PALANGKARAYA, KOMPAS — Pemerintah daerah dinilai menjadi bagian dari konflik agraria sejak mereka memberikan izin investasi tanpa memeriksa lokasi yang akan diberikan. Sebagian besar konflik terjadi saat izin diberikan di ruang kelola masyarakat.
Irhash Ahmady, salah satu anggota Tim Percepatan Penanganan Konflik Agraria dari Kantor Staf Presiden (KSP) RI, menyampaikan hal itu di sela-sela dialog publik dan publikasi kasus bertajuk ”Mendorong Pemulihan Hak Masyarakat dan Peran Paralegal dalam Konflik akibat Transformasi Lahan Skala Besar” di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Kamis (6/9/2018). Acara diselenggarakan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng.
”Pemerintah daerah memberikan izin prinsip di atas meja saja tanpa melihat kondisi di lapangan. Padahal, lokasi izin yang diberikan di atasnya ada (lahan) masyarakat,” kata Irhash.
Dari data KSP, konflik agraria di Indonesia tahun 2017 mencapai 659 kejadian dengan luas mencapai 520.491,87 hektar. Saat izin, dari awal tahun ini sampai Mei 2018 tercatat 334 kasus di atas lahan seluas 233.494,53 hektar.
Sektor perkebunan berada di tingkat paling atas penyumbang konflik agraria di Indonesia dengan angka mencapai 32 persen. Sisanya terbagi ke berbagai sektor.
”Temuan kami banyak maladministrasi yang terjadi di daerah. Bahkan, ada desa transmigrasi yang sudah bersertifikat tetapi masuk dalam kawasan hak guna usaha,” kata Irhash.
Menurut Irhash, sebagian konflik merupakan sisa konflik masa lalu ditambah konflik baru yang bermunculan. Korban dari konflik pun tidak sedikit, catatan KSP, mencapai 23.384 orang dan 96.983 keluarga.
”Semua itu laporan yang masuk sampai ke kami. Lalu kami koordinasikan dengan kementerian terkait untuk diselesaikan dan membuat rekomendasi penyelesaian konfliknya,” kata Irhash.
Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalteng Rawing Rambang menjelaskan, proses pemberian ijin melibatkan banyak pihak dan melalui waktu yang cukup panjang. Panjangnya proses itu juga memberikan celah adanya pelanggaran.
”Dalam penyelesaian konflik pemerintah tidak bisa sendirian, harus ada bantuan semua pihak, termasuk LSM,” kata Rawing.
Rawing menjelaskan, selama ini pihaknya berupaya menyelesaikan konflik agraria dengan berbagai macam cara. Namun, kendala utama yang dihadapi saat masyarakat tidak memiliki sertifikat atau pegangan hukum lainnya.
”Saat ditanya sertifikat tidak ada atau sudah ada proses jual beli. Paling sering itu dijual sama kakeknya lalu cucunya yang protes,” kata Rawing.
Pemerintah Provinsi Kalteng baru saja mendirikan kembali dinas permukiman dan pertanahan. Salah satunya juga untuk menyelesaikan konflik agraria.
Sedikitnya terdapat 24 kasus dari awal tahun 2018 sampai Agustus. Angka itu menurun jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, yakni mencapai 68 kasus.
Kepala Bidang Pertanahan Dinas Permukiman dan Pertanahan Prov Kalteng Maria Cahaya mengungkapkan, di dinasnya sebagian besar perkara agraria yang masuk merupakan perkara lintas kabupaten.
”Karena dinas ini baru berjalan, jadi baru ada satu kasus yang sudah selesai. Kami lakukan mediasi antarpihak dan mencari solusinya,” kata Maria.