis utang swasta itu menekan rupiah ke tingkat depresiasi terdalam, yaitu sebesar 600 persen dalam kurun waktu kurang dari satu tahun. Rupiah melemah dari Rp 2.350 per dollar menjadi Rp 16.000 per dollar AS.
Sementara jika melihat kondisi fundamen Indonesia tahun ini, pengelolaan utang luar negeri swasta cenderung lebih berhati-hati. BI sudah mewajibkan transaksi lindung nilai bagi korporasi dalam rangka mengelola risiko nilai tukar.
“Dalam jangka pendek, BI akan tetap mengelola stabilitas nilai tukar rupiah dengan melakukan dual intervension di pasar valas dan pasar obligasi. Jika suku bunga acuan Bank Sentral AS naik, BI akan turut menaikkan suku bunga acuan BI pada September tahun ini sebesar 25 basis poin,” kata dia.
Daya saing turun
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Joko Supriyono mengatakan, apabila kebijakan menahan devisa hasil ekspor benar-benar akan diterapkan, pemerintah perlu mengajak bicara pelaku usaha, baik eksportir maupun importir. Jangan hanya eksportir yang nantinya harus menanggung beban itu, tetapi juga importir perlu diminta mengurangi impornya secara selektif dengan pertimbangan matang.
Misalnya dengan segera merealisasikan mandatori B20 yang dapat mengurangi defisit neraca perdagangan minyak dan gas bumi. Di sisi lain, ekspor minyak sawit mentah (CPO) perlu terus didorong, karena belakangan ini mengalami hambatan tarif di India, nontarif di Uni Eropa, dan kalah daya saing dengan Malaysia.
“Malaysia belakangan ini telah menghapus pungutan ekspor, menunggu pasar dan harga global membaik. Dengan menghapus pungutan ekspor CPO, harga jual CPO Malaysia di pasar internasional lebih berdaya saing. Negara yang bisa menawarkan CPO dengan harga lebih murah, akan banyak diminati pasar,” ujarnya.
Sementara itu, lanjut Joko, Indonesia saat ini kelebihan stok CPO, yaitu 5 juta ton. Selain harga CPO belum pulih, CPO Indonesia masih kena pungutan ekspor sebesar 50 dollar AS per ton. Hal itu menyebabkan harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani semakin rendah.
“Saat ini harga TBS Rp 900 per kg. Jika pungutan ekspor dihilangkan, petani setidaknya bisa mendapatkan kelebihan harga TBS sebesar Rp 200 per kg,” ujarnya.