Pengeluaran Milenial Capai 1,4 hingga 6 Triliun Dollar AS pada 2020
JAKARTA, KOMPAS - Total pengeluaran generasi milenial atau mereka yang lahir 1980-an-1994 di seluruh dunia diprediksi bakal mencapai 1,4 sampai 6 triliun dollar AS pada puncaknya tahun 2020. Dengan potensi nilai belanja sebanyak itu, tenaga pemasaran semestinya menciptakan strategi promosi produk dan layanan yang lebih sesuai dengan karakteristik milenial.
Vice President Corporate Marketing and Communication Amadeus Asia Pacific, Karun Budharaja, dalam diskusi Millenials:Value, Attitude, and Lifestyle, Kamis (6/9/2018), di Jakarta, mengatakan, pembicaraan mengenai milenial menyorot ke kawasan Asia .
Sebagai gambaran, sekitar 25,9 juta hasil pencarian di Google Search mengenai milenial Asia. Hal ini tidak mengejutkan karena sejumlah penelitian memperkirakan hampir 60 persen penduduk milenial tinggal di Asia. Konsekuensinya adalah produsen beserta pemasar barang akan lebih memusatkan perhatiannya kepada Asia.
"Di tingkat global, perhatian menggarap segmen milenial terus meningkat. Pada tahun 2020, kami memperkirakan total pengeluaran milenial akan mencapai sekitar 6 triliun dollar AS. Pada tahun itu, sejumlah milenial semestinya telah mempunyai profesi lebih mapan," ujar dia.
Diskusi Millenials:Value, Attitude, and Lifestyle merupakan bagian dari acara ASEAN Marketing Summit 2018.
Menurut dia, bepergian menjadi salah satu kegiatan yang paling diminati oleh milenial. Selama beberapa tahun terakhir, kemunculan wisatawan dari generasi itu mendongkrak pertumbuhan bisnis pariwisata.
Bepergian menjadi salah satu kegiatan yang paling diminati oleh milenial. Selama beberapa tahun terakhir, kemunculan wisatawan dari generasi itu mendongkrak pertumbuhan bisnis pariwisata.
"Besarnya potensi belanja milenial juga potensi pendapatan bagi pelaku industri pariwisata," kata Karun.
Dia menjelaskan, Amadeus melakukan riset perilaku wisatawan milenial di Asia. Tujuan riset yaitu memperdalam strategi pemasaran. Riset terakhir menyasar ke lebih dari 6.000 orang turis di 14 negara Asia Pasifik. Sebanyak 45 persen di antara responden adalah milenial.
Temuan menarik yaitu 54 persen responden wisatawan milenial tetap menginginkan koneksi internet pada saat liburan sehingga bisa membagikan pengalamannya langsung dan memudahkan pencarian informasi.
Berikutnya, 62 persen responden turis milenial mau terbuka terhadap informasi pribadi. Harapan mereka, dengan memberikan data tersebut, produsen ataupun tenaga pemasaran mampu menciptakan promo yang lebih personal.
Sekitar 42 persen responden milenial suka menggunakan angkutan umum berbasis aplikasi, 35 persen memakai jasa penginapan berbasis aplikasi, dan 52 persen memanfaatkan aplikasi digital.
"Selama riset, kami menemukan bahwa sebagian besar responden mengaku memutuskan pergi ke destinasi tertentu berdasarkan rekomendasi atau ulasan di media sosial. Tentunya, konten rekomendasi itu harus otentik," ungkap Karun.
Konten bercerita
Country Director Facebook Indonesia Sri Widowati menyebutkan, prediksi pengeluaran generasi milenial mencapai 1,4 triliun dollar AS pada tahun 2020. Potensi ini harus menjadi perhatian penting profesional pemasaran barang dan jasa. Agar strategi pemasaran tepat sasaran, mereka bisa mulai memahami dari perilaku bermedia para milenial.
Di kalangan milenial dikenal istilah nomobiphobia. Dia menerangkan, fobia jenis ini artinya penderita takut berjauhan dengan ponsel pintar. Mereka akan panik ketika baterai ponsel pintar habis, tidak mendapatkan akses wi-fi di tempat umum, dan kehilangan gawai.
"Pada ponsel pintar mereka biasanya terdapat aplikasi media sosial dan pengiriman pesan (messenger apps). Permintaan konten mobile pun cukup tinggi. Misalnya, konten di Instagram Stories," ujar Sri.
Lebih jauh mengenai Instagram Stories, dia menjelaskan pada Oktober 2016, baru terdapat 100 juta cerita di seluruh dunia. Jumlah cerita terus meningkat setiap bulannya. Pada Juni 2018 tercatat sudah ada 400 juta cerita. Uniknya, mayoritas cerita yang diproduksi di Instagram Stories berasal dari pengguna Indonesia.
Sri mengklaim, pada periode yang sama, jumlah cerita yang diproduksi setiap bulan di WhatsApp Stories cenderung lebih besar dibanding Instagram Stories. Perusahaannya menilai, warga sekarang menyukai dua fitur itu karena menawarkan interaksi lebih masif ke banyak orang.
"Kami juga merasa aneka subfitur, baik di Instagram Stories maupun WhatsApp Stories, cukup playful. Cara pengambilan konten secara vertikal pun membentuk kultur baru dalam bercerita. Sejumlah pengguna mengaku, pengambilan secara vertikal lebih terasa nilai engagement ke pengguna lain," tutur dia.
Berangkat dari pengalaman perusahaannya, Sri percaya diri bahwa konten pemasaran barang atau layanan yang pas sesuai segmen milenial adalah konten kaya tutur cerita.
Karakteristik
Direktur di Hakuhodo Institute of Live and Living ASEAN, FE Devi Attamimi, memperingatkan perlunya berhati-hati menerapkan strategi pemasaran untuk target pasar milenial. Alasan dia, ada karakteristik-karakteristik unik yang dimiliki oleh milenial yang lahir pada periode 1980-an dan periode 1990-an.
"Banyak praktisi pemasaran menilai kehidupan generasi milenial dekat dengan gawai. Itu betul. Tetapi, praktisi harus mengetahui bahwa ada karakteristik pemakaian gawai yang sangat berbeda antara milenial 1980-an dan milenial 1990-an," ujar Devi.
Hakuhodo merupakan perusahaan periklanan dan jasa hubungan masyarakat yang berkantor pusat di Jepang.
Devi menceritakan, pihaknya sempat melakukan riset perbedaan karakteristik milenial 1980-an dan milenial 1990-an. Total responden mencapai 8.100 orang. Contoh hasil temuan yaitu milenial yang lahir 1990-an cenderung mengunggah konten foto di media sosial tanpa ada kurasi. Mereka menyukai konten otentik dan natural.
Sementara milenial yang lahir 1980-an mengunggah konten foto yang sudah dikurasi. Biasanya, mereka menyimpan lebih dari satu aplikasi kurasi foto di ponsel pintar mereka.
Dari sisi kebiasaan berbelanja daring, milenial yang lahir 1990-an sangat menggemari. Mereka tidak segan menuliskan pendapat ataupun pengalaman mereka berbelanja di aplikasi e-dagang tertentu di media sosial. Sementara milenial 1980-an lebih menyukai berbelanja dengan model multisaluran. Mereka amat selektif memilih toko luring dan toko daring.