JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah akan mendata produk-produk impor yang didatangkan melalui e-dagang. Selama ini produk-produk impor yang transaksinya melalui perdagangan secara elektronik itu belum terdata dan terawasi.
Jika tidak terdata dan diawasi, pengendalian produk-produk impor akan sulit dilakukan. Sebab, produk-produk itu dapat membanjiri pasar doemstik, sehingga dapat mengancam produk-produk buatan dalam negeri.
Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan, Karyanto Suprih di sela-sela acara The 2nd International Conference & Call For Paper: “Strategy and Innovation of Trade in the Digital Economy Age” di Jakarta, Rabu (5/9/2018) mengatakan, pemerintah akan mendata dan mengawasi barang-barang impor dari e-dagang.
Saat ini, pemerintah tengah mematangkan langkah-langkah pendataan dan pengawasan sebagai salah satu materi Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (RPP E-dagang)
“Salah satu opsinya adalah meminta penyelenggara laman pemasaran untuk mendata dan mencatatnya, kemudian melaporkannya ke pemerintah secara berkala,” kata dia.
Selain itu, lanjut Karyanto, pemerintah akan meminta penyelenggara atau pengelola laman pemasaran memadai produk-produk dalam negeri. Selama ini persentase produk-produk dalam negeri yang diperdagangkan secara elektronik hanya sekitar 10 persen dari total e-dagang.
Saat ini pemerintah tengah merampungkan pembahasan RPP E-dagang. Ketiga isu yang tengah dibahas itu adalah pengumpulan data e-dagang, pemberdayaan pelaku usaha lokal, serta definisi barang dan jasa digital.
Pajak e-dagang
Dalam RPP itu juga sudah diatur kewajiban para pelaku e-dagang memiliki izin usaha perorangan atau badan usaha di Indonesia. Regulasi itu juga mengatur mengenai para pelaku e-dagang yang berkedudukan di luar negeri yang bertransaksi dengan konsumen di Indonesia, dianggap melakukan kegiatan operasional di Indonesia.
Dalam seminar itu, Director and Founder of Technology Research Project Corporate (TPRC) Peter Lovelock mengatakan, e-dagang global akan semakin tumbuh pesat. Saat ini terdapat 1,3 miliar orang di dunia yang terkoneksi internet dan sebanyak 450 juta melakukan perdagangan lintas batas dengan e-dagang.
Indonesia sudah berada pada jalur yang benar, yaitu menyiapkan infrastruktur pita lebar untuk membangun jaringan telekomunikasi dan informasi. Terbangunnya infrastruktur itu akan berkontribusi terhadap produk domestik bruto Indonesia sebesar 2 persen dan penciptaan 4 juta lapangan kerja baru.
“Tantangan pengembangan e-dagang ke depan adalah perlindungan konsumen, pajak e-dagang, dan meningkatkan akses pasar bagi usaha kecil menengah,” kata dia.
Sementara itu, Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) Lurong Chen mengatakan, pajak e-dagang masih terus dibahas dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). WTO menghendaki agar transmisi perdagangan secara elektronik tidak dikenai tarif dan tidak ada pengenaan tarif dalam perdagangan barang.
Pengenaan pajak terhadap e-dagang itu bisa merujuk pada Ottawa Taxation Framework Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Dalam kerangka kerja Perpajakan Ottawa OECD, terdapat prinsip netralitas.
“Artinya, perlakuan perpajakan harus netral dan setara antara perdagangan secara konvensional dan elektronik. Apabila industri digital tidak dikenakan pajak, sedangkan industri tradisional dikenakan pajak, maka hal itu merupakan perlakukan yang berbeda,” kata dia.