Pertikaian antara Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu tentang ketidakbolehan atau kebolehan bekas narapidana korupsi maju sebagai calon dalam pemilu legislatif di tingkat DPR dan DPRD agaknya bukan sekadar kontestasi kewibawaan dan otoritas di antara kedua badan penyelenggara pemilu. Perbedaan di antara mereka sekaligus dapat mengancam terwujudnya integritas Pemilu 17 April 2019. Ini tidak hanya dalam penyelenggaraan, tetapi juga hasilnya.
Sesuai Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018, eks koruptor, bekas bandar narkoba, dan eks pelaku kejahatan seksual anak tidak diperbolehkan mendaftarkan diri sebagai calon senator Dewan Perwakilan Daerah serta calon wakil rakyat di tingkat kota/kabupaten, provinsi, dan pusat dalam Pemilu 2019. Kalau KPU konsisten dengan pelarangan itu, sebaliknya Bawaslu membolehkan eks napi koruptor mendaftar sebagai caleg; sampai awal pekan ini jumlahnya mencapai 16 orang.
Kalau akhirnya Bawaslu dan Panitia Pengawas Pemilu di daerah yang ”menang”, jalan kian berliku dan panjang untuk mewujudkan pemilu berintegritas (electoral integrity), termasuk penciptaan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Jelas hanya melalui pemilu berintegritas dapat dihasilkan pejabat publik di lembaga legislatif yang diharapkan juga berintegritas.
Akibatnya, pemilu dengan caleg yang tidak berintegritas, jika mereka terpilih, menghasilkan wakil rakyat yang tidak berintegritas saat berkiprah di lembaga legislatif. Publik tahu, banyak pejabat yang terpilih tidak hanya melalui pemilu, tetapi juga pemilihan kepala daerah terlibat pelanggaran integritas, seperti penyalahgunaan wewenang serta korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang cepat atau lambat menjadi tersangka di Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dengan demikian, tujuan menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik masih seperti jauh panggang dari api. Integritas, transparansi, akuntabilitas, efektivitas, partisipasi, serta ketundukan pada tata hukum dan ketertiban yang merupakan karakter pokok tata kelola pemerintahan yang baik terlihat masih juga belum terwujud. Penyebabnya jelas, banyak pejabat publik yang terpilih melalui pemilu dan pilkada gagal membangun tata kelola pemerintahan yang baik; mereka lebih sibuk dengan tindakan melanggar integritas.
Pemilu untuk memilih pejabat publik secara reguler saja tidak cukup untuk mengonsolidasikan demokrasi. Pemilu reguler lewat pemilu sejak 1999, 2004, 2009, hingga 2014 dan pilkada langsung sejak 2005 secara umum bisa dikatakan sukses dalam pelaksanaannya. Namun, ini tidak cukup; selain harus menegakkan electoral integrity, pemilu juga diharapkan dapat menghasilkan pejabat publik, baik di legislatif maupun eksekutif, yang memiliki integritas tidak tergoyahkan.
Level tengah
Sejauh ini, pemilu di Indonesia dipandang banyak lembaga internasional yang bergerak dalam penguatan demokrasi secara global berada pada level tengah (moderat). Dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lain, Indonesia memang menduduki tempat teratas.
Namun, Indonesia belum mampu meningkatkan posisinya dalam konsolidasi demokrasi untuk good governance, terutama karena adanya masalah dalam hal integritas pemilu dan sekaligus integritas calon. Pemilu berintegritas belum bisa terwujud sepenuhnya karena adanya calon-calon yang memiliki rekam jejak pelanggaran hukum atau melakukan pelanggaran integritas dalam proses pencalonan, misalnya dengan melakukan praktik politik uang dalam berbagai modus. Konsekuensi semua ini terhadap penciptaan tata kelola pemerintahan yang baik sangat serius.
Secara konvensional, pemilu berintegritas terkait banyak dengan etika penyelenggaraan pemilu untuk badan penyelenggara pemilu, seperti KPU dan Bawaslu. Lazimnya integritas elektoral mencakup lima hal: independensi, transparansi, integritas, kompetensi, dan keadilan.
Kelima prinsip etika itu sangat penting bagi terlaksananya pemilu secara damai, akuntabel, kredibel, dan absah (legitimate). Jika penyelenggara pemilu melanggar prinsip-prinsip etika itu, legitimasi pemilu dapat dipersoalkan dan ditolak berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) sehingga bisa menimbulkan kegaduhan dan konflik politik.
Dalam kajian akademik lebih mutakhir mengenai pemilu berintegritas, kelima prinsip etika tersebut dipandang tidak lagi memadai. Pertimbangannya adalah pemilu terselenggara tidak hanya memenuhi integritas elektoral, tetapi sekaligus untuk penciptaan tata kelola pemerintahan yang baik. Jika pemilu berintegritas seperti itu dapat diwujudkan, demokrasi bisa lebih terkonsolidasi untuk mencapai tujuan berbangsa-bernegara dengan substantif. Di sinilah demokrasi dapat fungsional dan efektif untuk meningkatkan kesejahteraan warga.
Lebih jauh, pemilu diharapkan dapat menjadi jalan menuju pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals). Ini bisa lebih mungkin tercapai hanya melalui pemerintahan dengan para pejabat publiknya yang memiliki integritas tak tergoyahkan, berkomitmen kuat, dan konsisten menegakkan good governance.
Oleh karena itu, lembaga-lembaga penyelenggara pemilu perlu memastikan bahwa para calon yang bakal dipilih dalam pemilu memiliki rekam jejak baik; tidak pernah melakukan pelanggaran moral dan hukum. Hanya dengan begitu, masyarakat bisa berharap terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik dan efektif.
Lebih jauh, pemilu berintegritas dalam perspektif baru diharapkan dapat membangun budaya politik demokratis. Hanya dengan pemilu berintegritas, demokrasi dapat kian dipercaya warga sebagai sistem dan proses politik yang lebih baik dibandingkan dengan sistem politik lain.